NovelToon NovelToon
SKUAT INDIGO 2

SKUAT INDIGO 2

Status: tamat
Genre:Action / Fantasi / Tamat / spiritual / Iblis / Epik Petualangan / Perperangan
Popularitas:6.2k
Nilai: 5
Nama Author: David Purnama

Amelia dan Akbar kembali berpetualang.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon David Purnama, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 9 TIGA YANG TERSISA

Akbar dan Amelia melanjutkan perjalanan mereka. Misi mereka kali ini untuk mencegah kepunahan massal pengguna ilmu batin apabila ajian perut bumi berhasil dikuasai. Mereka tidaklah sendiri. Mereka akan bergabung dengan rekan-rekan yang lain.

Dari Omah Medi mereka berdua melanjutkan perjalanan selanjutnya untuk bertemu dengan Ki Blinger. Tidak ada petunjuk yang jelas dari dukun sakti itu dimana dan kapan mereka harus menemuinya. Yang disampaikan Ki Blinger kepada Akbar adalah untuk tetap di kota gudeg dan terus bergerak sambil melatih kemampuan mata tembus milik Amelia. Karena sejatinya yang dibutuhkan dari penerawangan Amelia adalah untuk melihat secara penerawangan di dimensi gaib yang dalam. Selama itu tugas Akbar adalah untuk menjaga keselamatan Amelia. Gadis itu memegang peranan penting dalam misi ini. Ki Blingerlah yang akan datang menemui mereka.

Akbar memanglah sudah mengalami banyak perubahan dalam hal yang positif setelah kembalinya ia dari perantauannya di Pulau Dewata. Tapi masih saja tabiat buruknya sedikit tersisa di dalam dirinya. Malam itu malam kedua ia dan Amelia berada di Omah Medi setelah seharian jalan-jalan mengitari keindahan kota pelajar. Jam menunjukkan pukul 8.00 malam. Amelia sedang sibuk menjajal kemampuannya dengan menerawang benda-benda yang diambil oleh Akbar secara asal di jalan yang mereka lalui seharian.

“Sudah dulu. Ayo kita keluar. Ada urusan yang lebih penting”, kata Akbar.

Amelia yang juga sudah mulai bosan dengan kegiatan yang ia lakukan yang itu-itu saja mengiyakan ajakan kawannya.

Amelia menahan senyumnya dan melihat ke arah Akbar dengan begitu gembira setelah sampai di tempat kemana kawan tuanya itu membawanya. Sementara itu Akbar hanya menanggapi biasa tingkah gadis yang mencuri perhatian orang-orang di keramaian itu.

Sebuah karnaval atau yang lebih dikenal dengan sebutan Pasar Malam saat itu sedang diselenggarakan di Alun-Alun Kidul. Ramai orang-orang mendatangi tempat yang penuh dengan wahana hiburan dan permainan serta banyak jajanan dan beragam makanan juga pernak-pernik yang tersedia di sana. Mereka berdua pun nampak antusias berkeliling menikmati malam di tengah-tengah lautan manusia.

“Kenapa tadi siang tidak lewat sini”, tanya Amelia.

“Tadi siang panas. Aku takutnya kamu berlama-lama”, jawab Akbar.

“Oh... kamu takut tambah hitam ya?”, ledek Amelia berbalas lemparan kacang rebus yang menghujani wajahnya yang dilemparkan oleh Akbar.

Waktu sudah mendekati tengah malam ketika Akbar dan Amelia kembali ke Omah Medi. Mereka berdua disambut dengan adanya orang lain yang sudah berada di dalam rumah tersebut. Orang yang memunggungi mereka itu lantas berbalik menatap mereka dengan tatapan yang menyelidik.

“Kalian berdua pacaran?”, kata orang itu yang ternyata adalah Ki Blinger.

Amelia dan Akbar sama-sama tidak ada yang menjawab pertanyaan atau pun tuduhan yang disangkakan kepada mereka.

“Kalau mau mesum ditunda dulu setelah misi ini selesai”, sentil Ki Blinger.

Tuduhan Ki Blinger kali ini membuat Amelia kesal. Dipikirnya dia perempuan gampangan. Sementara Akbar malah berpikir yang bukan-bukan sambil memalingkan pandangannya ke Amelia dengan tatapan mencurigakan yang berbalas toyoran kepadanya.

Ki Blinger menunjukkan sebuah serit (sisir zaman dulu). Itu adalah sebuah serit kepunyaan Nyi Blinger. Ia menyerahkan benda itu kepada mereka berdua sembari berpesan.

