Marsha Aulia mengira, ia tidak akan pernah bertemu kembali dengan sang mantan kekasih. Namun, takdir berkata lain. Pria yang mengkhianatinya itu, justru kini menjadi atasan di tempatnya bekerja. Gadis berusia 27 tahun itu ingin kembali lari, menjauh seperti yang ia lakukan lima tahun lalu. Namun apa daya, ia terikat dengan kontrak kerja yang tak boleh di langgarnya. Apa yang harus Marsha lakukan? Berpura-pura tidak mengenal pria itu? Atau justru kembali menjalin hubungan saat pria yang telah beristri itu mengatakan jika masih sangat mencintainya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Five Vee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
09. Sudah Menghancurkan Masa Depannya.
Rafael pulang setelah jam makan malam. Hari ini ia terlalu sibuk di kantor sehingga harus melakukan lembur.
Penampilannya yang tadi pagi sempurna, kini terlihat berantakan. Jas tersampir pada lengannya, dan dasi yang telah melorot. Rambut klimisnya pun sedikit berantakan. Rafael sungguh lelah.
Rafael tidak pernah berpikir akan menjadi seorang pemimpin perusahaan di usianya saat ini. Dulu ia dan Marsha memiliki cita-cita yang sama. Bekerja di bidang perhotelan. Dimana Marsha yang menjadi koki, dan membuat menu-menu baru untuk usaha mereka.
Namun, semua mimpi indah yang mereka rangkai harus kandas sebelum di mulai. Lima tahun yang lalu, Rafael harus menikah dengan Sandra. Sang kakak meninggal dunia, menjadikannya anak tunggal. Dan di didik menjadi pengganti sang ayah.
“Selamat malam, pak.” Sapa asisten rumah yang menunggu kedatangannya.
“Malam, bi. Tolong siapkan aku makan malam, bi.” Ucap Rafael sembari berjalan menapaki anak tangga menuju lantai dua, dimana kamarnya berada.
Sampai di dalam kamar nan luas bernuasa putih dan abu-abu itu, Rafael kemudian meletakan ponsel dan kunci mobil di atas nakas.
Lalu ia pun bergegas membersihkan diri, agar bisa lebih cepat menikmati makan malamnya yang telah terlewati.
Selesai membersihkan diri, Rafael tampak lebih segar. Pria itu kemudian keluar dari ruang ganti kamarnya. Ia kembali mengambil ponselnya. Karena, setelah makan malam, Rafael akan memeriksa beberapa e-Mail di ruang kerjanya.
Langkah Rafael terpaku, laci balasnya sedikit terbuka. Ia pun menariknya, mendapati foto dirinya yang sedang merangkul Marsha. Foto yang ia dapatkan dari tempat sampah kamar kost yang di tempati oleh Marsha lima tahun lalu.
“Apa kamu tidak merindukan aku, sayang? Kenapa tidak ada petunjuk tentang kamu?” Rafael mengusap foto itu, kemudian kembali menyimpannya.
Pria berusia dua puluh tujuh tahun itu pun keluar dari dalam kamarnya.
“Apa Sandra dan Safa sudah tidur, bi?” Tanya Rafael kepada sang asisten rumah yang menyiapkan makan malam untuknya.
Wanita berusia empat puluh lima tahun, bernama bibi Rita sudah bekerja selama dua puluh tahun dengan keluarga Haditama. Mama Rafael meminta wanita paruh baya itu untuk ikut dengan sang putra, ketika Rafael memutuskan untuk tinggal di Jakarta lima tahun lalu.
“Sudah. Apa nak Rafa ingin melihat mereka?” Tanya bibi Rita. Ia tidak memanggil Rafael dengan sebutan bapak atau tuan seperti pekerja lainnya, karena Rafael sudah menganggap seperti ibunya sendiri.
Di masa kanak-kanaknya, Rafael lebih banyak menghabiskan waktu bersama bibi Rita daripada mamanya sendiri.
Kepala Rafael menggeleng pelan. Ia pun menerima piring yang telah terisi dengan makanan kesukaannya.
Nasi putih, tumis kangkung, dan ayam kecap. Makanan sederhana yang di buatkan oleh Marsha saat hari jadi mereka yang pertama. Semenjak itu, Rafael pun menyukai makanan itu.
“Kenapa bibi menatapku seperti itu?” Tanya Rafael saat mendapati sang asisten rumah menatapnya dengan sendu.
Bibi Rita pun mengambil tempat di samping sang majikan.
“Mau sampai kapan nak Rafa menutup diri untuk mereka?”
Rafael yang sedang mengunyah makanannya pun menatap ke arah bibi Rita.
“Entahlah, bi. Bibi sudah tahu tentang aku. Untuk Safa, mungkin aku bisa. Tetapi untuk Sandra, sangat susah. Aku tidak bisa, bi.”
Bibi Rita menuangkan air putih ke dalam gelas kaca. Kemudian menyodorkan pada sang majikan.
