Di SMA Gemilang, geng syantik cemas dengan kedatangan Alya, siswi pindahan dari desa yang cantik alami. Ketakutan akan kehilangan perhatian Andre, kapten tim basket, mereka merancang rencana untuk menjatuhkannya. Alya harus memilih antara Andre, Bimo si pekerja keras, dan teman sekelasnya yang dijodohkan.
Menjadi cewek tegas, bukan berarti mudah menentukan pilihan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon El Nurcahyani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bisa-Bisanya Dijodohkan
Bab 8
Bimo menatap Alya dengan perhatian. "Yuk, kita pulang. Pakai helm ini, ya," katanya sambil memberikan helm tambahan kepada Alya.
Alya mengangguk dan memasang helm itu dengan hati-hati. Setelah memastikan Alya sudah siap, Bimo menyalakan motor dan mereka berdua pun berangkat meninggalkan sekolah. Sepanjang perjalanan, Bimo berusaha menjaga kecepatan agar Alya merasa nyaman.
"Sebenarnya, kenapa kamu memilih naik motor denganku daripada naik mobil dengan Andre atau Arga?" tanya Bimo tiba-tiba, suaranya agak terdengar canggung.
Alya tersenyum di balik helmnya. "Karena aku merasa lebih nyaman dan aman bersamamu, Bimo. Kamu selalu ada untukku, terutama saat aku benar-benar membutuhkan teman," jawabnya dengan jujur.
Bimo merasa hatinya hangat mendengar jawaban Alya. "Terima kasih, Alya. Aku akan selalu ada untukmu, kapan pun kamu butuh," balasnya dengan suara lembut.
Sepanjang perjalanan, mereka menikmati angin sore yang sejuk dan pemandangan kota yang perlahan berubah menjadi bayangan senja. Alya merasa tenang di balik punggung Bimo, merasakan detak jantungnya yang stabil dan tenang. Sebenarnya Bimo ingin sekali banyak waktu berbincang dengan Alya dan mencoba membahas tentang perasaannya, namun sayang keberanian itu belum datang.
Saat mereka tiba di rumah Alya, bibi dan pamannya sudah menunggu di depan pintu. Mereka terlihat lega melihat Alya pulang dengan selamat. "Terima kasih sudah mengantar Alya, Bimo," kata bibi Alya sambil tersenyum.
Bimo mengangguk. "Sama-sama, Bibi. Saya senang bisa membantu," jawabnya dengan sopan.
Alya turun dari motor dan membuka helmnya. "Terima kasih, Bimo. Maaf banget sering merepotkan," katanya sambil tersenyum lembut.
Bimo mengangguk, merasa senang melihat senyum Alya. "Sampai jumpa besok di sekolah, Alya," katanya sebelum berbalik dan mengendarai motornya pergi.
Saat Alya masuk ke dalam rumah, dia disambut dengan hangat oleh bibi dan pamannya. Rumah mereka yang sederhana namun nyaman terasa lebih menenangkan dibandingkan hiruk pikuk sekolah. Ruang tamu yang diterangi cahaya lampu gantung memberikan kesan hangat dan tenang, sementara aroma masakan yang menggugah selera tercium dari dapur. Alya merasa hatinya lebih ringan setiap kali kembali ke rumah ini, tempat yang selalu memberikan rasa aman.
“Alya, kamu sudah pulang. Semoga hari ini makin betah ya...?” tanya bibi dengan senyum lembut di wajahnya.
Alya tersenyum lelah namun bahagia. “Hari ini baik, Bibi. Terima kasih bibi nyambut aku terus kalau pulang sekolah,” jawabnya sambil melepas sepatunya dan berjalan masuk.
Bibi mengiringi Alya, sambil merespons bahwa dia tidak merasa direpotkan sama sekali. Bibi yang tidak memiliki anak, justru senang dengan adanya Alya. Rumah mereka jadi ramai.
Pamannya yang sedang duduk di kursi dekat meja makan, menatap Alya dengan perhatian. “Kami khawatir padamu, Alya. Tapi syukurlah semuanya berjalan lancar,” katanya.
“Iya paman, Alhamdulillah. Aku suka kok sekolah di sini,” ucap Alya. Semoga dengan jawabannya itu membuat paman dan bibi tidak selalu mengkhawatirkannya.
Bibi Alya kemudian menghampiri dan meletakkan tangannya di bahu Alya. “Oh ya, ada kabar baik. Orang tua kamu akan datang ke kota, lusa. Mereka sangat merindukanmu dan ingin melihatmu,” katanya dengan suara penuh kehangatan.
Alya merasa hatinya melompat girang mendengar kabar itu. “Benarkah? Aku sangat merindukan mereka. Ini kabar yang sangat bagus, Bibi,” katanya dengan mata berbinar.
“Ya, mereka sudah lama tidak ke sini. Mereka ingin memastikan kamu baik-baik saja dan melihat perkembanganmu sekolah,” tambah pamannya.
