Hammer Of Judgment
Ada pepatah yang mengatakan, “masa lalu adalah sejarah, masa depan adalah misteri, dan masa kini adalah pilihan.” Semua orang di dunia ini pasti memilih dalam hidupnya. Memilih melakukan hal baik maupun buruk, memilih untuk berusaha atau bermalas-malasan. Ketika seseorang tidak memilih, maka itu adalah pilihannya.
Meskipun begitu, tidak peduli apapun yang kita pilih, tidak peduli seberapa besar usaha yang kita lakukan dalam pilihan tersebut, atau sekuat apapun kita mencobanya, seseorang tidak akan pernah lepas dari sesuatu yang disebut dengan takdir.
Jika jalan yang aku lalui ini adalah takdir yang telah lama ditentukan, maka aku akan dengan senang hati melaluinya dan memberikan palu penghakiman kepada para penjahat. Atas nama Hammer of Judgment.
...…...
Namaku Erina Amalia Putri, biasa dipanggil Erina. Saat ini umurku enam belas tahun dan aku berada di kelas sebelas SMA Purnama. Aku tidak bermaksud sombong, tapi aku sadar kalau diriku ini sangatlah cantik. kulit yang halus dan seputih salju, seperti permadani lembut yang terjaga dari sinar matahari. Wajah yang dipenuhi dengan keanggunan dan pesona yang tak tergantikan. Mata yang berkilauan seperti permata, memberikan kilatan kecerdasan dan kehangatan yang tak terlupakan.
Rambut hitam, halus, dan panjang, mengalir dengan anggun seperti sungai yang meliuk-liuk. Setiap helai rambut yang tampak begitu sempurna, menghadirkan keindahan yang memikat hati siapapun yang melihatnya. Ketika angin berhembus, rambutku bergerak dengan lembut, menciptakan tarian yang mempesona. Senyumanku yang begitu memikat, memancarkan kebahagiaan dan kebaikan dari hatiku yang tulus.
Dengan tinggi badanku yang 160 cm dan berat badan yang rahasia dan beberapa privasi lainnya, bisa dibilang aku adalah primadona di sekolah ini, dan sudah tidak terhitung banyaknya laki-laki yang menembakku dan mengajakku pacaran. Namun, aku memilih untuk menolak semua ajakan tersebut, karena bagiku pacaran itu merepotkan. Dan juga, mereka hanya mencintai tampilan luarku bukan diriku apa adanya.
Saat ini aku berjalan di lorong sekolah, menuju ke kelas. Ketika aku berjalan, aku menyadari bahwa pandangan orang-orang tertuju padaku, baik laki-laki maupun perempuan. Aku bisa merasakan perhatian yang diberikan oleh mereka di sekitarku.
“Pagi, Erina!” Ucap seorang gadis yang tiba-tiba menepuk punggungku.
Namanya adalah Nada, dia adalah teman baikku. Jika aku mendeskripsikannya, dia juga tidak kalah cantiknya denganku. Walaupun kami ini teman baik, kami selalu bersaing dalam bidang akademik maupun non-akademik ketika di sekolah. Tapi diluar itu, kami ini adalah sahabat sejati.
“Pagi, Nada!” Balasku sambil tersenyum.
“Apa kamu sudah belajar untuk UTS yang akan datang?” Tanya Nada dengan antusias.
“Tentu saja. Kali ini aku tidak akan kalah darimu”
Nada menyeringai. “Coba saja. Toh, lagian aku juga yang akan juara satu” ucap Nada dengan nada mengejek.
Aku merasa sangat kesal dengan ejekan dan kesombongannya itu. “Kalau begitu, mau bertaruh?”
“Oh? Tentu saja. Kalau begitu, yang kalah harus…”
Belum habis kalimat Nada, tepat ketika kami memasuki ruang kelas. Tubuh seorang siswa laki-laki bernama Arvin terhempas menghantam dinding kelas dengan sangat keras.
Seorang siswa laki-laki yang menendang Arvin sehingga tubuhnya terhempas itu bernama Alex.
“Bagaimana rasanya? Itulah akibatnya karena kau bersikap sombong” ucap Alex sambil tertawa kecil bersama dengan teman-temannya yang menonton aksi Alex tersebut.
“Mereka melakukannya lagi? Ayo, Erina, sebaiknya kita tidak terlibat dengan mereka!” Ucap Nada sambil berjalan ke tempat duduknya.
Arvin Maulana, seorang pria yang sangat pendiam. Dia sangat jarang bicara dan selalu menyendiri. Wajah dan nilai akademis maupun non-akademiknya rata-rata. Bisa dibilang dia orang yang bisa ditemukan dimana saja. Tapi, karena sifat pendiam dan penyendirinya itu, dia jadi target bully oleh siswa nakal, dan bahkan guru tidak mempedulikan Arvin yang dibully itu.
Aku melihat Arvin yang meringis kesakitan. Kejadian ini tidak hanya terjadi sekali dua kali. Mereka selalu mencari alasan untuk membully Arvin meskipun dia tidak salah apa-apa.
Meskipun aku tidak tega melihatnya, tapi tidak ada yang bisa aku lakukan. Lebih baik aku…
Tepat ketika aku ingin pergi ke tempat dudukku, aku terkejut kalau mata Arvin dengan mataku bertemu. Aku dapat merasakan kebencian dan amarah yang terpancar dari matanya.