“Bukannya tidak bisa. Tetapi nak Rafa tidak ingin. Mau sampai kapan nak Rafa menutup hati? Kasihan dengan non Sandra.”
“Aku tidak bisa, bi. Maafkan aku. Aku di hantui rasa bersalah pada Marsha. Bagaimana bisa aku membuka hati untuk wanita lain? Sementara, di luar sana dia sakit hati karena aku?”
Bibi Rita menghela nafas pelan kemudian mengusap lengan sang majikan. “Lanjutkan makannya. Bibi mau berberes di dapur.”
Dari tiga orang asisten rumah tangga yang Rafael pekerjakan, hanya bibi Rita yang tinggal di rumah itu. Dua orang lainnya di ijinkan pulang saat pekerjaan telah selesai di sore hari.
Selesai menikmati makan malam, Rafael kemudian pergi ke ruang kerjanya. Ada e-Mail dari klien luar negeri yang harus ia periksa.
Pria itu menyalakan laptopnya. Wajah Marsha terpampang jelas pada layar komputer lipat itu.
Foto Marsha ada dimana pun Rafael menginginkan. Di kantor, di kamar, wallpaper laptop, hingga layar depan ponselnya. Ia tidak bisa menghapusnya. Atau memulai sesuatu yang baru dengan wanita lain, hati Rafael tertinggal di Marsha. Pria itu belum selesai dengan masalalunya.
Dahi Rafael berkerut halus, saat melihat lilin angka di dalam tempat sampah, ketika ia membuang gumpalan kertas.
“Bukannya lilin ini jatuh ke bawah kolong laci? Apa ada orang yang membersihkan ruangan ini?” Tangan pria itu mengambil salah satu, memperhatikan sekilas lalu kembali meletakkan di dalam tempat sampah.
Rafael memang meminta asisten rumah untuk tidak sering membersihkan ruangan itu.
Pukul sebelas malam, Rafael telah selesai urusan pekerjaannya. Ia pun keluar dari ruang kerja, melintasi ruang keluarga dan melewati pintu kamar yang di tempati oleh Sandra dan Safa.
Ya, Rafael dan Sandra memang tidur terpisah. Rafael tidur di kamar utama di lantai dua, sementara Sandra tidur bersama sang putri di lantai satu mengingat wanita itu yang tidak bisa lagi untuk berjalan.
‘Apa nak Rafa ingin melihat mereka?’
Ucapan bibi Rita terngiang di telinga Rafael. Ia pun menghentikan langkah di depan pintu kamar itu. Tangan pria muda itu telah hinggap pada gagang pintu. Perlahan memutar, membuat pintu yang terbuat dari kayu jati itu sedikit terbuka.
Di dalam kamar bernuasa putih dan merah muda itu, nampak Sandra tidur dengan memeluk tubuh sang putri.
Rafael tetap berdiri di ambang pintu, tanpa ada rasa ingin masuk ke dalam ataupun berniat bergabung di atas tempat tidur.
“Maafkan papa, Saf. Papa bukan ayah yang baik untuk kamu.” Gumamnya sembari menutup pintu.
Sebelum pergi ke kamarnya Rafael mampir ke ruang makan untuk mengambil air mineral di dalam lemari es.
“Bibi belum tidur?” Tanya Rafael saat mendapati bibi Rita keluar dari dapur kotor.
“Tadi sudah tidur. Tetapi bibi tiba-tiba teringat dengan kompor, sudah mati atau belum.” Jelas wanita paruh baya itu.
“Hmm.” Rafael mengangguk. “Oh ya bi, apa bibi tau siapa yang membersihkan ruang kerjaku?” Tanya Rafael yang kembali teringat dengan lilin ulang tahun yang ia nyalakan saat hari kelahiran Marsha.
“Wati yang membersihkan.” Bibi Rita menghela nafas pelan. Wanita paruh baya itu menceritakan apa yang terjadi di ruang kerja, yang di sampaikan oleh bi Wati. Rekan kerja yang bertugas membersihkan rumah.
“Apa nak Rafa merayakan ulang tahun Marsha?” Tanya wanita paruh baya itu. Bibi Wati tahu tentang kisah sang majikan, bahkan ia menjadi tempat menangis Rafael saat ia kehilangan gadis yang di cintainya.
“Aku hanya mengingatnya, bi.” Ucap Rafael sendu.
Bibi Wati kemudian mendekat, membuka kedua tangan. Rafael pun menghambur ke dalam pelukan wanita paruh baya itu.
“Aku bersalah padanya, bi. Aku ingin bertemu, dan meminta maaf. Aku sudah menghancurkan masa depannya.”
mungkin itu jg yg membuat banyak orang tidak bisa hidup damai, karena sakit hati harus dibalas dengan sakit hati jg.. 🤦🏻♂️
.
cerita nya bagus, keren 👍
secangkir kopi buat author ☕