“Pemilik barang itu tidaklah lebih kuat dari aku atau pun kalian. Tapi ia sangat licik. Tugasmu adalah mengawasinya dan mencuri informasi dari orang itu. Hati-hati jika ia menipumu. Dan ingat jangan sampai ia melihatmu ketika kamu melihatnya. Ia bisa saja manarikmu”, jelas Ki Blinger kepada Amelia.

“Cari tahun kapan dan dimana ia akan melakukan sesembahan itu”, tambah Ki Blinger.

Itulah kunjungan singkat Ki Blinger ke Omah Medi dimana ia memaparkan apa yang harus dilakukan oleh Akbar dan juga Amelia. Mereka ditugasi untuk memata-matai Nyi Blinger dengan mata terawang Amelia melalui serit yang dibawakan oleh Ki Blinger. Amelia harus mencari tahu kapan dan dimana Ritual Ajian Perut Bumi akan diselenggarakan.

***

Jam sekolah telah usai. Ridwan masih berada di kantin sekolah yang sudah ditinggalkan para penjualnya. Ia sedang merenungi apa yang sebaiknya ia lakukan terkait ajakan Ki Blinger dalam misinya beberapa hari yang lalu. Sempat terpikir untuk mengurungkan niatnya. Tapi ia sudah lepas janji kepada Ki Blinger. Apalagi ia juga sudah mendapat lampu hijau dari istrinya. Istri Ridwan tidak tahu jika perkara yang akan dihadapi suaminya ini bisa menyentuh antara hidup dan mati.

Tidak mungkin mengajak sembarang orang dalam sebuah petualangan besar yang mempertaruhkan keselamatan jiwa. Beberapa kenalannya hanyalah orang-orang yang masih terhitung baru dalam dunia supranatural dan sebagian yang lain ialah kelompok muda-mudi yang cenderung tertarik dengan mistis untuk kesenangan mereka belaka. Untuk sebuah pertarungan besar tidaklah mungkin melibatkan mereka.

Ridwan memutar ulang peristiwa yang dialaminya empat tahun yang lalu ketika ia tergabung dengan ketiga kawan lainnya dalam misi menyelamatkan jiwa Dahlia putri Bapak. Ki Blingerlah yang waktu itu menunjuk dirinya beserta Akbar, Amelia dan juga mendiang Rike. Secercah harapan muncul dibenaknya dalam lamunan itu. Ia mengingat ulang dengan benar bahwa kehadiran Ki Blinger dalam misinya empat tahun silam itu juga merupakan sebuah saran (pituduh). Nama Ki Blinger waktu itu muncul sebab disarankan oleh dawuh Sang Kyai. Begitulah kisahnya yang ia dengarkan dari Bagus.

“Dek. Aku besok mau ke Rembang”, kata Ridwan kepada istrinya.

“Keperluan sekolah? Bukannya besok hari minggu mas?”, tanya istri Ridwan yang menunjukkan gelagat tidak senang.

“Mau sowan ke tempat Pak Kyai”, jawab Ridwan kalem.

“Kamu tidak apa-apa kan? Ini soalnya penting. Masalah yang kemarin itu”, Ridwan mencoba menjelaskan.

“Memang aku dan anakmu ini tidak penting?”, tanya sang istri yang membuat Ridwan menelan ludah.

“Kamu bolehinkan Dek?”, Ridwan mencoba mendinginkan istrinya.

“Terserah”, istrinya justru semakin panas. Ia memunggungi suaminya.

“Dek... dek...”, Ridwan merajuk. Diulanginya panggilan sayangnya kepada istrinya itu berkali-kali sambil mengelus-elus punggung sang kekasih. Namun ajakan Ridwan malam itu bertepuk sebelah tangan.

Membutuhkan waktu lebih dari 10 jam dari Tegaldlimo menuju Rembang. Ridwan berangkat pagi-pagi sekali. Ia takut jika ia nanti sampai rumah di waktu yang tidak diharapkan oleh istrinya. Ia mengendarai mobil Jeep kesayangannya. Ba’da asar Ridwan seorang diri sudah sampai di kota tujuannya. Tidak sulit menemukan rumah kediaman Sang Kyai yang bersebelahan dengan pondok pesantren yang diasuhnya.

Sesampainya di sana Ridwan dipersilahkan masuk dan disuruh untuk menunggu. Setelah hampir 30 menit Ridwan menunggu di ruang tamu dengan suguhan minuman teh panas dan roti-roti kering yang berdiam di toples-toples seorang diri akhirnya ada seseorang yang kembali menemuinya. Rupanya ia adalah orang yang sama dengan orang yang tadi mempersilahkan Ridwan untuk masuk saat kedatangannya. Orang itu membawa kabar yang menguji kesabaran Ridwan.

