NovelToon NovelToon
Jendela Sel Rumah Sakit Jiwa

Jendela Sel Rumah Sakit Jiwa

Status: sedang berlangsung
Genre:Tamat / Cintapertama / Horror Thriller-Horror / Cinta Terlarang / Cinta Murni / Misteri Kasus yang Tak Terpecahkan / Pihak Ketiga
Popularitas:7.7k
Nilai: 5
Nama Author: AppleRyu

Dokter Fikri adalah seorang psikiater dari kepolisian. Dokter Fikri adalah seorang profesional yang sering menangani kriminal yang mengalami gangguan kepribadian.

Namun kali ini, Dokter Fikri mendapatkan sebuah pasien yang unik, seorang gadis berusia 18 tahun yang mempunyai riwayat penyakit kepribadian ambang (borderline).

Gadis itu bernama Fanny dan diduga membunuh adik tiri perempuannya yang masih berumur 5 tahun.

Apakah Dokter Fikri biaa menguak rahasia dari Fanny?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon AppleRyu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 9 : Tentang

Malam itu, hujan kembali turun dengan deras di luar jendela selku, namun untuk pertama kalinya dalam beberapa hari, aku merasa tenang. Ada sesuatu yang diberikan Michelle membuat pikiranku lebih jernih. Meski samar, aku bisa merasakan emosiku kembali, seperti angin sepoi-sepoi yang meniupkan debu ke jendela yang kotor. Aku duduk di atas kasur, mencoba memahami apa yang telah terjadi.

Michelle masuk ke dalam selku dengan langkah pelan. Dia selalu terlihat tenang, seperti tidak ada yang bisa menggoyahkan ketenangannya. "Bagaimana perasaanmu, Dr. Fikri?" tanyanya, tetap dengan dingin.

Aku menoleh ke arah Michelle. "Seperti biasa," jawabku singkat.

Michelle menatapku dan duduk di kursi di dekatku. "Itu bagus," ucapnya.

Aku menatapnya, mataku menyipit, mencoba mencari jawaban dari wajahnya yang tenang. "Michelle, ada sesuatu yang ingin aku tanyakan."

"Tentu, apa itu?"

Aku menarik napas dalam-dalam. "Kenapa ada buku rekam medis dengan nama aku di tanganmu? Aku adalah psikiater di sini, bukan pasien."

Michelle menatapku tajam, namun tidak menjawab langsung. Sebaliknya, dia mengeluarkan buku catatan dari tasnya dan mulai mencatat sesuatu. "Hati-hati dengan realitas yang tidak nyata," katanya singkat, tanpa memberikan penjelasan lebih lanjut.

Aku terdiam, merenungkan kata-katanya. Apa maksudnya? Aku menatap Michelle dengan kebingungan. Namun, sebelum aku bisa menanyakan lebih lanjut, Michelle sudah keluar dari selku dan berjalan menjauh. Tak berselang lama, Fanny muncul di jendela kamar.

"Dr. Fikri," kata Fanny dengan suara lembut. "Bisakah kamu ke selku sebentar?"

Aku menoleh ke arah Fanny dan mengangguk. "Tentu, aku akan kesana."

Aku keluar dari selku dan menuju ke selnya Fanny, aku melihat Fanny duduk dengan tenang di atas kasurnya.

"Aku ingin bermain, mau kah kamu bermain bersamaku?" tanya Fanny dengan suara yang begitu lembut.

"Permainan?" tanyaku heran.

"Ya, permainan 4 jam. Ini adalah permainan di mana aku harus tetap diam, apapun yang kamu lakukan atau katakan. Kamu bebas melakukan apapun selama 4 jam penuh," jelas Fanny.

Aku mengerutkan kening, mencoba memahami apa yang sedang terjadi. "Apa tujuan dari permainan ini?" tanyaku lagi, sedikit bingung dan curiga.

Fanny menghela napas panjang. "Aku hanya ingin tahu, apa yang kamu lakukan jika kamu diberikan kebebasan penuh untuk berlaku seenaknya kepadaku."