Setelah berbincang sejenak, Alya merasa sangat lelah dan memutuskan untuk pergi ke kamarnya untuk beristirahat. “Aku akan masuk kamar dan istirahat, ya. Terima kasih lagi, Bibi, Paman,” katanya sambil berjalan menuju kamarnya di lantai atas.
Namun, saat Alya hendak membuka pintu kamarnya, ia mendengar suara bibinya berbicara dengan pamannya dari ruang tamu. Percakapan mereka terdengar cukup jelas, membuat Alya berhenti sejenak dan mendengarkan dengan seksama.
“Aku berharap kedatangan orang tua Alya bisa mempercepat rencana kita,” kata bibi Alya dengan nada serius.
Pamannya menjawab, “Ya, mereka juga ingin memastikan semuanya berjalan sesuai rencana. Kita harus segera memberitahu Alya tentang alasan sebenarnya dia bersekolah di SMA Gemilang.”
Alya menahan napas, merasa penasaran dan sedikit cemas.
“Maksud, Mas?” tanya bibinya.
Pamannya menjawab, “Alya tidak hanya bersekolah di sini untuk mendapatkan pendidikan terbaik. Dia sebenarnya dijodohkan dengan anak dari kerabat jauh kita, yang juga bersekolah di SMA Gemilang. Itu sebabnya kita memilih sekolah ini untuknya.”
Bibi menganggukkan kepalanya, dia baru mengerti, ternyata bukan tentang hak asuh saja yang akan dibahas, ternyata tentang perjodohan Alya juga.
Alya merasa seakan-akan dunia berputar. Dia tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Dijodohkan? Dengan siapa? Mengapa dia tidak pernah diberitahu tentang hal ini sebelumnya? Hatinya campur aduk antara marah, bingung, dan merasa dikhianati. Tanpa suara, Alya membuka pintu kamarnya dan masuk ke dalam, mencoba mencerna informasi yang baru saja didengarnya.
Di dalam kamar, Alya duduk di tepi tempat tidurnya, memandangi dinding dengan tatapan kosong. Ia merasa gelisah dan tidak tahu harus berbuat apa. Banyak pertanyaan berkecamuk di pikirannya. Siapa anak yang dimaksud itu? Apakah mungkin salah satu dari teman-temannya? Andre? Arga? Bimo?
Hatinya berdebar kencang memikirkan kemungkinan tersebut. Bagaimana dia akan menghadapi mereka? Dan yang paling penting, bagaimana dia akan menghadapi orang tuanya yang akan datang lusa? Alya merasa seakan-akan berada di persimpangan jalan, dan tidak tahu jalan mana yang harus diambil.
Dengan perasaan campur aduk, Alya memutuskan untuk tidak terlalu memikirkan masalah ini malam itu. Dia merebahkan diri di tempat tidurnya dan mencoba menenangkan diri. Meskipun pikirannya masih dipenuhi kekhawatiran, Alya tahu bahwa dia harus kuat. Dia harus mencari cara untuk menghadapi situasi ini dan menemukan kebenaran di balik semuanya.
Malam itu, Alya tertidur dengan pikiran yang penuh, memikirkan hari esok dan tantangan yang menantinya. Perjuangannya di SMA Gemilang ternyata bukan hanya tentang mencari keadilan dan melawan geng cantik, tetapi juga tentang menghadapi takdir yang telah ditentukan untuknya. Dengan tekad yang semakin kuat, Alya berjanji pada dirinya sendiri untuk tetap tegar dan mencari kebenaran, apa pun yang terjadi.
Keesokan harinya, Alya bangun dengan perasaan campur aduk. Pikirannya masih penuh dengan percakapan yang didengarnya malam sebelumnya. Saat ia bersiap-siap untuk sekolah, rasa penasaran tentang perjodohan itu terus mengganggu pikirannya. Dia ingin sekali menanyakan langsung pada pamannya, namun ada rasa canggung yang membuatnya ragu.
Ketika mereka berangkat ke sekolah bersama-sama, suasana di perjalanan terasa sunyi, padahal lalu lalang kendaraan dan orang-orang beraktivitas begitu riuh. Paman Alya mencoba memulai percakapan ringan tentang cuaca dan kegiatan sekolah, namun Alya hanya memberikan jawaban singkat. Dia ingin sekali mengutarakan pertanyaannya, tetapi setiap kali mencoba, kata-katanya seakan terhenti di tenggorokan.
“Sudah siap untuk lebih semangat hari ini?” tanya pamannya dengan nada ceria.
“Ya, Paman,” jawab Alya, matanya fokus menyapu sekitar untuk mengalihkan perasaan campur aduknya, melihat pemandangan kota yang mulai sibuk di pagi hari.
Alya menggigit bibirnya, mencoba mencari keberanian untuk bertanya. “Paman, aku... sebenarnya aku ingin tahu sesuatu,” katanya akhirnya.
Bersambung...