“Oalah mas mohon maaf. Ternyata Pak Kyai sedang berada di rumah istrinya yang di kampung sebelah mas”, kata orang itu penuh dengan senyuman.

“O...”, jawab Ridwan meredam emosinya.

“Bisa tolong antarkan saya ke sana mas”, pinta Ridwan.

“Mohon maaf lagi mas. Tidak bisa. Masnya jalan kaki saja ke sana. Masuk lewat gapura sebelah ini. Jaraknya dekat. Mobilnya biar di sini saja. Kalau masuk ke sana susah dapat tempat parkirnya”, jawab orang itu menerangkan.

“Baiklah mas saya jalan kaki saja. Rumahnya yang sebelah mana?”, tanya Ridwan.

“Rumahnya yang ada di deretan paling ujung mas. Rumah warna hijau di depannya ada pohon mangganya. Gampang dicari mas”, terang orang itu.

“Baik mas terimakasih saya langsung ke tempat Pak Kyai kalau begitu. Saya titip mobil saya ya mas”, kata Ridwan.

“Siap”, jawab orang itu dengan penuh ketenangan.

Harapan Ridwan untuk segera bertemu dengan Pak Kyai kembali tersendat. Ridwan benar-benar dibuat geram oleh orang yang baru saja ditemuinya. Setelah menunggu setengah jam tanpa hasil. Ia kembali termakan oleh omongan orang di rumah tadi. Ternyata jarak yang dibilangnya dekat Ridwan yakin jarak tempuhnya lebih dari setengah kilometer untuk sampai di deretan rumah yang paling ujung. Rumah yang berwarna hijau yang di depannya terdapat pohon mangga ada beberapa tidak hanya satu rumah saja. Dan di sana Ridwan kembali dibuat kesal karena ia yakin mobilnya bisa masuk dan parkir di tepi jalan tanpa menutup atau menghalangi pengguna jalan lainnya.

Setelah tiga kali salah rumah akhirnya Ridwan sampai di rumah Sang Kyai. Ia terkesan lantaran di sebuah rumah yang sederhana dan jauh dari kata mewah ia menemukannya. Ketika Ridwan masuk rumah yang pintunya sudah terbuka itu Pak Kyai sedang berada di ruang tamu bercengkrama bersama keluarganya.

Kepenatannya dalam perjalanan dan apa yang baru saja dialaminya terbayar dengan sambutan hangat Sang Kyai. Sang Kyai sebenarnya sedang tidak enak badan. Itu juga alasan mengapa ia memilih untuk sementara tinggal di rumah istrinya supaya ada yang merawatnya.

“Ini perkenalkan istri saya”, kata Pak Kyai.

“Mohon maaf Pak Kyai. Tapi istri Pak Kyai yang mana?”, Ridwan bingung.

“Ya semua-muanya”, jawab Sang Kyai sambil tertawa diikuti keempat istrinya yang juga turut tertawa.

Ridwan tercengang. Baginya satu saja sudah minta ampun. Di hadapannya kini ia menyaksikan Sang Kyai berbahagia dengan keempat orang istrinya. Bahkan salah satu diantaranya ada yang usiannya jauh lebih muda dari dirinya. Ia pikir tadi itu dia adalah anak dari Sang Kyai.

Kemudian sang tamu menceritakan inti dari kedatangannya menemui Sang Kyai. Ridwan menjelaskan secara terperinci duduk perkaranya termasuk prasangka buruknya terhadap Ki Blinger. Ia juga menceritakan kejadian empat tahun lalu yang ia dan rekan-rekannya alami. Semua penuturan Ridwan yang panjang itu hanya berbalas satu kalimat oleh Sang Kyai.

“Ya aku sudah tahu”, jawab Sang Kyai.

Keputusannya menemui Pak Kyai sungguhlah tepat. Sang Kyai akan membantunya dalam misinya kali ini. Jika nanti waktunya telah tiba Sang Kyai akan mengirimkan murid-murid terbaiknya untuk bergabung dengannya. Ridwan bersyukur sudah menyelesaikan tugas pertamanya untuk mencari bala bantuan guna menghadapi pertempuran yang waktunya kian dekat di depan mata. Kini ia hanya menunggu kepastian dari Ki Blinger tentang kapan dan dimana ritual Ajian Perut Bumi akan dilaksanakan.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!