Tujuh murid Seoryeong Academy terpaksa menjalani detention di hari libur setelah membuat onar di sekolah. Park Jiha, si cewek populer yang semua orang iri. Kim Taera, cewek beprestasi yang sempat jadi primadona namun berakhir difitnah dan dikucilkan. Jeon Junseok, murid bandel kesayangan Guru BK. Kim Haekyung, atlet kebanggaan yang selalu terlihat ceria. Min Yoohan, tukang tidur yang nyaris tidak pernah peduli. Serta Kim Namgil & Park Sojin, Ketua Kelas dan murid teladan yang diam-diam suka bolos demi mojok (pacaran).
Mereka mengira hanya perlu duduk diam beberapa jam, menunggu hukuman selesai. Tapi semua berubah saat seseorang mengunci mereka di gedung sekolah yang sepi.
Pintu dan jendela tak bisa dibuka. Cahaya mati. Telepon tak berfungsi. Dan kemudian… sesuatu mulai mengawasi mereka dari bayang-bayang. Tujuh bocah berisik terpaksa bekerja sama mencari jalan keluar.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mara Rainey, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 4 : A Perfect Day for the Rebels (pt. II)
Ketika mobil butut milik ibunya Taera berhenti di luar gedung Seoryeong Academy, matahari masih belum menampakkan wujudnya dari balik awan kelabu. Embusan angin pagi membawa aroma dedaunan basah.
Di hadapannya, berdiri megah bangunan utama Seoryeong Academy, didominasi oleh kantor kepala sekolah dan ruang administrasi. Di sinilah pusat kendali akademik berada—tempat para staf pengajar berkumpul, menyusun jadwal dan menjalankan urusan sekolah.
Di belakang gedung utama, lima bangunan lain dengan arsitektur yang beragam membentuk pola heksagonal jika dilihat dari udara, dihubungkan oleh koridor-koridor sempit di sepanjang lantai dasar. Gedung pertama, yang terletak di barat daya, memiliki tiga lantai dan diyakini telah berdiri sejak abad ke-19. Di sinilah Taera nantinya akan menghabiskan sebagian besar waktunya, karena bangunan ini menaungi ruang kelas bahasa Inggris, Prancis, dan Jepang, serta ruang untuk mata pelajaran sejarah, geografi, dan drama.
Tak jauh dari sana, berdiri bangunan laboratorium yang telah beroperasi sejak tahun 1960-an. Bangunan bertingkat dua ini menampung berbagai laboratorium sains serta ruang kelas yang dipenuhi peralatan praktikum. Di sebelahnya, gedung gymnasium menjulang kokoh. Dibangun pada tahun 1982, gedung ini menjadi kebanggaan Seoryeong Academy. Sering menjadi tuan rumah berbagai ajang olahraga.
"Hubungi aku lagi oke?" Mamanya Taera mengingatkan putri bungsunya yang tengah melangkah turun ogah-ogahan dari mobil. "Kalau sudah selesai jangan lupa hubungi aku!"
Taera manyun. Tujuan diulang-ulang apa? Taera tidak tuli, Mama! Apa Mamanya sekhawatir itu Taera diam-diam kawin lari dengan Haekyung?
Taera memperbaiki posisi ransel di pundaknya lalu menutup pintu. Mobil butut itu melesat pergi.
Dia bergegas menaiki tangga menuju ke pintu masuk utama.
.
.
.
Jiha cukup terkejut melihat Taera masuk. Tapi keterkejutannya masih belum seberapa dibanding saat mendapati wajah Sojin mengintip di pintu. Sojin yang itu? Sojin, murid teladan yang sering mewakili sekolah dalam perlombaan internasional? Sojin yang selama ini nyaris tak tersentuh oleh gosip atau skandal apa pun? Sojin yang itu?
Ya ampun! Ada apa sih? Ckckck, sepertinya minggu ini minggu paling buruk. Ketika anak-anak bereputasi bersih justru terkena detensi dan terjebak di perpustakaan bersama makhluk paling bobrok macam Jeon Junseok. Posisi mereka langsung sederajat. Semuanya sama-sama tersangka. Tahanan Dongwon ssaem.
