Aluna Haryanti Wijaya, gadis lembut yang menikah demi menjaga kehormatan keluarga. Pernikahannya dengan Barra Pramudya, CEO muda pewaris keluarga besar, tampak sempurna di mata semua orang. Namun di balik janji suci itu, Aluna hanya merasakan dingin, sepi, dan luka. Sejak awal, hati Barra bukan miliknya. Cinta pria itu telah lebih dulu tertambat pada Miska adik tirinya sendiri. Gadis berwajah polos namun berhati licik, yang sejak kecil selalu ingin merebut apa pun yang dimiliki Aluna.
Setahun pernikahan, Aluna hanya menerima tatapan kosong dari suaminya. Hingga saat Miska kembali dari luar negeri, segalanya runtuh. Aluna akhirnya tahu kebenaran yang menghancurkan, cintanya hanyalah bayangan dari cinta Barra kepada Miska.
Akankah, Aluna bertahan demi cintanya. Atau pergi meninggalkan Barra demi melanjutkan hidupnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah Alfatih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
02. Lepas perawan
Sinar matahari masuk menembus tirai kamar besar keluarga Pramudya. Barra sudah berdiri di depan cermin, rapi dengan jas kerjanya yang elegan. Wajahnya tegas, sama sekali tak menunjukkan bekas dari malam panjang yang baru saja terjadi.
Di ranjang, Aluna baru saja membuka mata. Tubuhnya masih terasa lemah, kepalanya berat karena kelelahan. Ia tersenyum tipis melihat sosok suaminya, berharap pagi itu berbeda, berharap Barra akan menyapanya dengan lembut untuk pertama kalinya.
Namun yang terdengar justru suara dingin, menusuk hati.
“Pergilah ke apotek, minta obat kontrasepsi darurat. Aku tidak ingin kau hamil.”
Aluna terdiam, senyum di wajahnya lenyap seketika, berganti dengan sorot mata yang berkaca-kaca.
“Barra…” suaranya bergetar, “apa arti selama setahun kita bersama? Apa aku benar-benar tak bisa membuatmu jatuh cinta padaku, walau sedikit saja?”
Barra menoleh, matanya tajam dan dingin.
“Aluna, sejak awal aku sudah bilang di hari pertama pernikahan kita. Aku tidak mencintaimu. Aku mencintai Miska.”
Ia mendekat, suaranya semakin rendah tapi menusuk, “Kalau saja kakekmu tidak mengirim Miska ke Inggris, mungkin aku sudah bersamanya. Kehidupannya di sana tidak baik … dan aku yakin itu ulahmu.”
Aluna terperanjat, darahnya berdesir.
'Dia menuduhku?' kedua tangan Aluna terkepal erat.
Tawa getir lolos dari bibirnya, lalu berganti dengan senyum sinis. Ia turun dari ranjang, berdiri di hadapan Barra dengan tatapan tajam.
“Tak perlu takut aku akan hamil, Barra. Aku tidak akan pernah hamil anak darimu.”
Barra terdiam, wajahnya tetap dingin. Tepat saat itu ponselnya berdering. Ia melirik layar, nama Miska terpampang jelas.
[Kak Barra…] suara lembut gadis itu terdengar di ujung sana, [aku sakit lagi … lambungku kambuh. Bisa temani aku ke rumah sakit?]
Tanpa berkata sepatah pun pada Aluna, Barra mengambil kunci mobilnya, lalu berbalik menuju pintu.
“Barra! Jangan pergi! Aku masih ingin bicara denganmu!” Aluna berteriak, suaranya pecah, penuh amarah sekaligus putus asa. Namun Barra tetap melangkah, pintu kamar terbanting, langkah kakinya terdengar semakin jauh. Dari balkon lantai dua, Aluna melihat mobil hitam Barra meluncur keluar. Cleo, asisten setia pria itu, sudah menunggu di kursi depan.
Aluna berdiri kaku, kedua tangannya mengepal di sisi tubuh, giginya bergemeletuk menahan sakit hati. Air matanya jatuh, bercampur dengan api kemarahan yang mulai membara.
'Baiklah, Barra. Jika hatimu hanya untuk Miska, maka aku akan membuatmu menyesal telah meremehkanku.'
Rumah sakit swasta itu terasa tenang dengan aroma antiseptik yang khas. Barra berjalan cepat di lorong, jasnya masih rapi, wajahnya penuh kecemasan. Di dalam ruang perawatan VIP, Miska sudah berbaring dengan tubuh lemah, wajahnya pucat namun tetap cantik dengan balutan rambut panjang yang tergerai di bantal putih.
Begitu pintu terbuka, Miska menoleh. Senyum tipis muncul di bibirnya meski tubuhnya gemetar menahan sakit.
