Gita, putri satu-satunya dari Yuda dan Asih. Hidup enak dan serba ada, ia ingat waktu kecil pernah hidup susah. Entah rezeki dari Tuhan yang luar biasa atau memang pekerjaan Bapaknya yang tidak tidak baik seperti rumor yang dia dengar.
Tiba-tiba Bapak meninggal bahkan kondisinya cukup mengenaskan, banyak gangguan yang dia rasakan setelah itu. Nyawa Ibu dan dirinya pun terancam. Entah perjanjian dan pesugihan apa yang dilakukan oleh Yuda. Dibantu dengan Iqbal dan Dirga, Dita berusaha mengungkap misteri kekayaan keluarganya dan berjuang untuk lepas dari jerat … pesugihan.
======
Khusus pembaca kisah horror. Baca sampai tamat ya dan jangan menumpuk bab
Follow IG : dtyas_dtyas
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dtyas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9 ~ Penasaran
Yuda mengisap rokoknya menatap pekarangan rumah, memikirkan bagian mana yang harus ia renovasi lebih dulu setelah tadi sudah memutuskan jenis mobil yang akan ia beli. Baru dua kali mempersembahkan tumbal, rekeningnya sudah gendut dan kehidupannya sudah berubah. Toko kelontong sebagai kedok pun tidak dia pikirkan mau rugi atau untung.
Sisa satu malam ritualnya dengan jenazah pakde Karto dan akan mengulang menyediakan tumbal enam bulan lagi. Masuk ke dalam rumah, ia mendengar suara motor. Suara motor butut yang membuat telinganya gatal.
“Asih, saudaramu datang,” teriak Yuda lalu menghempaskan tubuh di atas sofa empuk yang baru dibeli kemarin.
“Siapa mas?”
“Lihat saja sendiri.”
Terdengar percakapan di luar tidak lama Asih masuk dengan istri pakde Karto dan salah satu anaknya.
“Mas, Bude mau bicara.”
“Hm, duduklah!”
Asih mempersilahkan kerabatnya duduk, ia pun ikut duduk di samping sang suami. Yuda menatap bergantian kedua tamunya, lalu mematikan rokok di atas asbak.
“Ada apa?” tanya Yuda berusaha untuk tetap biasa, bagaimanapun juga jenazah dari keluarga itu sudah memberikan ia banyak uang.
“Begini mas,” ujar anak bude membuka percakapan. “Mungkin kalian sudah mendengar kalau makam bapak ada yang gali dan berantakan.”
“Hm.”
“Ternyata jenazah bapak … hilang,” ujarnya lagi.
“Ya ampun, lalu sudah ketemu?” tanya Asih bersandiwara, padahal jenazah yang mereka bicarakan ada di dalam rumah itu.
“Belum, Asih” sahut bude lirih.
“Atas saran masyarakat, kami diminta lapor polisi, tapi khawatir butuh uang untuk pencarian. Ada orang pintar tetangga kami, katanya jenazah bapak dicuri kemungkinan untuk pesugihan.”
“Lalu tujuan kalian kemari, untuk apa?” tanya Yuda to the point. Ia mulai kesal dan kesimpulan mengenai pembongkaran makam nyatanya benar.
“Hanya mau tanya Mas, semoga kalian tidak tersinggung.”
“Maksudnya tersinggung, gimana?” Nada bicara Yuda sudah mulai tinggi. “Ah, jadi kalian mau tanya apa kami yang curi jenazah bapak kamu?”
“Maaf nak Yuda,” ujar Bude.
“Kalian lihat kamu sekarang sukses menganggap kami pakai pesugihan, gitu maksudnya?”
“Mas,” tegur Asih. “Yang sabar.”
“Kalian ini tidak tahu diri, sudah kami bantu semua biaya pemakaman sampai pengajian tujuh hari sekarang malah memfitnah. Lagi pula kalau benar jenazah pakde ada yag curi mau kamu cari kemana, bagus bapak kamu sudah mati masih berguna untuk orang lain."
“Jadi Mas Yuda tahu?”
“Ya nggak, mikir pake otak kamu. Sebaiknya kalian pergi,” titah Yuda.