Manusia sengklek bernama Junseok bertepuk tangan melihat Namgil dan Sojin masuk. "Waaaah, selamat datang di bumi, para dewa! Aku merasa terhormat bisa seruangan dengan kalian semua!"
Kentara sekali dia gembira bukan main kedatangan anak-anak baik-baik. Jujur ya, Junseok bosan bermain-main dengan para pengedar dan pemakai "barang haram".
Sebenarnya, Namgil-Sojin paling pakar dalam bidang bolos-membolos. Hanya saja, kali ini sepak terjang mereka ketahuan gara-gara mulut ember Sejong ssaem.
Haekyung masuk belakangan. Dia sempat ngambek dulu tadi di mobil gara-gara diceramahi panjang-panjang sebelum turun. Sampai-sampai tampangnya lebih keruh dari danau berpolusi.
Setelah ketujuh tahanannya duduk, Dongwon ssaem masuk dan mulai mengabsen nama-nama mereka.
"Min Yoohan?"
Si pemilik nama angkat tangan.
"Anak baru di ruang detensi?" Dongwon ssaem mencibir. "Pertahankan. Barangkali kau bisa menemani Jeon Sok Jagoan itu di semester depan." Dongwon ssaem lagi-lagi menyenggol kesabaran Junseok.
"Kim Taera?"
Gadis di paling pojok mengangkat tangannya malas-malasan.
Dongwon ssaem baru sadar yang ada di ruangan ini sebagian besar anak-anak berprestasi. "Astaga! Ada apa dengan kalian? Mau berubah haluan jadi bajingan? Jangan ikut-ikutan si Jeon!"
"Pak, mereka tidak semanis itu." Junseok menyeringai bangga. "Saya lega akhirnya anda bisa melihat siapa sebenarnya para makhluk tanpa cela ini."
Dongwon ssaem melempar tatapan bermakna: "Tutup mulut atau terima akibatnya nanti".
Bukan hanya Dongwon ssaem, enam tersangka lainnya juga menoleh serempak. Tatapan mereka seakan bersekongkol—penuh kebencian, kesal, gemas, dan keinginan kuat untuk mencelupkan Junseok ke kolam di belakang sekolah.
Tanpa terganggu oleh atmosfer penuh dendam itu, Dongwon ssaem melanjutkan absensi. "Jung Haekyung?"
Haekyung mengangkat tangan.
"Park Jiha?"
Gadis manis di barisan paling depan segera mengacungkan tangan.
"Kim Namgil?"
Saat Namgil mengangkat tangan, Dongwon ssaem hanya bisa menggeleng. Tidak habis pikir. Jelas ada yang tidak beres dengan daftar tersangka minggu ini.
"Park Sojin?"
Nada suaranya terdengar semakin frustrasi saat menyebut nama Sojin—murid teladan yang selama ini jadi kebanggaan para guru.
Satu per satu nama dipanggil, kecuali Junseok. Bagi Dongwon ssaem, mengabsen anak itu hanyalah buang-buang waktu. Percuma, toh minggu depan wajahnya pasti muncul lagi di ruang hukuman.
Percuma diabsen, kayak ngaruh saja!
"Sekarang pukul 7 pagi," Pria itu melirik sekilas jam tangannya. "Kalian punya 8 jam 54 menit untuk merenungkan kesalahan kalian sepuasnya."
Tangan Junseok nyasar ke lubang hidung, berburu harta karun terpendam.
Jiha yang tak sengaja menoleh segera menyesal kenapa dia menoleh.
"Kalian tidak boleh berpindah atau menjauh dari tempat duduk sampai hukumannya selesai."
"Dengan kata lain, kalian boleh joget-joget asalkan masih dilakukan di tempat duduk kalian." Junseok sang leader hukuman angkat bicara. "Paham?" Junseok menyentil kotoran mungil itu hingga terbang dan melayang entah kemana.