Aku terdiam sejenak, merenungkan permintaannya. "Dan kamu tidak akan bereaksi apa pun? Tidak peduli seberapa ekstrem tindakan yang aku lakukan?"

Fanny mengangguk. "Benar. Aku akan tetap diam."

Selama 4 jam, aku melakukan berbagai hal untuk menguji batasan Fanny. Aku berbicara dengan nada marah, mengungkapkan frustrasi dan kemarahan yang selama ini terpendam. Aku mencoba memprovokasinya, mencari reaksi yang mungkin muncul. Namun, Fanny tetap diam, tidak bereaksi sedikit pun. Ekspresinya tetap tenang, seolah-olah dia telah mempersiapkan dirinya untuk menghadapi semua ini.

Secara tidak sadar, aku mulai memukul Fanny, anehnya Fanny tetap diam. Ada sensasi kesenangan yang muncul di dalam hatiku, aku mulai merobek bajunya dan mulai melakukan hal yang bisa disebut pelecehan. Aneh, Fanny tetap diam, seolah-olah tidak merasakan apa pun. Aku merasa kekuatan yang aneh dalam diriku, seakan kebebasan ini membebaskanku dari semua norma dan moralitas.

Namun, di saat aku terus melakukan tindakan itu, ada sesuatu yang mulai berbisik di dalam pikiranku. Perasaan bersalah dan ketakutan mulai merayap masuk, mengaburkan sensasi kesenangan yang sempat aku rasakan. Bagaimana bisa aku melakukan hal-hal mengerikan ini? Apakah ini benar-benar diriku?

Akhirnya, 4 jam berlalu dan aku berhenti dengan napas terengah-engah. Fanny masih tetap diam, tidak menunjukkan reaksi apa pun. Aku merasa hampa dan kacau. "Apa yang kamu pelajari dari permainan ini?" tanyaku dengan suara parau.

Michelle tiba-tiba menjawab dari luar sel. "Aku belajar bahwa ketika manusia diberikan kebebasan penuh tanpa batas, mereka bisa melakukan hal-hal yang tidak pernah mereka bayangkan sebelumnya. Perilaku yang ekstrem dan di luar norma bisa muncul."

Aku menoleh ke arah Michelle dengan wajah bingung. Michelle memperhatikan semuanya dari tadi.

"Apakah kamu dari awal sudah di situ?" tanyaku.

Michelle mengangguk. "Aku memperhatikanmu melakukan semuanya ke bantal yang ada di depanmu, kamu menampar bantal itu, bahkan kamu melecehkan bantal itu."

Aku terdiam, mencoba mencerna kata-katanya. "Bantal? Maksudmu, Fanny kan?" Aku menoleh kembali ke Fanny.

Namun, di depanku bukanlah Fanny, melainkan sebuah bantal yang telah kutanggalkan sarungnya dan berantakan karena kupukuli dan kulecehkan. Aku benar-benar kaget. Bagaimana mungkin? Sejak kapan aku kehilangan kendali atas kenyataan? Aku baru saja dari selnya Fanny. Kenapa sekarang aku malah berada di dalam selku sendiri?

Michelle mengamatiku dengan tatapan dinginnya, seolah-olah dia sudah terbiasa melihat hal semacam ini. "Itulah realitas yang kamu hadapi, Dr. Fikri. Kamu harus mulai membedakan mana yang nyata dan mana yang tidak."

Kebingungan dan ketakutan mulai menyelimuti pikiranku. "Jadi, semua yang terjadi tadi hanyalah delusi?"

Michelle tidak menjawab langsung. Dia hanya memperhatikan dengan ekspresi tanpa emosi. Tatapannya yang dingin dan tenang membuatku merasa semakin terasing. "Kamu memerlukan waktu untuk mengerti semuanya. Yang pasti, aku di sini untuk membantumu," katanya akhirnya.

Aku merasa curiga terhadap Michelle. Ada sesuatu yang tidak beres. Setiap kali aku berbicara dengannya, rasanya seperti dia sedang mengontrol pikiranku. Apakah mungkin dia yang membuatku mengalami halusinasi ini?

