Jika ada yang bertanya apa yang membuatku menyesal dalam menjalankan rumah tangga? maka akan aku jawab, yaitu melakukan poligami atas dasar kemauan dari orang tua yang menginginkan cucu laki-laki. Hingga membuat istri dan anakku perlahan pergi dari kehidupanku. Andai saja aku tidak melakukan poligami, mungkin anak dan istriku masih bersamaku hingga maut memisahkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Minami Itsuki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 26 MASA IDDAH SELESAI
Aku merasa hatiku berat. Ini bukan hanya soal Aisyah, ini tentang bagaimana aku bisa memberi Laras tempat yang seharusnya, memberi ruang untuk dia menjadi bagian dari hidupku sepenuhnya.
"Aku janji akan berusaha, Laras. Aku nggak ingin kehilanganmu. Aku hanya butuh sedikit waktu."
Namun, sepertinya kata-kataku masih belum cukup untuk meredakan kerisauan di hatinya. Laras tetap terdiam, dan suasana malam itu terasa semakin sunyi.
...****************...
Tak terasa masa iddah Aisyah sebentar lagi akan selesai, ia dan anak-anak akan keluar dari rumah ini. Jujur saja aku tidak rela Aisyah dan anak-anak keluar dari rumah ini, tapi mau bagaimana lagi Aisyah sudah memilih bercerai dan tidak bisa bersama lagi.
Perasaan aku campur aduk. Meskipun sudah ada Laras di sisi ku, ada rasa kehilangan yang sulit diungkapkan. Aisyah dan anak-anak sudah menjadi bagian besar dalam hidupku, dan meskipun kami memutuskan untuk berpisah, aku tetap merasa berat melepas mereka.
Aku tahu ini adalah konsekuensi dari keputusan yang aku ambil, namun tetap saja, pikiranku sering berkelana kepada kenangan bersama Aisyah dan anak-anak. Mereka sudah menjadi bagian dari rumah ini, dan pemikiran bahwa mereka akan pergi membuat hati ini terasa kosong.
"Aisyah," aku sering memanggilnya dalam hati, meskipun aku tahu dia sudah memilih jalannya sendiri. Rasanya sulit untuk melepaskan semuanya begitu saja.
Di sisi lain, Laras selalu berusaha memberikan dukungan, meskipun terkadang dia juga merasa cemas dan tidak tenang dengan situasi yang ada. Aku merasa berat hati karena ini juga berpengaruh padanya. Aku ingin membuat semuanya lebih baik, tetapi terkadang rasanya semakin rumit.
"Mas, apa yang akan terjadi setelah Aisyah dan anak-anak pergi?" Laras akhirnya bertanya dengan suara yang penuh ketegasan.
Aku menarik napas panjang, mencoba meredakan segala perasaan yang bergejolak. "Aku juga nggak tahu, Laras. Tapi aku berjanji akan berusaha membuat kita baik-baik saja."
Setelah masa iddah selesai. Aisyah dan anak-anak langsung dijemput oleh kedua orang tuanya, tak lupa ia membawa barang pribadinya untuk keluar dari rumah ini. Namun ada yang aneh saat aku melihat tubuh Aisyah, dia agak sedikit berisi.
"Aisyah..." aku memanggilnya pelan, dengan perasaan yang sulit dijelaskan. "Kamu... baik-baik saja?"
Aisyah menatapku dengan mata yang sedikit lelah, tapi tidak menjawab langsung. Ia hanya tersenyum tipis. "Aku baik-baik saja, Mas. Jangan khawatir." Tapi ada sesuatu di balik senyumnya yang terasa kurang meyakinkan.
Aku merasa ada yang mengganjal, sesuatu yang belum terungkapkan. Aku tahu Aisyah bukan tipe yang mudah terbuka tentang masalah pribadi, tapi ada perasaan tidak nyaman yang menggelayuti diriku. Tubuhnya yang lebih berisi, sikapnya yang berubah-ubah, dan rasa cemas yang kurasakan semakin menguatkan curiga bahwa ada sesuatu yang dia sembunyikan.
Namun, aku memutuskan untuk tidak bertanya lebih jauh. Itu bukan lagi urusanku. Kami sudah memutuskan untuk berpisah, dan aku harus menghormati keputusannya.
Sebelum Aisyah benar-benar pergi, aku merasa harus berkata sesuatu. Mungkin ini adalah kesempatan terakhir untuk mengatakan apa yang selama ini mengganggu pikiranku. Aku mengumpulkan keberanian untuk mendekatinya.
