NovelToon NovelToon
Hammer Of Judgment

Hammer Of Judgment

Status: sedang berlangsung
Genre:Teen / Misteri Kasus yang Tak Terpecahkan / TKP
Popularitas:1.3k
Nilai: 5
Nama Author: yersya

Hammer of Judgment yang membalas kejahatan dengan kejahatan. Apakah Hammer of Judgment adalah sosok pembela keadilan? Atau mungkin hanyalah sosok pembunuh?

Nantikan kelanjutannya dan temukan siapa sebenarnya Hammer of Judgment.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon yersya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 9

Aku perlahan-lahan membuka mataku, dan kaget melihat langit-langit rumah yang tidak aku kenali. Kepalaku terasa sakit dan sedikit pusing.

 

“Erina!” Ujar Nada dengan kekhawatiran yang terpancar dari matanya, sambil memelukku erat. “Apa kamu tidak apa-apa? Apa ada yang sakit?”

 

Aku mencoba tersenyum lemah untuk menenangkan Nada. “Aku baik-baik saja, hanya sedikit pusing. Tapi, dimana kita berada?”

“Kita berada di rumahku!” Jawab Arvin yang duduk bersandar di sudut ruangan ketika Nada melepaskan pelukannya.

“Bagaimana kita bisa keluar?” Tanyaku.

“Tidak lama setelah kamu pingsan, asap itu mulai menghilang. Aku yang masih sadarkan diri langsung membangunkan Nada agar dia bisa kembali membukakan pintunya. Lalu aku menggendongmu dan membawamu kesini” jelas Arvin.

“Hanya itu?” Tanyaku. “Aku pikir kita akan mati oleh asap itu atau kita akan terbangun dalam keadaan terikat atau terkurung di suatu tempat”

“Sepertinya itu adalah perangkap otomatis yang aktif ketika pintu masuknya di retas. Ada kemungkinan kepala sekolah sudah tahu kalau ada penyusup yang masuk ke ruangan bawah tanah itu” jelas Nada. “Tapi, mengingat dia sekarang berada di luar kota, dia pasti sedang panik sekarang” ucap Nada sambil menyeringai.

Hening sejenak, aku merasa lega karena kami berhasil keluar dengan selamat. Tapi, kami tidak tahu apa yang akan terjadi kedepannya. Nada memang telah meretas CCTV-nya, tapi kepala sekolah masih bisa mengetahui siapa yang menyusup ke ruangan bawah tanah itu melalui pak satpam. Jika saja aku mendengarkan Nada, maka hal seperti ini tidak akan terjadi. Ini semua salahku, aku membuat mereka berdua terlibat dalam bahaya.

 

“Maafkan aku,” ucapku dengan suara rendah, mencoba untuk menahan rasa bersalahku.

 

“Jangan minta maaf!” potong Nada, dengan tegas. “Aku yang memutuskan untuk ikut denganmu, jadi jangan meminta maaf!”

 

Aku tahu Nada akan berkata seperti itu. Tapi, tetap saja, ini semua salahku. Aku tahu bahwa hanya dengan meminta maaf, masalah tidak akan langsung selesai. Namun, meskipun begitu, aku merasa perlu mengungkapkan penyesalanku dan bertanggung jawab atas tindakanku. Aku juga harus menyelesaikan masalah ini, walaupun aku harus melakukannya sendirian.

 

“Kenapa kamu minta maaf?” Tanya Arvin, dengan ekspresi serius.

 

“I-itu karena aku membuat kalian berada dalam bahaya,” jawabku, ragu.

 

“Kenapa? Kamu hanya hidup, kan? Apa kamu perlu meminta maaf hanya karena kamu hidup?”

 

Aku terdiam, keheranan mendengar perkataan Arvin. Aku sama sekali tidak mengerti apa yang Arvin coba sampaikan.

 

“Mereka yang tidak berani melakukan hal-hal yang ingin mereka lakukan hanya karena takut atau alasan tidak berguna lainnya, mereka sama saja dengan mati!” Tambahnya.

 

Kata-kata Arvin membuatku terdiam dan memikirkannya. Mungkin itu adalah idealismenya.

