Liu Wei, sang kultivator bayangan, bangkit dari abu klannya yang dibantai dengan Pedang Penyerap Jiwa di tangannya. Dibimbing oleh dendam dan ambisi akan kekuatan absolut, dia mengarungi dunia kultivasi yang kejam untuk mengungkap konspirasi di balik pembantaian keluarganya. Teknik-teknik terlarang yang dia kuasai memberinya kekuatan tak terbayangkan, namun dengan harga kemanusiaannya sendiri. Di tengah pertarungan antara takdir dan ambisi, Liu Wei harus memilih: apakah membalas dendam dan mencapai keabadian lebih penting daripada mempertahankan sisa-sisa jiwa manusianya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon pralam, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bayangan di Gunung Yin Lu
Malam telah turun saat Liu Wei dan kedua pendampingnya mencapai kaki Gunung Yin Lu. Rambut putihnya berkilau dalam cahaya rembulan - pengingat abadi akan pengorbanan di Lembah Sembilan Hantu.
"Kau merasakannya?" Guru Feng berbisik, matanya menyipit menatap lereng gunung. "Formasi pelindung."
Liu Wei mengangguk. Bahkan dari jarak ini, dia bisa merasakan lapisan-lapisan qi yang menyelimuti gunung - jaring laba-laba energi spiritual yang akan memperingatkan Sekte Awan Hitam akan kehadiran penyusup.
"Ada celah," dia berkata setelah beberapa saat mengamati. "Setiap tujuh napas, formasi itu berfluktuasi di sisi timur."
Hui Chen mengangkat alisnya kagum. "Kemampuan observasimu semakin tajam, Wei'er."
Liu Wei tidak menjawab. Sejak kehilangan sebagian ingatannya di Cermin Takdir Berkabut, inderanya terhadap aliran qi justru semakin sensitif - seolah celah-celah kosong dalam benaknya kini diisi oleh pemahaman yang lebih dalam akan energi spiritual.
"Kita harus bergerak cepat," Liu Wei akhirnya berkata. "Xiao Mei..."
Dia tidak menyelesaikan kalimatnya, tapi mereka semua tahu apa yang dia pikirkan. Waktu mereka semakin sempit.
Dengan gerakan sehalus bayangan, mereka mulai mendaki lereng gunung, berhenti setiap beberapa saat untuk menghindari patroli Sekte Awan Hitam. Liu Wei memimpin di depan, Pedang Penyerap Jiwa di tangannya bergetar pelan - seolah merasakan kehadiran saudaranya, Pedang Pembakar Surga.
Setelah beberapa waktu, mereka mencapai sebuah gua tersembunyi. Di dalamnya, mereka menemukan altar batu dengan ukiran-ukiran kuno.
"Ini..." Hui Chen mendekat, mengamati ukiran itu. "Catatan ritual kuno. Tapi ada yang aneh dengan bahasanya."
Liu Wei berlutut di depan altar, jarinya menelusuri ukiran yang terasa familiar namun asing di saat yang sama. Tiba-tiba, kepalanya berdenyut keras saat ingatan yang terkubur mencoba muncul ke permukaan.
"Dengarkan baik-baik, Wei'er," suara Kaisar Bayangan bergema dalam benaknya. "Ritual Pembalikan Surga dan Bumi bukan hanya tentang kekuatan. Ini adalah cara untuk mengubah takdir itu sendiri."
Ingatan itu menunjukkan diagram rumit - formasi qi yang sama dengan yang terukir di altar.
"Tapi harga yang harus dibayar..."
Liu Wei tersentak kembali ke realitas, keringat dingin membasahi keningnya.
"Wei'er?" Guru Feng menatapnya khawatir.
"Aku tahu ritual apa yang akan mereka lakukan," Liu Wei berkata, suaranya serak. "Ritual Pembalikan Surga dan Bumi. Mereka akan menggunakan Xiao Mei dan Pedang Pembakar Surga untuk..."
Kalimatnya terputus oleh suara langkah kaki yang mendekat. Dalam sekejap, mereka bertiga bersembunyi di balik stalaktit.
Dua kultivator Sekte Awan Hitam memasuki gua, terlibat dalam percakapan serius.
"...gadis itu masih menolak untuk bekerja sama," salah satu dari mereka berkata.
"Tidak masalah," yang lain menjawab. "Begitu bulan purnama tiba, keinginannya tidak lagi penting. Ketua Sekte sendiri yang akan melakukan ritual itu."
"Dan Liu Wei? Bagaimana jika dia..."
"Mustahil dia bisa menembus pertahanan kita. Lagipula..." - suara tawa dingin - "...tanpa ingatannya, dia bukan ancaman lagi."
Setelah kedua kultivator itu berlalu, Liu Wei keluar dari persembunyiannya, tangannya terkepal erat.
"Mereka meremehkanmu," Guru Feng berkomentar.
"Bagus," Liu Wei menjawab dingin. "Itu akan menjadi keuntungan kita."
Hui Chen mengeluarkan sebuah gulungan dari jubahnya. "Aku sudah menduga kita akan membutuhkan ini," dia membuka gulungan itu, menampilkan peta detail Gunung Yin Lu. "Menurut tradisi, ritual seperti itu hanya bisa dilakukan di..."
"Puncak Langit Terbalik," Liu Wei menyelesaikan kalimatnya. "Di mana qi surga dan bumi bertemu dalam keseimbangan sempurna."
Guru Feng menatap muridnya dengan campuran bangga dan prihatin. Liu Wei yang berdiri di hadapannya sekarang sangat berbeda dengan pemuda yang dia kenal dulu. Ada ketegasan dalam suaranya, kedinginan dalam tatapannya - seolah sebagian jiwanya telah membeku di Lembah Sembilan Hantu.
"Kita punya dua hari sebelum bulan purnama," Liu Wei melanjutkan, jarinya menunjuk jalur di peta. "Ini akan menjadi pertarungan terberat yang pernah kita hadapi."
Guru Feng dan Hui Chen mengangguk. Mereka tahu, kalaupun mereka selamat dari pertarungan ini, mereka tidak akan pernah sama lagi.
Di luar gua, angin malam membawa aroma hujan yang akan datang. Dan di suatu tempat di puncak gunung, Lin Xiao Mei - gadis yang tidak tahu bahwa takdirnya kini terikat dengan pemuda berambut putih yang telah kehilangan masa lalunya - menunggu dalam kegelapan.
Karena terkadang, untuk mengubah takdir... kita harus siap menghadapi badai yang akan datang.