Haekyung, Namgil, Sojin, Yoohan, Taera hanya memandangi Junseok seperti memandangi kucing yang teler gara-gara kebanyakan menghirup catnip. Bedanya kalo kucing gemesin, dia ngeselin.
"Hari ini kita akan melakukan sesuatu yang sedikit berbeda," ucap Dongwon ssaem sambil berkeliling di antara bangku-bangku, bagi-bagi kertas. "Kalian akan menulis essai tentang diri kalian sendiri, paling sedikit 1000 kata, jelaskan pada saya kenapa kalian di sini, apa masalah yang kalian hadapi, apa harapan dan impian kalian ke depannya. Yang kumaksud essai, berarti kalian benar-benar bercerita. Bukan satu kata kalian tulis ulang-ulang sebanyak seribu kali."
"Pfrttt." Junseok nyaris menyemburkan tawa. Bapak ini hebat juga bisa menebak akalnya.
"Ada apa, Jeon? Masih mau menulis essai minggu depan?" tanya Dongwon ssaem dengan nada biasa namun menyimpan racun paling berbahaya. "Apa perlu kutambah? Khusus untukmu 10.000 kata?"
Junseok berdehem kemudian menggelengkan kepala.
"Jelas? Kalian paham?"
"Pahaaam..." sahut semuanya, malas-malasan.
"Ada pertanyaan, Jeon Junseok?"
Junseok geleng-geleng.
Dongwon ssaem menunjuk ke pintu. "Ruangan saya tepat di seberang, kalau kalian coba-coba melakukan sesuatu yang tidak bisa saya tolerir, jangan harap ada keringanan. Dan jangan pernah berpikir untuk kabur dari sini."
Setelah puas mengamati wajah-wajah di depannya lesu tak berdaya, pria itu melangkah pergi.
Keheningan menguasai perpustakaan.
Jiha menatap dinding dengan tatapan kosong, bosan setengah mati.
Taera menghibur diri sendiri dengan cara membayangkan dirinya dinobatkan sebagai pelari wanita termuda yang menjuarai Asian Games.
Junseok merogoh saku jaket denimnya, menarik keluar pemantik kecil yang dihiasi garis-garis perak. Ia mendekatkannya ke wajah, lalu mulai mengkliknya dengan ritme tertentu, menikmati nyala api yang berkedip-kedip di depan mata.
Namgil mengetuk-ngetukkan jari di atas meja, menciptakan irama samar yang nyaris tenggelam dalam keheningan.
Sementara itu, Yoohan sudah setengah menyerah pada kantuk. Pipinya menempel di permukaan meja, napasnya melambat. Dalam hitungan detik, matanya terpejam sepenuhnya. Dengkuran kecil mulai terdengar. Secepat itu ia melarikan diri ke alam mimpi.
Pintu perpustakaan terbuka lebar, memperlihatkan pemandangan ke seberang ruangan. Di balik meja pustakawan, Dongwon ssaem duduk dengan tangan terlipat. Dari tempatnya, ia bisa dengan jelas melihat tujuh bocah yang tampak seperti sedang sekarat karena kebosanan, terpuruk di kursi masing-masing seolah menunggu ajal menjemput.
Jam terus berdetak.
Sojin iseng menghitung durasi hukuman mereka. "Enam puluh detik dalam satu menit. Enam puluh menit dalam satu jam. Itu berarti tiga ribu enam ratus detik per jam. Kalau dikali delapan jam..." Ia berpikir sejenak. "Tiga ribu enam ratus dikali delapan... jadi dua puluh delapan ribu delapan ratus detik."
Dengan senyum puas, Sojin menatap teman-temannya, seolah baru saja mengungkap teori paling revolusioner.
Sayangnya, respons yang ia dapat hanyalah enam pasang mata yang menatapnya kosong.
Eh, koreksi—lima. Yoohan masih sibuk menjelajah dunia lain dalam tidurnya.
Junseok bertepuk tangan pelan, sarkasme menetes dari setiap gerakan. "Wah, luar biasa... bravo... aku makin stres mendengarnya."
