Calon suaminya direbut oleh sang kakak kandung. Ayahnya berselingkuh hingga menyebabkan ibunya lumpuh. Kejadian menyakitkan itu membuat Zara tidak lagi percaya pada cinta. Semua pria adalah brengsek di mata gadis itu.
Zara bertekad tidak ingin menjalin hubungan dengan pria mana pun, tetapi sang oma malah meminta gadis itu untuk menikah dengan dosen killernya di kampus.
Awalnya, Zara berpikir cinta tak akan hadir dalam rumah tangga tersebut. Ia seakan membuat pembatas antara dirinya dan sang suami yang mencintainya, bahkan sejak ia remaja. Namun, ketika Alif pergi jauh, barulah Zara sadar bahwa dia tidak sanggup hidup tanpa cinta pria itu.
Akan tetapi, cinta yang baru mekar tersebut kembali dihempas oleh bayang-bayang ketakutan. Ya, ketakutan akan sebuah pengkhianatan ketika sang kakak kembali hadir di tengah rumah tangganya.
Di antara cinta dan trauma, kesetiaan dan perselingkuhan, Zara berjuang untuk bahagia. Bisakah ia menemui akhir cerita seperti harapannya itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon UQies, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
EPISODE #15
Dua tahun lalu ....
Hujan gerimis terasa begitu dingin menyentuh kulit, ditambah terpaan angin yang semakin menurunkan suhu udara malam itu. Seorang pria yang sedang dalam perjalanan kembali dari mengurus hak warisnya di rumah pengacara, tak sengaja melihat seorang gadis tanpa hijab sedang berdiri di pinggir jembatan sambil menangis.
"Jasmine?" ucap pelan pria berusia 25 tahun itu. Ia mengenali gadis yang sudah lama tak dilihatnya walau hanya dari samping.
Pria berkacamata itu meminta supir taksi yang ia naiki saat ini untuk berhenti sejenak karena khawatir pada gadis itu, mengingat hujan gerimis tengah mengguyur kota. Namun, baru saja mobil berhenti, ia menyaksikan gadis tersebut melompat dari jembatan.
"Tidak! Jasmine!" teriak pria itu panik dan segera keluar dari taksi.
Tak banyak pikir, ia yang saat itu hanya menggunakan kemeja lengan pendek dan celana panjang langsung melompat dari jembatan untuk menyelamatkan gadis tersebut.
"Bertahanlah, Jasmine!"
Butuh perjuangan beberapa saat melawan arus air hingga ia berhasil membawa gadis itu tiba di tepi sungai. Ia hendak menghubungi ambulance, tetapi ia baru sadar jika ponselnya mati karena terendam air. Tak ada cara lain, mencari pertolongan ke pinggir jalan adalah pilihan terakhir, berharap taksi yang tadi ia naiki masih ada. Namun, ternyata taksi itu sudah pergi sejak tadi.
Sebuah mobil tiba-tiba berhenti di hadapannya. Seorang pria yang lebih muda darinya keluar dari mobil tersebut dan bertanya, "Ada apa?"
"Tolong saya!" Pria berkacamata itu menjelaskan apa yang baru saja terjadi dan meminta pria bermobil tadi untuk membawa gadis tersebut ke rumah sakit.
"Biar saya yang membawanya, kamu bisa menyusul nanti!" ujar pria pemilik mobil itu.
"Saya akan menemaninya ...."
"Tidak perlu, biar saya yang membawanya. Nama saya Naufal Wijaya, gadis ini bernama Zara Jasmine-junior saya di kampus. Saya mengenal gadis ini dengan baik. Jadi, biar saya saja yang membawanya ke Rumah Sakit Platinum Medisentra sekarang juga, kebetulan saya praktek di sana," kata pria itu menjelaskan panjang lebar seolah dia tak ingin dirinya ikut.
Dengan hati yang berat, pria berkacamata itu akhirnya membiarkan gadis itu dibawa ke rumah sakit oleh pria bermobil tadi. Kini ia hanya bisa berlari-lari kecil mencari ojek, taksi, atau siapa pun yang mau membawanya ke rumah sakit. Namun, karena keadaan pakaiannya yang basah kuyup, tak ada seorang pun yang ingin membawanya.
Alhasil, ia hanya bisa berjalan kaki menuju rumah sakit. Beruntung, rumah sakit itu tidak begitu jauh dari tempatnya saat ini sehingga hanya menempuh perjalanan selama 30 menit, ia akhirnya sampai di rumah sakit. Meski tubuhnya sudah menggigil, tidak membuatnya langsung pulang. Bagaimanapun, ia harus memastikan keadaan gadis tersebut baik-baik saja.
"Terima kasih, Nak. Kamu sudah menolong cucuku. Terima kasih sekali."
Langkah pria itu terhenti di depan depan gerbang UGD ketika mendengar suara dari wanita paruh baya yang tidak asing untuknya. Sejenak ia berhenti, lalu mengintip ke dalam ruangan tersebut untuk memastikan jika dugaannya tidak salah.
Benar saja, Oma Ratna telah berdiri di sana, tepat di samping gadis yang tadi ia tolong. Keinginan untuk menemui gadis itu pun akhirnya ia urungkan. Entah kenapa, saat itu ia merasa rendah diri dan sungkan untuk menemui mereka. Mungkin karena penampilannya yang begitu berantakan atau karena keberadaan pria bernama Naufal.
