"Pergi kamu! Jangan pernah datang ke sini lagi! Bapak dan ibuku bukanlah bapak dan ibu kamu!" usir kakak sulungku yang ucapannya bagaikan belati menusuk hati, tapi tidak berdarah.
Kakak kandungku mengusir aku yang datang menemui bapak dan ibu kandungku, tapi bapak dan ibuku hanya diam tanpa mengucapkan sepatah katapun.
Inilah kisahku. Kisah seorang gadis yang terjebak dalam konflik keluarga. Memaksa diriku yang masih kecil berpikir dewasa sebelum waktunya.
Aku berusaha menjalani hidup sebaik yang aku bisa dan melakukan apapun semampuku. Selalu berusaha berpikir positif dalam setiap masalah yang menderaku. Berjuang keras menahan semua penderitaan dalam hidupku. Berusaha tetap tegar meskipun semua yang aku hadapi tidak lah mudah.
Bagaimana caraku, menghadapi kemelut dalam keluargaku yang berpengaruh besar dalam hidupku?
Yuk, ikuti ceritaku!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
9. Hampir Saja
Tiba-tiba aku tersengat listrik, alias kesetrum. Tubuhku terasa kaku. Aku tidak bisa menggerakkan tubuhku sama sekali. Jangankan bergerak, bahkan aku tidak bisa mengeluarkan suaraku sama sekali. Aku sudah berusaha bergerak dan berteriak sekuat tenagaku, tapi aku tetap tidak bisa bergerak dan tidak bisa berteriak untuk meminta tolong.
Ya, Allah..apa ini akhir hidupku? Aku bahkan belum melihat wajah orang tuaku selain lewat foto. Aku belum pernah sungkem meminta maaf pada kedua orang tuaku.
Tubuhku..eh, bukan, darahku terasa di sedot. Otakku masih bisa berpikir, tapi tetap tidak bisa bicara, apalagi bergerak.
Ya, Allah... apa aku benar-benar akan mati hari ini?
Aku masih berdiri bagai patung. Mataku masih terbuka, tubuhku terasa semakin kaku, suaraku tetap tidak bisa keluar meskipun aku sudah berusaha keras untuk memanggil nenek yang ada di bagian belakang rumah.
Ya, Allah... Aku harus bagaimana?
Semakin lama darahku semakin terasa tersedot melalui jemari tanganku yang menempel di steker. Hingga aku hanya bisa pasrah. Namun saat aku merasa sudah tidak bisa melakukan apapun lagi, tiba-tiba aku merasa tubuhku bisa condong ke belakang.
Dengan insting untuk bertahan hidup, aku menjatuhkan tubuhku yang kaku ke belakang. Entah nanti rasa sakitnya gimana saat tubuhku yang kaku ini jatuh di lantai semen, sakit-sakit semua atau gegar otak, aku tidak berpikir sampai ke sana. Saat ini aku hanya hidup.
"Brugh"
Tubuhku yang kaku terjatuh bersamaan dengan steker yang menempel di tanganku tercabut dari stop kontak, hingga aliran listrik pun terputus.
Aku jatuh terlentang dengan tubuh yang terasa lemas. Untuk beberapa menit aku masih dalam posisi yang sama tanpa bergerak sama sekali.
Jantung ku rasanya mau copot. Hampir saja aku bertemu dengan malaikat pencabut nyawa. Astaghfirullah...
Aku tidak memerhatikan steker yang aku pegang, hingga menyentuh bagian ujung steker / colokan yang terbuat dari logam.
CEROBOH
Satu kata itulah yang ku umpatkan pada diriku sendiri. Aku yang bertelanjang kaki malah salah pegang steker listrik. Andai saja aku memakai sandal, mungkin tidak akan seperti ini kejadiannya.
Karena ketika kita berdiri menginjak tanah tanpa alas kaki sambil tangan kita memegang konduktor aktif (yang dialiri listrik) maka akan ada beda potensial antara tangan kita dan kaki. Hal ini menyebabkan kita kesetrum.
Kalau kaki kita tidak menapak ke tanah maka tidak akan ada beda potensial, sehingga aliran listrik tidak jalan. Itulah mengapa petugas listrik menggunakan sarung tangan dan sepatu karet.
Setelah beberapa menit terdiam tanpa bergerak mengumpulkan tenaga yang rasanya tersedot dan menstabilkan nyawa yang hampir saja tersedot keluar dari raga, aku pun beranjak duduk.
Meskipun tubuhku masih terasa lemas, aku kembali melanjutkan aktivitasku yang tertunda, tapi tidak jadi menyalakan radio. Aku masih trauma karena kesetrum.
*
Hari kembali berganti. Aku melihat Kak Seruni dan Kak Fauzan pulang setelah beberapa hari menginap di rumah kedua orang tua Kak Fauzan.
"In, ini Kakak belikan baju buat kamu," ucap Kak Seruni yang datang bersama Kak Fauzan memberikan baju yang masih baru padaku.
"Terima kasih, Kak Seruni, Kak Fauzan," ucapku dengan senyuman yang menyungging di bibir ku dan mata yang berkaca-kaca karena sangking bahagianya.
"Sama-sama," sahut Kak Seruni dan Kak Fauzan bersamaan tersenyum hangat padaku.
"Moga-moga rezeki kakak lancar. Aamiin," ucapku tulus dari dalam hati.
"Aamiin," ucap Kak Seruni dan Kak Fauzan bersamaan penuh senyuman.
