Bagaimana perasaanmu jika jadi aku? Menjadi istri pegawai kantoran di sudut kota kecil, dengan penghasilan yang lumayan, namun kamu hanya di beri uang lima puluh ribu untuk satu minggu. Dengan kebutuhan dapur yang serba mahal dan tiga orang anak yang masih kecil.
Itulah yang aku jalani kini. Aku tak pernah protes apalagi meminta hal lebih dari suamiku. Aku menerima keadaan ini dengan hati yang lapang. Namun, semua berubah ketika aku menemukan sebuah benda yang entah milik siapa, tapi benda itu terdapat di tas kerja suamiku.
Benda itulah yang membuat hubungan rumah tangga kami tak sehat seperti dulu.
Mampukah aku bertahan dengan suamiku ketika keretakan di rumah tangga kami mulai nampak nyata?
Jika aku pergi, bisakah aku menghidupi ke tiga anakku?
Ikuti perjalanan rumah tangga ku di sini. .
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wiji, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
9. Ketahuan
Beberapa bulan setelah pertengkaran kami yang entah ke berapa, hubungan ku dan mas Anang masih sama. Kami masih tak saling tegur sapa, namun kamu tetap menunjukkan hubungan kami baik-baik saja jika di depan anak. Masih bersenda gurau seperti dahulu.
Setelah insiden aku kepergok memegang hape mas Anang, pria itu jadi tak pernah lagi meletakkan hapenya di sembarang tempat. Benda pipih itu selalu ada didekatnya. Bahkan dia bawa kemana-mana. Aku jadi kesulitan mencari tahu siapa itu Winda.
Sebenarnya aku tahu, Winda pasti wanita ****** yang sudah membuat rumah tangga ku hancur. Tapi entah kenapa aku sangat penasaran dan ada yang mengganjal di hatiku. Nama Shakila tak pernah luput dari kepala ku, aku masih sangat penasaran apakah Winda adalah wanita bersuami dan selingkuh dengan mas Anang, atau Winda adalah wanita yang menjadi simpanan mas Anang hingga hamil dan punya anak?
Itulah yang tidak aku ketahui hingga sekarang. Aku tak tahu bagaimana caraku menyelidiki ini, aku tak punya akses untuk kembali mengobrak abrik ponsel mas Anang. Untuk membuntutinya pun rasanya sangat sulit.
Dari pada aku melamun, aku iseng melihat tabunganku. Beberapa bulan berjualan barang branded ternyata membuat aku banyak uang dalam waktu singkat. Ada enam juta rupiah di dompet yang aku sembunyikan dengan rapat. Aku sangat bersyukur, Allah memperlancar rezeki ku.
"Anak-anak, mau jalan-jalan nggak?" tanyaku setelah selesai menghitung uang.
Aku merasakan perlu membawa anak-anak ku jalan-jalan meskipun hanya sekedar keliling dan makan di pinggir jalan. Hal yang sama sekali tak pernah dilakukan mas Anang.
"Mau," jawab Alif dan Agil girang, sementara Anin hanya tersenyum dengan lucunya.
"Ya udah, mandi dulu ya. Biar ganteng dan cantik anak ibu. Mau kemana? Ke taman? Keliling jalan, habis itu makan? Atau mau apa?"
"Aku pengen semuanya, bu. Aku pengen ke taman juga makan ayam goreng. Apa ibu punya uang?" Alif manjawab sekaligus bertanya.
"Ada. Ibu ada uang, kita jalan-jalan ke taman dan beli ayam goreng yang Alif mau. Cus kita mandi," ucapku seraya menggendong Anin, anak perempuan ku satu-satunya.
Pukul tiga sore, kami sudah menaiki motor dan bersiap melaju. Sebelum aku melajukan motor, Alif melempar pertanyaan padaku. Pertanyaan yang membuat hatiku terasa tercubit.
"Kenapa kita nggak nunggu ayah, bu? Ibu sama ayah lagi marahan ya?"
Aku menghela nafas dalam sebelum menjawab. "Nggak sayang, ibu sama ayah nggak kagi marahan, kan nanti kalau nunggu ayah kelamaan. Kalau Anin keburu tidur kan kasian, masak ini bawa Anin jalan-jalan pas tidur," jawabku setenang mungkin.
Aku sangat sedih jika anak ku yang paling besar ini menanyakan soal hubungan kami. Entahlah, perasaannya sangat peka pada lingkungan sekitar. Dia bisa merasakan apa yang di rasakan oleh seseorang yang berada di sekelilingnya. Bahkan, anak sekecil Alif pernah menanyakan kenapa neneknya tak sayang padanya? Padahal baik aku ataupun ibu tak pernah menyinggung soal kebenciannya pada ku dan anak-anak. Anak sekecil Alif saja sudah bisa merasakan bahwa neneknya tak suka pada ibunya, sungguh hatiku terasa teriris jika mengingat itu.
Aku sengaja mengendarai motor dengan pelan. Aku menikmati udara yang sudah lama sekali rasanya tak aku rasakan. Hembusan angin semilir yang menerka wajahku membuat aku sedikut rileks. Ah, nikmatnya hidupku hari ini.