"Kau memang stres," sahut Namgil santai, langsung membela pacarnya. "Apa lagi namanya kalau bukan stres?"
Junseok mendengus, membuang muka, lalu mengumpat dalam mode bisik-bisik.
Sementara itu, Haekyung menatap kertas kosong di depannya. Deretan titik-titik hitam yang belum terisi seperti menjerit, menagih perhatian. Masalahnya, setiap kali dia mengangkat pensil, bisikan setan datang lebih dulu, menggoda dengan rayuan yang lebih menarik daripada tugasnya.
Dia mendesah, menyerah sebelum sempat berjuang, lalu melirik ke sekeliling. Ruangan itu benar-benar mati gaya.
Junseok mengetukkan kakinya ke lantai, malas-malasan, lalu sesekali memutar bahu seperti sedang pemanasan sebelum maraton. Di depannya, si ratu gosip menggulung rambut di jari telunjuknya sambil mengunyah permen karet, bibirnya yang glossy berkilau di bawah lampu saat ia meniup gelembung ungu sebesar bola pingpong.
Di sampingnya, seorang cowok pendiam sudah sukses kabur ke alam mimpi, mendengkur kecil tanpa beban. Haekyung nyaris iri.
Junseok kumat lagi. Dengan ekspresi bosan, dia meremas kertas esainya menggunakan kedua tangan, lalu—tanpa rasa bersalah—melemparkannya ke belakang seperti pemain basket yang malas latihan.
Tertarik oleh suara kasak-kusuk kertas yang diremas, Jiha menoleh.
"Halo, Princess." Junseok menyeringai lebar, jelas menikmati perhatiannya. "Mau protes?"
Jiha hanya menghela napas, menggeleng pelan, lalu kembali menghadap ke depan, memilih untuk tidak terpancing.
Usaha Junseok tidak berhenti sampai disitu, dia mulai bersenandung tidak jelas. "Na... na na... na na na na na na.. na na na na naaa... na naaaa.. na na naaa... na na nanananana..."
Jiha pura-pura budek.
"Na na naaa nananana nanaa..."
Jiha masih juga tidak menoleh. Aku tidak dengar aku tidak dengar, pikirnya.
Junseok menggeram kesal, menyanyi lebih keras. "Na... na naaaa... naa nana naaaa... nanaa naaaa... nananaanaaa.. nananaa.. NANANANAAAAA!"
"Jeon Junseok!" bentak Dongwon ssaem dari seberang koridor.
Semua orang berteriak hore dalam hati melihat Junseok disemprot.
Muak dengan si bulldog satu itu, Junseok melirik ke pintu yang terbuka. Lebih bagus kalau pintu itu ditutup, supaya si bulldog tidak ikut campur lagi urusan orang lain. Merusak mood saja!
Tatapan Junseok mendarat di Haekyung yang masih fokus memandangi kertas putih.
"Psst!" Junseok mencondongkan tubuh. "Hei! Hei!"
Haekyung menoleh dengan dahi berkerut, jelas kesal. Mau apa lagi bocah ini?
"Kau atlet, 'kan?" Junseok menyeringai. "Bisa tolong lari ke pintu itu?"
Haekyung menatapnya dengan tatapan penuh kecurigaan. "Maksudmu apa menyuruhku lari ke pintu itu?" Suaranya mulai meninggi, nyaris tersulut emosi karena disuruh-suruh seperti anak baru.
Junseok hanya menelengkan kepala, ekspresinya sok polos—muka yang benar-benar minta ditonjok. "Bro, kau kelihatan seksi kalau marah. Santai sedikit, kenapa? Aku cuma minta tolong tutup pintu sebentar."
"Tutup sendiri pintunya!" bentak Haekyung, semakin kesal. "Sekalian tutup mulutmu! Kalau kesabaranku habis, kau nggak akan sempat menutup mulutmu—atau pintu itu—selama-lamanya, bocah brengsek! Aku nggak takut padamu!"
Taera menggigit bibir, matanya berbinar penuh antusias. Gebetannya yang bersikap menantang? Cowok yang kuat dan nggak mundur dari konflik? Seksiii!
