Andrian, seorang pria sukses dengan karir cemerlang, telah menikah selama tujuh tahun dengan seorang wanita yang penuh pengertian namun kurang menarik baginya. Kehidupan pernikahannya terasa monoton dan hambar, hingga kehadiran Karina, sekretaris barunya, membangkitkan kembali api gairah dalam dirinya.
Karina, wanita cantik dengan kecerdasan tajam dan aura menggoda yang tak terbantahkan, langsung memikat perhatian Andrian. Setiap pertemuan mereka di kantor terasa seperti sebuah permainan yang mengasyikkan. Tatapan mata mereka yang bertemu, sentuhan tangan yang tak disengaja, dan godaan halus yang tersirat dalam setiap perkataan mereka perlahan-lahan membangun api cinta yang terlarang.
Andrian terjebak dalam dilema. Di satu sisi, dia masih mencintai istrinya dan menyadari bahwa perselingkuhan adalah kesalahan besar. Di sisi lain, dia terpesona oleh Karina dan merasakan hasrat yang tidak terkonfirmasi untuk memiliki wanita itu. Perasaan bersalah dan keinginan yang saling bertentangan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sorekelabu [A], isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9
Bab 9: Melinda Curiga
Melinda duduk di sofa ruang tamunya, tangannya meremas-remas bantal dengan kuat. Jam dinding berdentang, menunjukkan pukul dua pagi, dan suaminya, Andrian, belum juga pulang. Biasanya, Andrian adalah orang yang disiplin. Setelah lembur di kantor, ia akan pulang dengan cepat, terlebih lagi untuk menemani Melinda yang sudah menunggu. Tapi malam ini, segalanya terasa berbeda.
Malam seharusnya menjadi momen romantis antara mereka, tetapi kini, Melinda hanya bisa merasakan gelisah yang semakin menggerogoti ketenangannya. Ia mencoba mengalihkan pikirannya dengan menonton televisi, tapi semua tayangan terasa hambar dan membosankan.
Fokusnya selalu kembali pada jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya, menunggu dengan harapan Andrian segera tiba.
Ketika suara deringan kunci pintu terdengar, hatinya berdegup kencang. "Akhirnya," pikirnya sambil beranjak berdiri. Tetapi disaat Andrian masuk, suasana hatinya tiba-tiba berubah.
Andrian berdiri di ambang pintu dengan wajah yang terlihat lelah, tapi yang lebih menarik perhatian Melinda adalah pakaiannya yang berantakan. Kemeja putihnya kusut dan dasinya tak terpasang dengan rapi. Melinda bisa melihat bekas lipatan yang seolah-olah tidak pernah dihaluskan kembali.
"Mas Andrian!" serunya, suaranya tergetar antara rasa relief dan kekecewaaan.
"Kamu pulang terlalu larut. Kenapa Kamu tidak memberitahuku?"
Andrian terdiam sejenak, seolah merasa terjebak. "Maaf, sayang. Aku… ada pekerjaan mendadak di kantor," jawabnya sambil tersenyum, tetapi senyum itu terasa dipaksakan.
Melinda tidak bisa menahan tatapannya yang tajam. "Pekerjaan mendadak? Jam berapa kamu mulai?" tanyanya, ingin memastikan apa yang dibilang Andrian merupakan kebenaran.
"Sekitar jam delapan malam," jawab Andrian, namun matanya tidak bertemu dengan Melinda.
Jelas, Melinda merasakan ada yang tidak beres. Perasaannya mulai menggelitik, menimbulkan rasa curiga yang selama ini ia berusaha untuk tahan. Dalam hati, ia teringat akan sekretaris Andrian, Kirana, yang selalu menyenangkan dan jauh lebih muda. Sekali lagi, bayangan itu menyeruak, membuat pikirannya terombang-ambing antara cinta dan prasangka.
Melinda merasakan ada yang tidak jujur di balik kata-katanya.