Apa dia marah padaku? Tapi kenapa? Tidak, sedari awal aku telah menyadarinya. Meskipun kami tidak ikut membullynya, tapi hanya menonton saja seperti tidak terjadi apa-apa juga merupakan sebuah kesalahan. Aku tidak pernah mencoba menolongnya, tentu saja dia akan marah padaku.
Kalau begitu, meskipun aku tahu ini sia-sia, setidaknya aku akan mencoba untuk menolongnya.
“Hei, sebaiknya kalian henti…”
Belum habis kalimatku, guru tiba-tiba datang dan menyuruh semua murid untuk duduk di tempat duduknya masing-masing. Alex dan semua siswa yang menonton berdecak kesal dan kembali ketempat duduk mereka.
Aku berjalan mendekati Arvin, mengulurkan tanganku dengan ragu-ragu. “Apa kamu tidak apa-apa?”
Arvin melihat tanganku, lalu kemudian dia bangkit Tanpa meraihnya. “Ya, terima kasih” ucap Arvin dengan pelan sambil berjalan ke tempat duduknya.
Terima kasih? Kenapa dia berterima kasih padaku? Padahal aku tidak melakukan apapun.
Pukul empat sore, bel pulang berbunyi. Saat ini aku sedang dalam perjalanan pulang bersama Nada.
“Apa kamu mencoba untuk menolong Arvin, Erina?” Tanya Nada.
“Yah, begitulah” jawabku singkat.
“Kenapa?” Tanya Nada lagi.
Aku terdiam mendengar pertanyaan itu. Aku mulai memikirkan alasan kenapa aku mencoba menolong Arvin tadi. Apakah kita benar-benar butuh alasan untuk menolong seseorang. Tidak, aku tidak semulus itu, buktinya selama ini aku hanya menonton saja ketika Arvin di bully. Lalu kenapa? Apakah karena aku merasa kasihan padanya? Atau mungkin karena rasa bersalah?
“Aku tahu kalau kamu itu terlalu baik, Erina! Tapi lebih baik kamu tidak terlibat dengan mereka!” Ujar Nada dengan serius. “Yah, jangan terlalu dipikirkan, lebih baik kamu memikirkan untuk mengalahkanku di UTS yang akan datang” tambahnya sambil menyeringai.
Aku mengangguk sambil tersenyum. Nada benar, lebih baik aku tidak terlalu membebani pikiranku dalam masalah ini.
Pukul delapan malam, aku membuka internet dan memutar video pembelajaran untuk persiapan UTS yang akan datang. Meskipun kejadian tadi masih terlintas di benakku, aku berusaha keras untuk menghilangkan pikiran tersebut agar aku bisa fokus sepenuhnya pada pembelajaran.
Keesokan harinya, suasana di sekolah menjadi sangat heboh. Ketika aku masuk kedalam kelas, aku sangat terkejut dengan apa yang aku lihat. Darah dan organ dalam yang berceceran di setiap sudut ruang kelas kami, membuat pemandangan ini terlihat sangat ngeri. Nada yang berdiri di sampingku tiba-tiba memelukku, mencoba menutup pandangannya dari pemandangan yang mengerikan ini. Beberapa siswa mulai merasa mual dan muntah ditempat.
Beberapa pertanyaan mulai muncul di benakku. Siapa yang melakukan ini? Tapi yang lebih penting, darah siapa ini? Meskipun aku merasa sedikit mual, aku mencoba menahan perasaan itu dan memberanikan diri untuk memasuki ruangan. Aku melihat sekeliling, mencari petunjuk apa pun yang bisa memberikan penjelasan.
Belum genap beberapa detik, mataku tertuju pada papan tulis. Di sana tergantung sebuah kepala yang mengerikan.
“Itu... Alex?” gumamku dengan ngeri.
Aku merasa terkejut dan tak percaya dengan apa yang kulihat. Alex, siswa laki-laki yang disebut-sebut sebelumnya, tergantung di papan tulis dengan kondisi yang mengerikan. Aku merasa campur aduk antara ketakutan dan kebingungan.
Tanpa berpikir panjang, aku segera mengambil langkah mundur dan mencoba menenangkan diri. Aku tahu bahwa aku harus melaporkan kejadian ini kepada guru atau pihak sekolah secepat mungkin. Keadaan ini sangat serius dan membutuhkan tindakan yang tepat.
Tapi tiba-tiba perhatianku tertuju pada tulisan yang ada di papan tulis, yang ditulis dengan darah. Hatiku berdegup kencang saat membaca tulisan itu.
“MATA DIBALAS MATA, TANGAN DIBALAS TANGAN, DAN KEJAHATAN DIBALAS KEJAHATAN. AKU AKAN MENJATUHKAN PALU PENGHAKIMAN KEPADA PARA PENJAHAT”
^^^HAMMER OF JUDGMENT^^^
...…...
Di sebuah ruangan yang bermodalkan cahaya redup, seseorang duduk sendirian di meja kayu yang terletak di tengah ruangan. Dalam keheningan yang terasa mencekam, orang itu dengan hati-hati membuka sebuah buku tua yang terletak di depannya dan menulis sesuatu di buku tersebut.
Nama : Alex Pratama
Umur : 16 Tahun
Status : Mati
Target selanjutnya:???
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments
akubami_oi
Tapi judgement sendiri adalah suatu yang tidak pasti, untuk itu makanya ada hukum... Tapi ya dia bergerak sendiri sih, tuan palu ini
2024-07-14
0