.
.
.
Hari mulai semakin gelap. Mentari pun mulai tenggelam di kaki langit. Suasana desa mulai sepi, tetapi tak ada sama sekali tanda-tanda para mahasiswa itu kembali.
"Pak Naufal, kenapa para mahasiswa ini belum kembali?" tanya Alif yang mulai diliput rasa khawatir.
"Saya juga tidak tahu, Pak," jawab Naufal sedikit bingung.
"Kalau begitu saya akan mencari mereka." Alif segera melangkah cepat meninggalkan rumah kepala desa.
"Saya ikut, Pak!" ujar Naufal ikut berlari mengikuti Alif.
Mereka terus menyusuri jalan menuju puskesmas. Namun, suasana puskesmas sudah sepi. Kedua pria itu semakin khawatir dan bertanya pada warga di sekitar puskesmas itu. Beruntung ada salah satu warga yang sempat melihat para mahasiswa pergi menuju lokasi air terjun.
Alif berlari menuju air terjun. Meskipun salah satu warga tadi mengatakan jika para mahasiswa itu sedang menikmati keindahan air terjun. Namun, entah kenapa perasaan Alif begitu tidak tenang.
"Kak Zara!" Suara teriakan yang terdengar tidak jauh dari posisinya membuat Alif mempercepat larinya.
"Apa yang terjadi?" tanya Alif begitu tiba di lokasi air terjun di mana para mahasiswa berkumpul di sana dengan raut wajah panik.
"Kak Zara baru saja jatuh, Pak!"
"Apa?" ucap Naufal terkejut dan hendak langsung melompat ke air, tetapi ia kalah cepat dengan Alif yang langsung melompat tanpa berbicara lagi.
Keadaan di sekitar air terjun memang sedikit berbahaya. Jalannya dipenuhi bebatuan dan curam. Tempat berdiri mereka saat ini cukup tinggi dari permukaan air, ditambah hari yang semakin gelap sehingga tak ada satu pun dari para mahasiswa itu berani menolong Zara.
.
.
.
"Jasmine ... Jasmine!"
Zara membuka mata perlahan usai merasakan dadanya yang tadi sesak kini sedikit lega. Rasanya ia baru saja bangun dari mimpi buruk yang tak ingin itu terjadi lagi.
"Jasmine, bagaimana keadaanmu?" ujar Alif lagi sambil menepuk pelan pipi Zara, membuat wanita itu seketika tersadar dari lamunannya.
Zara mengalihkan pandangan pada pria yang kini duduk di samping sambil menatapnya. Rambut basah dan raut wajah yang tampak sangat ketakutan itu membuat ia mulai sadar betapa khawatirnya pria itu.
"Pa-Pak Alif?" ucap Zara takut akibat insiden yang baru saja ia alami, lalu berusaha bangkit dan duduk mendekati Alif. Teringat akan sesuatu, ia langsung meraih tangan Alif yang memakai kemeja lengan panjang terlipat hingga siku.
Mata Zara membulat mendapati bekas luka yang selama dua tahun ini terbayang dalam ingatannya. "Pak, bekas luka ini ...."
"Zara!" panggil Naufal yang baru saja menuruni jalan bebatuan tidak jauh dari tempat mereka pertama kali datang.
"Apa kamu baik-baik saja?" tanya Naufal sambil memakaikan Zara jas almamater dari salah satu mahasiswa agar tidak kedinginan.
"Iya, Pak, saya baik-baik saja," jawab Zara pelan.
"Ayo kita kembali ke rumah Pak Kepala Desa! Langit sudah semakin gelap," ucap Naufal dan hendak menggendong tubuh Zara, tetapi ditahan oleh Alif.
"Biar saya saja yang menggendongnya," kata Alif tegas.
"Tapi baju Bapak basah, itu bisa membuat Zara semakin kedinginan," balas Naufal masih tak ingin kalah, lalu kembali hendak menggendong Zara, tetapi lagi-lagi ditahan oleh Alif.
"Sudah saya katakan, biar saya saja, Pak Naufal!" kata Alif dengan nada yang sedikit meninggi dan langsung mengangkat tubuh Zara meski Naufal berusaha mencegah.
Walau sulit menaiki jalanan tanjakan yang sedikit licin sambil menggendong, Alif tetap berusaha menjaga keseimbangan agar dirinya tidak sampai jatuh. Sementara Naufal berjalan di belakang dengan wajah kusut karena tak bisa menggendong wanita yang sudah lama ia kejar.
Para mahasiswa yang menunggu sejak tadi akhirnya bisa bernapas lega setelah melihat Zara bersama Alif. Mereka pun pulang bersama-sama dengan Alif berjalan di barisan terdepan sambil menggendong tubuh Zara.
Zara yang masih sedikit lemah dan takut, menyandarkan kepalanya di dada bidang sang suami sambil memejamkan mata. "Terima kasih, Pak," ucap wanita itu pelan, tetapi masih bisa didengar oleh Alif.
"Tak perlu terima kasih, sudah kewajiban saya melindungi istri saya," balas Alif dengan suara pelan pula, tetapi anehnya mampu membuat hati Zara berdesir untuk pertama kalinya.
.
.
#bersambung#
.
Mohon dukungannya yah, Kak. 🥰🥰🙏