Setelah mengganti pakaiannya yang berantakan, Andrian mencoba mengalihkan perhatian Melinda dengan duduk di sampingnya dan menanyakan mengenai harinya. Namun, Melinda tidak bisa sepenuhnya fokus. Memori tentang sekretaris Andrian, kembali melintas di kepalanya. Dia ingat bagaimana Kirana selalu berada di dekat Andrian, tertawa pada leluconnya, dan cara Andrian menatapnya dengan tingkah laku yang lebih dari sekadar profesional.
"Mas, bajumu..." katanya pelan, menunjuk pada kemeja yang berantakan.
"Apa yang sebenarnya terjadi di kantor?"
Andrian mengalihkan pandangannya, mengambil napas dalam-dalam. "Aku hanya... tergesa-gesa. Ini semua hanya kerjaan," jawabnya dengan nada yang lebih rendah.
Melinda bisa merasakan hatinya berdesir. Kesabaran dan cintanya mulai diuji. "Mas, aku tidak merasa nyaman dengan semua ini. Jika kamu memiliki sesuatu yang ingin kamu bicarakan, katakanlah padaku."
"Aku hanya lelah," sahut Andrian, berusaha menjauh dari perdebatan. Namun Melinda menggelengkan kepalanya, tidak ingin menyerah.
"Lelah bukan alasan untuk meninggalkan istrimu yang menunggu di rumah, Mas. Dan pakaianmu... ada yang aneh di sini," kata Melinda, nada suaranya mulai meninggi.
Andrian terdiam, tampak kebingungan, berjuang dengan emosinya sendiri. Melinda dapat merasakan ketegangan di antara mereka, dan jiwa nya tidak dapat menerima kenyataan bahwa suaminya mungkin menyimpan rahasia yang dalam.
"Sayang, aku berjanji, ini semua tidak seperti apa yang kamu pikirkan..."
Semua kebohongan dan ketidakpastian yang terpancar di mata Andrian membuat Melinda merosot ke dalam jiwa. Ia merasa hatinya terjepit antara cinta dan rasa ingin tahu yang tidak terpuaskan. Dengan hati yang berat, Melinda tahu bahwa ia harus memilih arah jalan yang akan diambil, percaya atau curiga.
Di dalam gelap malam yang sunyi itu, ia merasa seolah-olah suatu hari, ia harus menghadapi kebenaran yang mungkin tak ingin ia dengar, tetapi sekarang jelas, ada banyak hal yang disembunyikan. Dan malam ini, rasa curiga itu menjadi tatapan yang tak terhindarkan di antara mereka.
Andrian terdiam sejenak, seolah mempertimbangkan jawabannya. "Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, sayang. Semuanya baik-baik saja," jawab Andrian dengan nada yang meyakinkan Melinda.
Melinda memutuskan untuk berdiam diri. Ia merasakan buah keraguan itu semakin membebani pikirannya. Semakin banyak waktu berlalu, semakin dalam kecemasan itu merayap ke seluruh sudut hatinya.
Malam itu, Melinda pergi ke kamar tidur lebih awal, meninggalkan Andrian duduk sendirian memandangi layar ponselnya. Semakin ia berusaha mengabaikan rasa cemas, semakin kuat rasa curiga itu tumbuh. Dalam keheningan malam, Melinda berbisik pada dirinya sendiri, "Apakah aku hanya cemburu, atau ada yang lebih dari ini?"
Musim dingin datang dan pergi, tetapi bayangan konfrontasi dengan Andrian semakin membayangi pikirannya. Ia tahu suatu saat harus berhadapan dengan sifat curiga ini—bahkan jika itu berarti menghadapi kebenaran yang mungkin menyakitkan.
Dalam suasana hening itu, Melinda memutuskan ia perlu menyelidiki lebih dalam, demi menjaga jalinan cinta dan kepercayaannya kepada Andrian.
Satu hal pasti, Melinda tidak akan membiarkan rahasia menyelimuti rumah mereka. Ia harus mencari yang sebenarnya terjadi, bahkan jika itu berarti ia terpaksa melukai perasaannya sendiri dalam prosesnya…
heheheh mF cmn sekedar.....
asli sakit aku baca nya nasib melindaaa
dn Adrian buta