Mungkin baju ini tidak seberapa bagi orang lain, tapi sangat berarti bagiku. Semenjak Paman Supri menikah lagi, aku jarang sekali dibelikan baju. Ada orang yang ngasih baju walaupun hanya baju bekas sekalipun pun aku sudah sangat senang dan merasa beruntung.
Ah, Kak Seruni sangat beruntung bisa menikah dengan Kak Fauzan. Meskipun Kak Fauzan bukan orang kaya dan usianya sepuluh tahun lebih tua dari Kak Seruni, tapi Kak Fauzan sangat menyayangi, Kak Seruni. Semoga mereka langgeng dan selalu bahagia. Itulah doaku dalam hati.
"In, buatkan paman kopi," ucap paman yang tiba-tiba muncul.
"Iya," sahutku, kemudian menyimpan baju yang di berikan Kak Seruni dan Kak Fauzan.
Paman memang selalu begitu. Setiap pengen ngopi selalu mencari aku. Padahal bibi juga sedang santai menonton televisi. Ah, mungkin kopi buatanku lebih enak dari kopi buatan bibi, jadi paman selalu meminta aku membuatkan kopi untuk dia. GR dikit nggak apa-apa, 'kan? He..he..he..
Usai membuatkan kopi untuk paman, aku bergegas pergi ke rumah Rini untuk meminjam seterika listrik. Karena seterika kami rusak dan kami hanya punya seterika arang yang menghabiskan waktu untuk memanaskannya dan harus pintar-pintar memilih pakaian yang akan di seterika duluan kalau nggak ingin pakaiannya gosong.
"Assalamualaikum. Rin.." panggilku dari pintu rumah yang terbuka.
"Ada apa, In? Mau pinjam seterika, ya?" tebak Kak Joko, kakaknya Rini. Usia Kak Joko sepuluh tahun lebih tua dariku.
"He..he..he.. Kak Joko tahu aja," sahutku menyengir kuda.
"Bentar kakak ambilkan. Tapi kakak minta tolong setrikakan baju kakak, ya?" pinta Kak Joko.
"Beres, Kak. Ntar aku seterikain," ucapku tersenyum lebar.
"Anak rajin," ucap Kak Joko tersenyum seraya mengacak-acak rambutku.
Kak Joko memang seperti ini. Dia sangat senang kalau aku meminjam seterika, karena dia selalu minta tolong bajunya diseterikakan oleh aku. Tak lama kemudian Kak Joko sudah muncul seraya membawa seterika listrik dan bajunya yang ingin aku seterika.
"Ini seterikanya. Baju kakak yang akan di seterika agak banyak, nggak apa-apa, 'kan?" tanya Kak Joko nampak tak enak hati.
"Nggak apa-apa," sahut ku tersenyum tulus.
"Makasih, ya!" ucap Kak Joko tersenyum manis.
"Sama-sama, Kak. Kalau begitu aku bawa dulu seterikanya, ya, Kak," pamit ku.
"Iya," sahut Kak Joko.
Aku pun akhirnya mulai melangkah meninggalkan rumah Kak Joko.
"Ngomong sama siapa, Ko?" tanya seorang wanita yang aku kenali suaranya. Dia adalah ibu Kak Joko.
"Si Indah, Bu. Pinjam seterika," sahut suara Kak Joko.
"Pasti kamu minta tolong baju kamu di seterika sama si Indah, 'kan?" tebak ibu Kak Joko.
"Iya, Bu. Soalnya aku senang kalau dia yang menyeterika baju ku. Caranya menyeterika baju rapi dan licin, Bu," sahut Kak Joko membuat aku yang masih bisa mendengar pembicaraan ibu dan anak itu tersenyum.
Entah mengapa mendengar orang lain memuji aku, aku merasa senang. Aku memang tipikal orang yang rajin, teliti dan berusaha mengerjakan apapun yang aku kerjakan dengan baik. Mungkin karena itu hasil kerjaku pun memuaskan.
*
Setelah menunggu pengumuman penerimaan murid baru dengan perasaan was-was, akhirnya aku mendapatkan kabar baik, bahwa aku di terima di sekolah yang aku inginkan.
Ah, senangnya..
Jika anak-anak lain di antar dan di jemput orang tua mereka, aku pulang pergi sendiri menggunakan sepeda butut ku.
Malu? Helooo.. tentu saja aku malu. Aku manusia normal, nggak mungkin aku nggak malu saat teman-temanku menaiki motor ke sekolah, atau menaiki sepeda bagus, atau naik angkutan umum, sedangkan aku hanya bisa naik sepeda butut yang bisa dikatakan hanya layak dipakai ke sawah, bukan untuk ke sekolah.
Tapi sekali lagi.. aku harus tetap bersyukur. Mengingat Kak Seruni yang tidak bisa mengenyam pendidikan di bangku SMA, bukankah aku harus bersyukur? Karena aku bisa melanjutkan pendidikan hingga jenjang SMA meskipun menggunakan transportasi sepeda butut.
Aku tidak bisa membuang rasa maluku, karena itu aku memilih menebalkan mukaku. Eh, bukan Maluku nama pulau, ya! Tapi perasaan malu.
Aku sok nggak ngelihat kalau ada yang mengamati sepeda butut ku. Pura-pura tuli kalau ada yang berbisik-bisik mengenai sepedaku. Yang penting aku bisa menuntut ilmu untuk menggapai cita-citaku. Semangat!
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
trus kabarbindah yg dijodohkan dan udah nikah bagaimana ??
apa akan di lanjutkan di cerita indah yg sudah dewasa nanti ??
terimakasih author.ditunggu karya berikutnya