"Dia benar." Jiha akhirnya menoleh. "Tutup mulutmu! Toh, kami semua tidak ada yang tertarik mendengarmu ngoceh."
Junseok mendongak, matanya menyipit, tersenyum dengan sudut bibir miring ke kanan. Hidung tingginya membuat dia terlihat tampan sekaligus angkuh disaat bersamaan.
Jiha buru-buru berpaling menatap Haekyung. "Kau juga. Abaikan saja dia! Orang ini cuma mau memancing kita supaya marah-marah."
"Oh oh oh... tidak semudah itu!" Junseok menggoyang-goyangkan jari telunjuk. "Dengar ya, manis! Kau tidak mungkin bisa mengabaikan aku. Sekeras apa pun kau mencoba."
"Bro, hei, shut your mouth, okay?" Namgil sampai ikut-ikut menyumbang suara.
Junseok langsung memasang ekspresi cemberut seperti bayi yang mainannya direbut. "Ah! Kalian membosankan! Kemarin aku belajar main hulahup sama anak-anak teler. Jauh lebih seru daripada kalian para kutu kupret pemakan buku. Serius deh, buat apa dunia punya banyak ilmuwan dan orang jenius kalau keadaannya masih aja berantakan?"
"Shut up!" serempak semua orang berteriak, frustrasi.
Mereka adalah senior. Junseok cuma bocah. Adik kelas. Kalau mereka takut padanya, anak ini bakal besar kepala dan merasa di atas angin.
"Lagipula siapa sih kau berani menjudge orang kutu kupret?" Sojin tersinggung. "Siapa kau menilai kami seenaknya? Kau merasa lebih jago dari semua orang? Kau tidak tergabung dalam klub apa-apa. Prestasimu juga negatif! Kau bisa apa selain memenuhi riwayat hidupmu dengan masalah? Kalau suatu saat kau dikeluarkan dari sekolah, tidak ada yang akan merindukanmu. Tidak ada yang akan peduli. Malah, orang-orang mungkin akan merayakannya di belakangmu."
Junseok berpaling, berusaha menyembunyikan satu rahasia di matanya. Namun, Jiha yang jarak duduknya paling dekat dengan cowok itu kali ini tidak menyesali keputusannya untuk menoleh ke belakang, karena dia sedang menyaksikan peristiwa langka: Mata si bandit ingusan itu berkaca-kaca.
"Kalau gitu mulai tahun depan aku mau bergabung di klub!" seru Junseok penuh tekad.
Haekyung terkekeh meremehkan. "Yang benar saja! Kau tidak bakalan diterima."
Junseok menyipitkan mata. "Karena aku terlalu keren?"
"Karena kau nggak bisa apa-apa selain ngoceh nggak jelas dan mengganggu ketenteraman warga bumi."
Rahang Junseok menegang, giginya beradu di dalam mulut. Dia benci diremehkan, dan ucapan Haekyung terdengar seperti tantangan yang harus ia buktikan.
Kebetulan... ruangan di seberang koridor kosong.
Tiba-tiba, Junseok berdiri sambil meninju meja. "Kalian! Duduk dan lihat ini! Aku bisa apa-apa!"
"Eh, eh! Mau ke mana kau?!" Sojin hampir melompat dari kursinya. Serius, menembus pikiran bocah labil ini lebih rumit daripada memecahkan teka-teki tersulit di Resident Evil.
Junseok mempercepat langkah menjadi setengah berlari sebelum Dongwon ssaem datang.
Haekyung menoleh ke Taera, tertawa kecil. "Akhirnya dia juga yang lari ke pintu."
Jiha tetap membisu, memandangi punggung Junseok dengan sorot khawatir. Entah kenapa, ada percikan kecil yang mulai menggelitik sesuatu di dalam hatinya
"Hei, bocah! Itu properti sekolah!" Namgil setengah berteriak ketika melihat Junseok mengeluarkan pisau lipat dari saku jaketnya.