“Kak Barra … kamu datang,” bisiknya lirih.
Barra segera menghampiri, menarik kursi dan duduk di sampingnya. Tangannya menggenggam jemari Miska dengan hati-hati.
“Tentu saja aku datang. Kau sudah minum obat?” suaranya lembut, berbeda seratus delapan puluh derajat dari cara ia berbicara pada Aluna di rumah tadi pagi.
Miska menggeleng pelan. “Aku menunggu kamu, Kak … aku takut sendirian.”
Sorot mata Barra melembut. Ia merapikan selimut yang menutupi tubuh Miska, lalu mengusap pelipis gadis itu dengan penuh perhatian.
“Kau tidak sendiri, Miska. Aku ada di sini. Aku tidak akan membiarkanmu menderita lagi.”
Miska menatapnya dengan mata berkaca-kaca, memainkan peran gadis lemah tak berdaya yang selalu berhasil menyentuh hati pria.
“Kak Barra … kamu tahu, sejak dulu aku … hanya ingin bersamamu. Tapi semuanya terasa sulit. Kakak...” ia berhenti, menggigit bibir, pura-pura ragu untuk menyebut nama Aluna.
Barra menghela napas panjang. “Aku tahu, semua ini rumit ... tapi percayalah, jika bukan karena perjanjian keluarga, aku tak akan pernah menikah dengan Aluna.”
Miska tersenyum samar, hatinya puas. Ia tahu Barra sudah sepenuhnya ada di pihaknya. Suster masuk membawa obat, namun Barra sendiri yang membantu Miska duduk dan meminum obatnya dengan sabar. Bahkan setelahnya, ia menyuapi segelas air hangat dengan telaten.
“Tidurlah, aku akan tetap di sini menemanimu sampai siang nanti kita pulang," ucap Barra lembut. Miska memejamkan mata, senyum kemenangan masih tersungging di bibirnya.
Saat ini di rumah besar keluarga Wijaya siang itu terasa hangat. Aluna baru saja tiba, disambut hangat oleh Kakek Haryanto. Wajah tua pria itu tampak cerah melihat cucunya.
“Aluna, cucuku … akhirnya kau sempat datang. Kakek senang sekali melihatmu,” ucapnya sembari menggenggam tangan Aluna dengan penuh kasih. Aluna tersenyum lembut, menunduk hormat pada sang kakek. “Aku selalu ingin pulang, Kek. Rumah ini tetap rumahku.”
Belum lama mereka berbincang, suara mobil terdengar berhenti di halaman. Semua mata menoleh, dan tak lama sosok Barra masuk bersama Miska yang berjalan di sampingnya. Suasana ruang tamu seketika berubah. Tuan Haris, ayah Aluna, serta Tuti ibu Miska langsung menyambut keduanya dengan senyum lebar.
“Oh, Tuan Barra … kau benar-benar menantu yang baik,” puji Tuti dengan penuh arti. “Peduli sekali dengan adiknya Aluna, selalu menemaninya di mana pun.”
Aluna yang berdiri di sisi kakeknya hanya tersenyum getir. Bibirnya melengkung tipis, seakan setuju dengan ucapan itu, padahal hatinya penuh luka.
“Iya … suamiku memang sangat perhatian,” katanya lirih, namun cukup jelas untuk terdengar semua orang. Seketika Barra menoleh sekilas ke arah istrinya. Tatapannya datar, namun Aluna tidak gentar. Hari ini ia memang sengaja mengenakan gaun dengan potongan leher rendah. Bekas merah samar di kulitnya masih terlihat, tanda malam panjang yang mereka lalui.
Miska yang melihatnya membelalak kecil, rahangnya mengeras. Matanya memancarkan api cemburu yang ditahannya dengan susah payah. Di depan keluarga, ia tak bisa berbuat apa-apa. Aluna tersenyum sinis melihat reaksi adik tirinya. Perlahan ia berjalan mendekat, lalu dengan penuh kelembutan merangkul lengan Barra.
“Barra,” ucapnya manja, “bagaimana kalau kita makan siang bersama di sini? Aku ingin sekali duduk di meja makan dengan keluarga.”
Semua orang menatap mereka dengan senyum bahagia, seakan pernikahan itu penuh keharmonisan. Namun hanya Miska yang merasakan jarum menusuk hatinya, melihat Barra pria yang seharusnya untuknya berdiri dirangkul oleh kakak tirinya yang sejak dulu selalu merebut segalanya.
'Heh, panas kau kan?' Aluna melirik Miska sembari tersenyum penuh kemenangan.
"Ayo ... ayo, makan siang bersama," ajak Haryanto kepada semua orang. Aluna merangkul lengan suaminya dengan mesra dan membuat Miska begitu cemburu.
Semoga karma cepat menjemput mu 😡😡😡