"Aisyah..." aku memanggilnya pelan. Wajahnya yang biasanya tegas kini terlihat lelah, seperti sudah tak ada lagi tenaga untuk marah atau berargumen.
Dia berhenti dan menatapku, matanya menunjukkan kebingungan, mungkin juga kelelahan. "Apa lagi, Mas?" jawabnya datar.
Aku menelan ludah, kemudian melanjutkan, "Aku... aku ingin minta maaf. Aku tahu aku sudah banyak menyakiti kamu, dan aku sangat menyesal. Aku tak pernah berniat untuk membuatmu hancur atau kecewa seperti ini." Aku menundukkan kepala, merasa setiap kata yang keluar begitu berat.
Aisyah diam beberapa detik, sebelum akhirnya berkata, "Apa yang terjadi sudah terjadi, Mas. Kita sudah memilih jalan masing-masing, dan aku... aku sudah mencoba menerima semuanya."
Aku merasa hatiku semakin teriris dengan setiap kata yang keluar dari mulutnya. "Aku tahu itu. Tapi aku juga ingin minta maaf kepada orang tuamu. Aku benar-benar menyesal sudah membuat mereka kecewa. Mereka selalu mendukung kita, dan aku tidak bisa membahagiakan mereka," tambahku, menunduk, merasa malu.
Aisyah menghela napas panjang. "Mereka sudah tahu apa yang terjadi, Mas. Mereka sudah menerima semuanya. Jangan terlalu merasa bersalah. Kadang, kehidupan memang tidak seperti yang kita harapkan."
Namun, aku tetap merasa ada beban yang belum terangkat. "Aku berharap kita bisa lebih baik, bisa menghindari semuanya, tapi nyatanya aku gagal." Aku menatapnya dengan tulus, berharap dia bisa merasakan penyesalanku yang mendalam.
Aisyah hanya tersenyum tipis, senyum yang bukan senyum kebahagiaan, tapi lebih kepada sebuah pengertian. "Aku sudah cukup dengan itu, Mas. Jangan khawatir lagi. Kita berdua sudah menjalani peran kita, dan kini saatnya untuk melanjutkan hidup masing-masing."
Aku hanya bisa terdiam, merasa kata-kata itu adalah pemisah terakhir antara kami. Tak ada lagi yang bisa kutambah, hanya perasaan penyesalan yang menghantui. Dengan langkah pelan, Aisyah melanjutkan perjalanannya, meninggalkan rumah ini bersama anak-anak, dan aku berdiri terdiam di tempatku, merasakan kehilangan yang tak terkatakan.
...****************...
Sudah lima bulan berlalu sejak perceraian kami dengan Aisyah, dan rasanya masih sulit menerima kenyataan bahwa semuanya berakhir seperti ini. Laras kini tengah mengandung lima bulan, dan meski ada kebahagiaan baru yang hadir, bayang-bayang masa lalu tetap membayang.
Kedua orang tuaku sangat senang mendengar kabar kehamilan Laras. Mereka merasa ini adalah hal yang menggembirakan, terutama setelah semua yang terjadi dalam hidupku. Aku tahu mereka berharap banyak dari Laras, dan aku pun berharap hubungan ini bisa berjalan lancar dan bahagia. Namun, kadang aku merasa cemas, apakah aku bisa benar-benar memberi yang terbaik untuk Laras dan anak yang akan lahir.
Meskipun begitu, aku berusaha untuk fokus pada masa depan dan memberi perhatian lebih pada Laras. Kehamilannya memberikan rasa harapan baru, dan aku berusaha untuk menjadi suami yang lebih baik, meskipun aku tahu perjalananku masih panjang dan penuh dengan tantangan.
Namun, di balik semua itu, aku masih tidak bisa melupakan Aisyah sepenuhnya. Setiap kali aku teringat tentang anak-anak dan masa lalu kami, rasa sesal itu muncul kembali. Aku berharap mereka baik-baik saja, meski kami sudah berpisah, dan semoga mereka bisa menemukan kebahagiaan mereka sendiri, sama seperti yang aku harapkan dari hubungan baru ini.
Walaupun kehamilan Laras disambut dalam suka dan cinta oleh kedua orang tuaku, tanpa kusadari Laras sedikit merasa tertekan karena ibu selalu saja ikut campur tentang kehamilan Laras, sampai-sampai ia merasa tidak bebas dengan kehamilannya sendiri, apa yang dia mau selalu saja dilarang oleh ibuku.
Reza menyesal seumur hidup, thor
terutama Reza yg menjadi wayang...
semangat Aisyah
kehidupan baru mu
akan datang