“Mas Yuda yakin tidak melakukan praktek pesugihan?”
“Hidup aku enak karena usaha dan peninggalan orang tua, hidup kamu susah bukan salah kami dan jangan main tuduh. Aku masih menghargai bude, kalau tidak sudah aku seret kamu keluar.”
Asih pun menengahi dan mengajak kedua kerabatnya keluar dan terdengar suara motor meninggalkan pekarangan.
“Mas, seharusnya jangan begitu. Nanti mereka malah curiga.”
“Tuduhan mereka tidak beralasan, kalau kita diam saja mereka malah curiga. Sudahlah, kamu siapkan makanan. Aku lapar, Gita juga bentar lagi pulang.”
Belum Asih menjawab dan beranjak, terdengar langkah dan senandung. “Assalamu’alaikum,” ujar Gita.
Yuda dan Asih saling tatap, tidak menjawab salam dari putrinya. Hanya mengulurkan tangan pada Gita yang ingin salim.
“Bapak sama Ibu kompak amat sih,” keluh Gita. “Guru aku bilang kalau ada yang ucap salam harus dijawab.”
“Iya, cerewet. Sana ganti baju, Ibu siapkan makan. Bapak sudah lapar,” titah Yuda.
***
Gita heran melihat orangtuanya sibuk dengan pekarangan belakang. Menanam pohon yang ia tahu itu bunga kamboja, juga tanaman lagi di area itu. Bergantian diantara orangtuanya merawat tanaman dan pekarangan itu.
“Ibu,” panggil Gita.
Yuda dan Asih menoleh, lalu berteriak menahan Gita yang akan mendekat.
“Tetap di sana, biar Ibu ke sana.”
Asih gegas menghampiri Gita lalu mengajak masuk. Sudah sering Yuda melarang Gita ke belakang, tepatnya area di mana dua tumbal dikuburkan kembali.
“Kenapa sih, aku nggak boleh main ke belakang. Di sana ‘kan luas, Bu.”
“Kamu main di depan saja atau di kamar, jangan ke belakang. Jauh ke sana ada hutan. Mainan kamu sekarang banyak, masa masih kurang sampai harus main ke belakang.”
Gita sudah berada di kamarnya, masih ditemani oleh Asih.
“Ibu aku ada tugas lagi, menghafal gerakan dan bacaan sholat. Ibu perhatikan ya, bacaan dan gerakan aku sudah benar atau belum.”
“Eh, jangan sekarang Gita. Nanti sore aja di pengajian, kamu tanya sama guru ngaji ya.”
“Memang ibu nggak bisa?” tanya Gita heran.
“Hm, bukannya nggak bisa, tapi kamu lebih baik diajarkan sama yang lebih ahli. Bapak mau buat ruangan di samping, khusus untuk kami belajar ngaji dan sholat,” tutur Asih.
“Memang kalau sholat di kamar, kenapa Bu?”
“Lebih baik ada ruangan khusus untuk ibadah, biar lebih khusyu.”
Gita hanya mengangguk meski banyak tanya dalam benaknya.
***
Sepuluh tahun berlalu, Yuda dan keluarga hidup dengan harta berlimpah. Bukan harta yang didapat dengan cara yang wajar, pesugihan masih dijalankan. Meski awalnya hanya ingin lakukan ritual tersebut sementara, tapi terbuai oleh bujuk rayu setan untuk tetap berada di jalan yang salah. Sudah banyan jenazah dijadikan tumbal. Hendak lepas pun tidak mudah karena ia sudah memakan apa yang diberikan oleh iblis dan mendarah daging.
Dibalik kemewahan yang dimiliki, ada rasa kesepian yang dirasakan oleh pasangan itu. Karena Gita, anak satu-satunya semenjak SMA sampai dengan sekarang kuliah semester lima tidak tinggal bersama. Pendidikan ditempuh di kota agak jauh dari rumah, dengan alasan pendidikan di sana lebih baik.
Asih pun mendukung karena gangguan yang dirasakan tiap malam tidak hilang dan Gita semakin besar semakin banyak tanya, termasuk masalah ibadah.