Ke tiga anak ku sangat senang begitu sampai di taman ramai dengan orang. Kebanyakan dari mereka adalah keluarga kecil bahagia, ada beberapa ibu yang sedang mengejar anaknya yang berlari ke sana kemari.
"Alif sama Agil mau jajan apa?"
"Nggak usah ibu, kita beli ayam goreng aja."
"Kenapa? Kamu khawatir ibu nggak punya uang? Kamu takut uang ibu habis? Dengerin ibu ya, nak. Ibu cari uang buat bahagiakan anak-anak ibu, kamu jangan khawatir ibu akan kehabisan uang. Selagi ibu sehat, ibu akan terus cari uang untuk mengabulkan apa yang kalian mau. Yuk, kita jalan sambil pilih jajan, nanti Alif sama Agil tunjuk yang di mau ya."
"Ibu benaran?" Anak sulung ku masih tak percaya.
"Iya, lagian kita nggak pernah jalan-jalan kan? Jarang jajan di luar juga."
Akhirnya Alif tak mengajukan pertanyaan lagi dan dia memilih jajan yang dia inginkan, begitu pun dengan Agil. Sedangkan anak perempuan ku satu-satunya juga sama seperti kedua kakaknya yang sedang menikmati jajanan.
Kami berempat duduk di rerumputan yang hijau, se hijau rumput tetangga. Kami bersenda gurau dengan sesekali Agil dan Anin berlarian menjelajah taman.
"Ibu, itu ayah bukan?" kata Alif yang tentu saja mengagetkan aku.
Aku menoleh ke arah yang di tunjuk oleh anakku. Betapa terkejutnya aku ketika melihat suamiku dengan wanita lain, yang membuat jantungku seakan merosot adalah anak perempuan yang sedang berada dalam gendongan mas Anang, jika aku perkirakan usia anak itu sekitar sembulan bulan.
Mataku memanas, penglihatan ku sudah buran karena di penuhi air mata. Dadaku terasa sesak, tubuhku terasa lemas tak berdaya. Dalam hati aku bertanya-tanya, apakah dia Winda dan bayi itu Shakila. Kenapa mas Anang menggendong bayi itu jika itu anak Winda dengan suaminya. Apa firasat ku benar? Shakila anak dari suamiku? Rasanya tak masuk akal jika anak itu bukan anaknya, kan tidak mungkin sekali mas Anang dengan suka rela menggendong anak orang lain begitu.
"Bu, ibu. Ibu nggak apa-apa?" Sebuah tangan kecil menggoyang goyangkan tanganku membuat ku tersadar dari lamunan.
"Ha? Nggak, ibu nggak apa-apa sayang. Kita pulang yuk, kita beli ayam goreng di jalan menuju rumah aja ya." Aku bangkit dari duduk ku dan menyeret kedua anakku pergi menjauh dari sana.
Selama perjalanan, untunglah Alif tak menanyakan banyak hal. Mungkin dia sedang bertanya-tanya juga siapa wanita dan anak perempuan yang bersama ayahnya.
*
Agil dan Anin tidur lebih awal dari biasanya, entahlah, mungkin mereka lelah karena di taman berlari larian sehingga mereka tidur lebih awal dari biasanya.
Aku duduk di depan TV dengan pikiran kemana-mana. Ragaku di rumah, tapi tidak dengan pikiran ku. Masih tergambar jelas wajah wanita dan anak bayi yang di gendong mas Anang.
"Ibu," panggil Alif duduk di sebelah ku.
"Ya sayang, ada apa? Kamu ingin sesuatu?"
"Tadi ayah kan bu? Ayah sama siapa?"
Ah anak ini, aku kira dia sesudah melupakan hal yang tadi. Rupanya dia diam hanya untuk menunda pertanyaan saja. Mungkin dia tak mau adik-adiknya juga mendengar pertanyaan darinya.
"Iya kak, itu tadi ayah. Ibu nggak kenal siapa perempuan yang sama ayah, bisa jadi bosnya kan."
"Emang kerja boleh bawa anak? Kerja kok di taman? Di taman kan buat jalan-jalan doang."
"Kalau jadi bos itu enak, boleh mau ngapain aja. Boleh juga kerja bawa anak, makanya Alif sekolah yang pandai yang, tinggi, biar bisa jadi bos. Bisa gaji orang, bisa bahagiain ayah ibu juga."
"Oh gitu ya bu, tapi meraka kenapa ke taman?"
"Mungkin ada rapat di sana. Rapat itu nggak hanya di kantor sayang. Bisa juga di rumah makan, cafe, hotel, gedung dan tempat lainnya. Jadi bebas dimana saja."
Ya Allah, aku merasa sedang membodohi anakku sendiri. Maafkan ibu nak, ibu tidak ingin kamu mengetahui masalah ini. Kamu masih terlalu kecil, dunia kamu hanya bermain dan belajar.
ceritanya sperti di dunianya nyata.