Alih-alih menjawab, Junseok dengan cekatan melepas sekrup dari engsel pintu bagian atas.
Bocah itu memutar sekrup menggunakan ujung pisau, memutar benda logam kecil itu hingga terjun bebas masuk ke telapak tangannya yang terentang. Dengan wajah penuh kemenangan, ia buru-buru berlari ke kursinya tepat saat pintu di depannya tertutup dengan bunyi gedebuk keras. Sekrup kecil itu ia selipkan ke dalam kaus kaki sebelum duduk kembali dan memasang ekspresi anak baik-baik.
"Aku jenius, kan?" ujarnya dengan seringai lebar.
"Tidak! Kau bajingan perusak!" Haekyung menuding tajam. "Apa yang kau lakukan?! Cepat perbaiki pintunya!"
"Malas ah!" cibir Junseok. "Aku malas lihat tampang si bulldog! Kalian nggak gerah diawasi terus?"
"Kembalikan sekrup itu," Taera memperingatkan, suaranya tegang. "Sebelum kita semua kena getahnya."
"Sshhh diam!" Junseok memelototi para senior. "Diam!"
"Siapa kau berani nyuruh kami diam?!" Sojin langsung berapi-api, siap menggonggong lebih keras.
"Diam! Shhh!" Junseok sibuk mendesis panik.
Namun, di tengah kekacauan itu, Yoohan tetap yang paling luar biasa—tidur pulas tanpa sedikit pun terganggu oleh kegaduhan di sekelilingnya.
Langkah berat Dongwon ssaem menggema seperti langkah raksasa buas. "Siapa itu yang tutup pintu!?"
"Tuh kan!" pekik Taera panik. "Mampus kau, Jeon!"
"Shhh! Shhh!" Junseok mendelik tajam. "Ngerti bahasa Korea nggak, Noona?!"
Haekyung mengepalkan tinju, menahan diri sekuat tenaga. Andai ini bukan dalam suasana detensi, tinjunya pasti sudah melayang dari semenit yang lalu.
Pintu perpustakaan didorong dengan kasar hingga terbanting ke tembok. "Siapa yang menutup pintu ini?!" bentak Dongwon ssaem menggelegar, memelototi mereka satu per satu.
Hening.
Mata semua orang saling bertemu dalam sepersekian detik. Jiha menunduk, pura-pura sibuk melihat meja. Haekyung mengetuk-ngetukkan pulpennya ke kertas, berusaha menenangkan detak jantung yang mulai gelisah. Sojin melamun, atau pura-pura melamun.
"Salah satu dari kalian siapa yang menutup pintu?" Dia memelototi setiap wajah. "Kenapa pintu ini bisa tertutup?"
"Mana kami tahu," gumam Junseok santai. "Kami 'kan nggak boleh gerak-gerak."
"Siapa yang melakukannya? Siapa yang menutup pintu itu?" Dongwon ssaem membentak sambil menujuk-nunjuk ke sana. "Kau ya Jeon? Kau yang menutup pintu itu pasti!?"
"Bukan, Pak, saya dari tadi cuma duduk-duduk," jawab Junseok dengan ekspresi polos yang terlalu sempurna untuk dipercaya.
Dongwon ssaem menyipitkan mata dan menghampiri anak itu. Mencengkeram kerah jaket Junseok. "Kau ya?"
Junseok tetap tak kehilangan akal. "Pak, pernah nggak Bapak berpikir kalau sekrup pintu itu bisa copot sendiri?"
"Tidak," ucap Dongwon ssaem menatap sengit. "Tidak mungkin. Aku lebih percaya segala sesuatu bisa terjadi karena ada penyebabnya. Mana sekrup itu, Jeon? Berikan padaku!"
Junseok menghela napas dramatis, lalu memasang wajah menyesal palsu. "Sayang sekali, Pak. Maaf kalau mengecewakan Anda, tapi keluarga saya nggak jualan sekrup. Tapi kalau Bapak mau, kita bisa jalan-jalan ke toko bangunan bareng nanti."