 

“Tapi, tetap saja rasa bersalah ini tidak akan pernah hilang!” Ujarku dengan nada tinggi. “Jika kalian berada dalam bahaya karena hal ini, maka aku tidak akan pernah memaafkan diriku sendiri”

 

Arvin menatapku dengan tajam, mencoba menembus ke dalam hatiku. “Rasa bersalah? Memaafkan? Kalau begitu, siapa yang akan kamu salahkan ketika orang yang berharga bagimu meninggal karena bencana? Apa kamu akan menyalahkan alam? Tidak, kamu hanya akan menangisi kepergian mereka tanpa menyalahkan siapapun,” ucap Arvin. “Jika kau memiliki ambisi, maka kejarlah ambisi itu walaupun harus mengorbankan segalanya!” Tambahnya dengan nada tinggi.

 

Aku menggeram kesal mendengar hal itu. Bukan karena bicaranya yang kasar, tapi karena aku tidak bisa menerima idealismenya itu. “Tidak semua ambisi harus kita kejar!” Ujarku dengan kesal. “Terkadang kita harus mengorbankan ambisi yang kita miliki untuk melindungi hal-hal yang berharga bagi kita”

 

Kami berdua saling melototi, membuat atmosfer di sekitar kami menjadi mencekam. Aku tahu Arvin hanya mencoba membuatku berhenti menyalahkan diriku sendiri. Tapi tetap saja, aku tidak dapat menerima idealismenya yang terlalu kejam.

“Tenanglah, Erina!” Ujar Nada, mencoba menenangkanku. “Kamu juga harus tenang, Arvin! Dan juga, jangan berkata kasar seperti itu!”

 

“Kamu benar! Maafkan aku! Hari sudah semakin gelap, gunakanlah ruangan ini untuk istirahat!” Ujar Arvin sambil berjalan keluar.

 

Hening sejenak, Nada kemudian mematikan lampu. Dia berbaring di sebelahku tanpa mengatakan apapun dan langsung tertidur, sepertinya dia sangat kelelahan. Aku juga mencoba untuk tidur, tapi tidak bisa. Ada banyak hal yang aku pikirkan dan aku khawatirkan.

Pukul dua dini hari, aku tetap masih belum bisa tidur. Aku selalu kepikiran dengan apa yang Arvin katakan tadi. Apalagi, tatapan matanya itu. Hari ini adalah yang kedua kalinya aku melihat tatapan matanya itu.

“Tidak bisa tidur?” Tanya Nada tiba-tiba.

“Ya” jawabku singkat. “Bagaimana menurutmu dengan yang Arvin katakan tadi?” Tanyaku.

Nada berpikir sejenak sebelum menjawab. “Yah, tergantung situasinya. Jika itu untuk melindungimu, maka aku akan mengorbankan segalanya”

“Nada!” Ucapku dengan lantang. “Berjanjilah padaku, kalau kamu harus mengutamakan keselamatanmu terlebih dahulu”

Nada hanya diam saja, dia sama sekali tidak mau mendengarkanku. Arvin mungkin menganggapku orang yang baik hati karena membantah idealismenya tadi. Tapi, jujur saja, jika itu untuk melindungi sesuatu yang berharga bagiku, aku juga akan mengorbankan segalanya.

Aku merenung sejenak, berpikir bahwa kemungkinan ambisi yang dimaksudkan oleh Arvin juga sesuatu yang berharga baginya. Jika memang begitu, maka aku sama sekali tidak punya hak untuk memarahinya.

Aku menghela nafas dalam-dalam, merasakan rasa bersalah yang muncul kembali. “Sebaiknya aku minta maaf besok,” gumamku dalam hati.

 

Dengan hati yang berat, aku mencoba melepaskan beban pikiran dan membiarkan diriku tenggelam dalam keheningan malam. Perlahan, mataku terasa semakin berat, dan aku merasakan diriku terhanyut oleh kelelahan yang menyelimuti tubuhku.

 

Pikiranku perlahan mereda, dan aku merasakan diriku tenggelam dalam alam mimpi yang tenang. Suasana ruangan menjadi samar dan aku merasakan diriku melayang dalam ketenangan yang mendalam. Pikiran-pikiran yang mengganggu perlahan menghilang, dan aku merasakan diriku semakin rileks.

 

Tidur perlahan-lahan menyambutku, membawa aku ke dalam dunia mimpi yang penuh dengan ketenangan dan kedamaian. Aku merasakan diriku terlelap, membiarkan pikiran dan perasaan yang rumit terlepas sejenak.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!