Karena sebuah wasiat, Raya harus belajar untuk menerima sosok baru dalam hidupnya. Dia sempat diabaikan, ditolak, hingga akhirnya dicintai. Sayangnya, cinta itu hadir bersama dengan sebuah pengkhianatan.
Siapakah orang yang berkhianat itu? dan apakah Raya akan tetap bertahan?
Simak kisah lengkapnya di novel ini ya, selamat membaca :)
Note: SEDANG DALAM TAHAP REVISI ya guys. Jadi mohon maaf nih kalau typo masih bertebaran. Tetap semangat membaca novel ini sampai selesai. Jangan lupa tinggalkan dukungan dan komentar positif kamu biar aku semakin semangat menulis, terima kasih :)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sandyakala, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Permintaan
Semenjak Raya menjadi miliknya, pikiran Ezra tak pernah lepas darinya. Raya benar-benar berhasil menguasai pikiran dan hati Ezra.
"Mas, jangan begini", Raya menggerakkan bahunya, meminta Ezra melepaskan pelukannya.
"Kenapa? kamu gak suka ya?", tanya Ezra yang masih betah menautkan dagunya di bahu Raya.
"Bukan begitu, Mas. Tapi aku kan sedang masak dan dari tadi Mbok Nah melihat kita seperti ini, aku malu", jawab Raya tanpa mengalihkan pandangannya dari wajan berisi sayuran yang tengah ia olah.
Ezra tersenyum tipis, "Tidak perlu malu, justru bagus kalau orang rumah tahu".
Raya akhirnya hanya bisa menarik nafas dalam karena kalau sudah seperti ini, bagaimana pun dia membujuk Ezra, pasti suaminya punya seribu jawaban.
"Masaknya sudah selesai, sekarang waktunya sarapan. Nanti Mas telat ke kantor lho".
Setelah Raya berbicara seperti itu, Ezra baru mau melepaskan pelukannya.
Hubungan Raya dan Ezra semakin membaik. Ezra bahkan begitu manja dan tak bisa berjauhan lama dengan Raya.
Mbok Nah dan Pak Seno yang melihat perubahan hubungan kedua majikannya itu ikut merasa bahagia.
"Mmm ... Mas, bolehkah aku minta sesuatu?".
"Apa, sayang?".
Raya terdiam sejenak, "Begini, Mas, semenjak menikah, aktivitasku hanya di rumah ini saja. Aku ingin punya aktivitas yang lain, bolehkah?".
Ezra menghentikan sejenak sarapannya dan beralih menatap istrinya dengan lekat.
"Apa itu?".
"Aku ... aku ingin bekerja, Mas atau mengelola sebuah usaha", jawab Raya hati-hati.
"Bekerja? kerja apa, sayang?".
"Kemarin aku melihat lowongan kerja sebagai manajer keuangan, Mas di perusahaan X. Aku tertarik dan aku rasa pendidikanku menunjang untuk itu", terang Raya.
Ezra terdiam sejenak, "Sayang, kalau kamu mau bekerja, kenapa harus di perusahaan orang lain? kenapa tidak di perusahaanku saja?".
Raya menggelengkan kepalanya, "Enggak, Mas. Aku khawatir tidak profesional kalau bekerja di perusahaan Mas Ezra".
Ezra tersenyum, "Profesional kok, tapi kamu jadi sekretaris atau asisten pribadiku biar kita tetap dekat".
"Nah itu, Mas. Aku gak mau".
Ezra terkekeh mendengar jawaban istrinya.
"Ok, gini deh, kamu boleh punya aktivitas di luar, tapi bukan bekerja di perusahaan orang lain. Aku lebih suka kalau kamu membuka usaha sendiri, jadi kamu bisa mengatur jam kerjamu, bagaimana?", tawar Ezra serius.
Raya tersenyum sumringah, "Iya, Mas. Terima kasih. Sebetulnya sudah sejak lama aku ingin membuka usaha pastry. Menurut Mas Ezra bagaimana?".
"Pastry ya? hmm ... menurutku itu usaha yang bagus dan menjanjikan, sayang. Nanti kamu sebutkan saja apa-apa yang dibutuhkan, sisanya aku yang urus, ya".
"Terima kasih banyak, Mas", spontan Raya memeluk suaminya.
Ezra senang dengan sikap Raya pagi ini.
"Eits, tapi ini tidak gratis ya", ujar Ezra.
Raya mengernyitkan dahinya, "Maksudnya? aku harus bayar gitu, Mas?", tanya Raya polos. Raut kebahagiaan yang tadi muncul sejenak tenggelam.
Ezra tertawa kecil melihat ekspresi bingung Raya yang menurutnya menggemaskan.
"No money, tapi bayar dengan ini", Ezra menarik Raya ke pangkuannya.
"Mas ...", Raya memekik kecil karena terkejut.
"Aku selalu ingin menyentuhmu, sayang. Setiap hari", bisik Ezra di telinga Raya sambil mengelus lembut punggung istrinya itu.
Raya merasakan gelanyar aneh yang biasa hadir saat mereka sedekat ini dan Raya paham maksud dari ucapan suaminya.
"Iya, Mas", jawab Raya pendek.
"Janji?", Ezra menunjukkan jari kelingkingnya.
"Iya, aku janji", Raya mengaitkan kelingkingnya dengan Ezra.
Ezra tersenyum senang dan mendaratkan ciuman sayang di pipi merona Raya.