Prfttt. Jiha menggembungkan pipi lalu dikempeskan lagi. Tahan... tahaan...
"Berikan padaku, Jeon! Kau sembunyikan dimana?" tuntut Dongwon ssaem, cengkramannya menguat. "Berikan sekarang!"
"Pak... maaf..." Jiha ragu-ragu memberanikan diri. "Kami daritadi tidak ada yang bergerak. Lagipula orang macam apa yang kurang kerjaan mencuri sekrup pintu?"
Junseok tersenyum samar melalui sorot mata. Gadis pintar... sangat sangat pintar...
Semua mulut bungkam.
Dongwon ssaem bahkan terlalu marah untuk memperdulikan Yoohan si tukang tidur. Fokus perhatiannya tersedot ke Junseok.
"Dia benar, pak. Pintunya memang rusak," kata Namgil, pelan namun jelas.
"Ada lagi yang melihat pintu menutup dengan sendirinya?" Dongwon ssaem mengedarkan pandangan.
Semua tangan teracung ke atas. Persekongkolan pertama untuk hari ini.
"Lalu gimana dengan teman kalian yang itu?" Dongwon ssaem akhirnya menyadari keberadaan Yoohan. "Dia tidur betulan atau akting?"
"Pak, dari pertama bapak meninggalkan ruangan ini, dia sudah seperti itu," ucap Sojin. Memang benar. Dia tidak berdusta.
Dongwon ssaem menatap Junseok sekali lagi. "Kau tidak sedang menghasut teman-temanmu untuk membohongiku 'kan, Jeon?"
Junseok balas menatap disertai senyuman kalem. "Untuk apa kami berbohong?"
Dongwon ssaem melepaskan cengkramannya dari jaket pemuda bengal itu. "Awas saja kalau aku tahu kau yang melakukannya!"
Sebelum meninggalkan perpustakaan, pria itu menyempatkan diri menggebrak meja Yoohan. Si tukang tidur tu terlonjak dari kursinya, matanya membelalak panik seperti baru saja dilempar ke dunia nyata dari mimpi indahnya.
Semua orang tertawa.
Pintu di belakang punggung Dongwon ssaem terbanting keras.
Junseok menyeringai penuh kemenangan. "I'm the bad guy."
Jiha mendengus. Bad guy apaan?! He-looo! Kalau bukan karena dibantu, bocah sok jago ini sudah tamat riwayatnya. Dimana rasa terima kasihnya?
Harapan Jiha terkabul.
Tiba-tiba, Junseok berlutut di depannya. Eh, maksudnya di depan mejanya, karena Jiha sendiri masih duduk di belakang meja.
"Tuan Putri, sebagai ucapan terima kasih, izinkan aku menjadi kekasihmu."
Yang lain langsung menganga. Serius nih? Bocah ini benar-benar menyatakan perasaan di tengah sesi detensi?!
"Tidak usah repot-repot," Jiha meringis risih. "Sana kembali ke bangkumu!"
"Tapi aku mau jadi pacarmu!" Junseok merengut, tidak terima ditolak mentah-mentah.
"Jangan bercanda," Jiha menghela napas. "Kita lagi dihukum, tahu."
Junseok justru semakin bersinar. "Berarti setelah hukumannya selesai, Noona bersedia menerimaku?" Tatapannya penuh harap.
Jiha terdiam, tercengang. Sumpah, bocah ini mabuk apa gimana?
"Jangan ngawur, Jeon. Kau mabuk ya? Cepat duduk sebelum kuadukan ke Dongwon ssaem atas tuduhan pencurian sekrup dan perusakan properti sekolah."
Junseok menghela napas dramatis, lalu dengan wajah lesu, ia kembali ke kursinya.
Yoohan tolah-toleh bingung. "Ini ada apa sih?"
.
.
Bersambung...
Kalo berkenan boleh singgah ke "Pesan Masa Lalu" dan berikan ulasan di sana🤩
Mari saling mendukung🤗
Rasanya kaya bener bener ada di sana dan ikut ngerasain apa yg tokoh tokohnya alami