“Ck, lama amat sih,” keluh Ikbal. “Ayo, nanti kesorean.”
“Aku ragu mau pulang atau nggak,” ujar Gita masih berdiri dan belum naik ke atas motor, meski sudah rapi mengenakan jaket dan menenteng helm juga menggendong ransel.
“Kenapa lagi sih,” keluh Ikbal.
Ikbal adalah sepupu Gita, satu tahun lebih tua. Yuda membiayai pendidikan Ikbal di kampus yang sama dengan Gita hanya beda tempat kost karena Gita tinggal di kost khusus putri. Tentu saja agar ada yang menjaga dan mengawasi Gita.
“Banyak tugas, otakku lagi mager buat mikir, tapi aku juga kangen Ibu. Bulan lalu nggak pulang.”
“Ya udah ayo, tugas bisa besok-besok ajalah. Nanti aku bantuin.”
“Bener ya?”
“Iya gampang, aku ada kenalan alumni katanya dia joki untuk tugas akhir dan skripsi. Siapa tahu terima tugas ecek-ecek dari kamu. Ayo, naik.”
“Kenapa nggak pake mobil aja sih, ‘kan pegel naik motor.”
“Naik Gita, naik.”
Saat tiba, kediaman Gita ternyata sepi. Meski pagar depan tidak dikunci. Padahal ada beberapa orang yang bekerja di rumah itu, tapi di waktu-waktu tertentu Yuda akan memberikan libur pada semua orang. Tentu saja di waktu tujuh hari ritual dengan tumbal pesugihannya.
“Kok sepi, Git?”
“Aku tahu tempat Ibu simpan kunci, paling lagi di toko. Kamu mau mampir dulu?” tanya Gita sambil melepas helmnya.
“Nggak, aku langsung balik ya. Hati-hati, nanti ada setan.”
“Setan jidatmu,” balas Gita dan Ikbal hanya terkekeh lalu kembali melaju.
Gita menutup pintu pagar lalu memasuki halaman rumah. Mengambil kunci di tempat tersembunyi di mana Ibunya biasa simpan. Saat masuk dia merasakan hawa yang tidak enak bahkan terasa angin berhembus ke wajahnya.
Meletakan ransel di sisi salah satu sofa, Mendadak ia merinding dan langsung menyalakan lampu ruang tamu juga ruang keluarga. Sempat menoleh kiri dan kanan, memastikan kalau hanya ada dirinya di rumah itu. Biasanya ia tidak takut, tapi ucapan Ikbal tadi cukup berpengaruh.
Brak.
Tangan Gita yang sudah menekan handle pintu kamar, tapi urung karena terdengar suara dari arah belakang. Khawatir ada pembantu atau pekerja lainnya Gita pun melangkah ke arah belakang. Saat melewati ruang rahasia di mana dari kecil tidak ada yang boleh masuk, Gita pun terhenti. Agak penasaran dengan isi dalam ruangan, ada apa sampai ia tidak diperkenankan masuk.
“Digembok.”
Baru melangkah sesuai tujuannya, suara itu terdengar lagi dan ia yakin kalau suara tadi berasal dari dalam ruangan.
“Siapa?” tanya Gita mengetuk pintu ruangan tersebut, juga merapatkan telinganya ke pintu.
Terdengar suara seperti langkah dari dalam.
“Ada orang di dalam,” gumam Gita. Meneliti pintu itu di mana ia bisa mengintip ke dalam. Ada celah di atas pintu, Gita pun mencari sesuatu untuk naik. Menggunakan kursi ia berdiri dan berpegangan pada kusen, menatap ke dalam ruangan.
Gelap, ruangan itu gelap. Gita mengambil ponsel dari saku celananya dan menghidupkan senter dari ponsel. menyorot ke dalam dan pandangannya tertuju pada sosok yang berdiri.
“Eh.” Belum jelas ia memandang, lampu dari ponselnya mendadak mati. Ia hidupkan lagi dan kembali menyorot ke dalam. Gita mengernyitkan dahi karena celah itu terhalang sesuatu dan ….
“Aaaa.”