Selepas sarapan dan perbincangan mereka selesai, Raya mengantarkan suaminya ke pintu depan.
.
.
"Ok, nanti aku bicarakan dengan putraku", Papa Hadinata menutup teleponnya.
"Telepon dari siapa, Pa?", tanya Mama Laura sesaat setelah suaminya kembali ke kamar.
Papa Hadinata menarik nafas berat, ia menatap istrinya sejenak, berpikir apakah ini waktu yang tepat atau tidak untuk membahas masalah yang tengah ia hadapi.
"Ada masalah ya, Pa? wajahmu itu lho, seperti memikirkan sesuatu", lanjut Mama Laura yang belum mendapatkan jawaban dari suaminya.
"Ma, sepertinya kita harus segera pulang ke negara X, ada hal penting yang harus Papa sampaikan langsung pada putra kita", jawab Papa Hadinata.
Mama Laura mengernyitkan dahinya, ia belum paham dengan maksud Sang suami.
"Memangnya ada apa, Pa?".
Lagi, Papa Hadinata menarik nafas berat, "Besok saja Papa ceritakan. Ini sudah larut malam, sebaiknya kita beristirahat".
Mama Laura tidak lagi bertanya, ia tidak ingin semakin membebani suaminya.
.
.
"Gimana, Dad? apa berhasil?".
"Ya, Daddy sudah berbicara dengan papanya Ezra. Kamu hanya perlu bersabar sebentar lagi, sayang".
"Terima kasih banyak, Dad".
"Sama-sama, sayang. Apapun akan Daddy lakukan untuk kebahagiaanmu".
Gadis yang tengah terbaring di ranjang rumah sakit itu tersenyum senang. Kali ini dia merasa kembali memiliki harapan hidup yang sudah sejak lama terkubur karena keadaannya.
"Permisi, Ardi, kami akan memeriksa keadaan Sindy", seorang dokter masuk ke ruangan serba putih itu.
"Oh, ya, silahkan, Dave", Tuan Ardi mempersilahkan Dokter Dave dan dua orang perawat untuk masuk.
Sudah dua tahun lamanya Sindy harus bolak-balik dirawat di rumah sakit ini. Meskipun dokter sudah memvonis kondisi Sindy, tapi sebagai seorang ayah, Daddy Ardi tidak ingin menyerah begitu saja.
Setiap hari dia menemani Sindy, memastikan putri kesayangannya itu mendapatkan apapun yang ia butuhkan.
"Bagaimana kondisinya, Dave?", tanya Daddy Ardi setelah Dokter Dave dan para perawat keluar ruangan.
"Untuk saat ini kondisi pasien lebih stabil. Tapi kita masih harus memantau perkembangannya karena dengan leukimia stadium lanjut ini ada banyak kondisi yang tidak bisa kita prediksi. Pastikan saja Sindy cukup istirahat dan mengonsumsi obat-obatan yang kami berikan", terang Dokter Dave.
Daddy Ardi mengangguk-anggukkan kepalanya, "Baik, Dave, terima kasih".
"Sama-sama. Kami permisi", Sang Dokter dan para perawat pergi dari hadapan Daddy Ardi.
Sudah kali kesekian Daddy Ardi mendapatkan jawaban yang serupa atas kondisi putri semata wayangnya itu. Tapi bagaimana pun perkembangan kesehatan Sindy, Daddy Ardi selalu mengusahakan yang terbaik, bahkan kepindahan mereka ke negara Y ini pun adalah untuk memperjuangkan kesembuhan Sindy.
"Hallo, Frans, saya akan kembali ke kantor sebentar lagi. Tolong siapkan bahan untuk meeting siang ini".
"Baik, Tuan".
Daddy Ardi menutup teleponnya dan segera masuk ke dalam ruang rawat.
"Sayang, kata Dokter kondisimu hari ini lebih stabil, Daddy senang mendengarnya. Oh ya, sebentar lagi Daddy akan kembali ke kantor, nanti Bi Asih akan ke sini untuk menjaga kamu, ya. Jangan lupa makan dan obatnya harus diminum", Tuan Ardi mengelus lembut kepala Sang putri.
"Iya, Dad. Terima kasih, hati-hati ya, Dad", jawab Sindy yang masih terbaring di tempat tidur.
"Iya, sayang. Daddy baru akan kembali ke sini kemungkinan malam. Kamu harus istirahat dengan baik, ok sweety?", pesan Daddy Ardi lagi.
"Ok, Dad. I know it. Daddy jangan khawatir, aku kan bukan anak kecil lagi", Sindy tersenyum.
Dengan berat hati, Daddy Ardi harus meninggalkan putrinya. Tak lupa ia menghubungi asisten rumah tangga dan supirnya di rumah untuk datang ke rumah sakit guna menggantikannya menjaga Sindy.
Setelah memberikan kecupan sayang di kening Sang putri, Daddy Ardi meninggalkan rumah sakit dengan harapan yang lebih baik.
semoga tidak ada lagi yang menghalangi kebahagiaan kalian
setelah aku ikuti...
tapi cerita nya bagus biar diawal emosian 🤣🤣🤣
semoga aja raya bisa Nerima anak kamu dan Sindi ya...
semangat buat jelaskan ke raya
aku penasaran kek mana reaksi Sindi dan papanya tau ya kebusukan anak nya
semoga tidak terpengaruh ya....
taunya Sindi sakit tapi kalau kejahatan ya harus di pertanggung jawaban