"Apakah kamu memberikan sesuatu padaku? Obat, mungkin?" tanyaku, mencoba mencari jawaban.

Michelle tetap tenang, mengeluarkan sebuah botol kecil dari sakunya. "Ini hanya penenang, untuk membantumu lebih tenang dan tidur lebih nyenyak."

Aku merasa ada yang aneh dengan penjelasan Michelle. "Penenang? Apakah ini yang membuat pikiranku kacau?"

Michelle tidak bereaksi terhadap tuduhanku. Dia hanya membuka botol itu dan menuangkan beberapa butir pil ke tangannya. "Ambillah, ini akan membantumu," katanya dengan nada yang terlalu tenang.

"Tidak akan, aku tidak akan meminum obat yang kamu berikan," ucapku tegas.

Tiba-tiba, ponselku berdering. Sebuah pesan masuk. Aku membuka ponselku dan melihat foto yang membuat jantungku berhenti berdetak. Foto jenazah anakku dalam karung, dikirim oleh Nazam.

Sekali lagi, rasa takut dan marah menguasai diriku. Aku merasakan kepanikan yang luar biasa. "Nazam! Dia membunuh anakku!" teriakku dengan suara bergetar.

Michelle memperhatikan semuanya dengan tatapan datar, aku sangat marah, tapi Michelle sama sekali tidak berempati pada apa yang aku alami.

Aku benar-benar marah, sangat marah. Amarah dan kesedihan yang mendalam menguasai pikiranku. Aku mengamuk, menghancurkan segala sesuatu yang ada di sekitarku. Michelle memanggil perawat, kemudian beberapa perawat mencoba menahanku, namun, kemarahan ini terlalu besar untuk ditahan.

"Aku akan membunuh Nazam! Aku tidak akan membiarkan dia lolos begitu saja!" teriakku dengan penuh kemarahan.

Michelle akhirnya menyuntikkan obat ke lenganku. Perlahan, efek obat itu mulai bekerja. Aku merasa tubuhku semakin lemah dan akhirnya, aku kembali tenggelam dalam kegelapan yang tidak berkesudahan.

Hingga, aku bermimpi. Mimpi yang sangat mengerikan.

1
Livami
kak.. walaupun aku udah nikah tetep aja tersyphuu maluu pas baca last part episode ini/Awkward//Awkward//Awkward/
aarrrrgh~~~
Umi Asijah
masih bingung jalan ceritanya
ᴬᵖᵖˡᵉᴿʸᵘ
Novelku sendiri
Livami
orang kayak gitu baik fiksi ataupun nyata tuh bener2 bikin sebel dan ngerepotin banget
Livami
huh.. aku suka heran sama orang yang hobinya ngerebut punya orang... kayak gak ada objek lain buat jadi tujuannya...
Umi Asijah
bingung bacanya..😁
ᴬᵖᵖˡᵉᴿʸᵘ: Ada yang mau ditanyain kak?
total 1 replies
Livami
terkadang kita merasa kuat untuk menghadapi semua sendiri tapi ada kalanya kita juga butuh bantuan orang lain...
Livami
ending episode bikin ademmm
Livami
ok kok semangat thor
Livami
woo.. licik juga Tiara
semangat tulis ya Thor /Rose/
bagus ceritanya
Livami
bagus Lo Thor.. ditunggu up nya.. semangat/Determined//Determined//Determined/
LALA LISA
tidak tertebak...
Sutri Handayani
pffft
LALA LISA
ending yang menggantung tanpa ada penyelesaian,,lanjut thoor sampai happy ending
LALA LISA
benar2 tak terduga ..
LALA LISA
baru ini aku Nemu novel begini,istimewa thoorr/Rose/
ᴬᵖᵖˡᵉᴿʸᵘ: Terimakasiiih
total 1 replies
LALA LISA
cerita yg bagus dengan tema lain tidak melulu tentang CEO ..semangat thoorr/Rose/
Reynata
Ngeri ya
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!