Arka, detektif yang di pindah tugaskan di desa terpencil karena skandalnya, harus menyelesaikan teka-teki tentang pembunuhan berantai dan seikat mawar kuning yang di letakkan pelaku di dekat tubuh korbannya. Di bantu dengan Kirana, seorang dokter forensik yang mengungkap kematian korban. Akankah Arka dan Kirana menangkap pelaku pembunuhan berantai?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Faustina Maretta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jejak Malam
Sosok itu berdiri diam, wajahnya setengah tersembunyi dalam bayangan pepohonan. Arka menyorotkan senter ke arah pria itu, yang kini tampak jelas mengenakan jaket lusuh. Ekspresi wajahnya datar, tetapi sorot matanya penuh teka-teki.
"Siapa kau, dan apa yang kau lakukan di sini?" tanya Arka dengan nada tegas.
Pria itu tidak menjawab. Dia hanya memandang Arka dengan intens, seolah mengukur setiap gerakan dan kata yang diucapkan. Kirana berdiri di belakang Arka, mencoba menganalisis situasi, sementara Bayu menyiapkan senjatanya, berjaga-jaga kalau keadaan memburuk.
"Kau punya tiga detik untuk menjawab sebelum kami bawa kau ke kantor polisi," ancam Arka.
Akhirnya, pria itu berbicara. Suaranya serak dan rendah. "Aku tidak melakukan apa-apa. Aku hanya sedang mencari sesuatu."
"Mencari apa?" tanya Arka, mencurigai jawaban itu.
Pria itu menunduk, seperti sedang berpikir. "Bunga ... mawar kuning. Aku petani bunga," katanya, sambil menunjuk ke arah seikat mawar yang tergeletak di tanah.
Arka mengamati mawar-mawar itu dengan teliti. Mereka tampak segar, dengan aroma khas yang menyebar di udara dingin malam. "Kenapa di sini? Kenapa di tengah malam?"
Pria itu mengangkat bahu. "Aku sering datang ke sini malam-malam. Tidak banyak yang tahu, tapi beberapa jenis mawar tumbuh liar di hutan ini. Mereka bagus untuk dijadikan bibit."
"Apa kau melihat sesuatu yang janggal semalam?" desak Arka.
Pria itu terlihat gelisah. "Aku tidak tahu apa-apa tentang itu. Aku hanya mencari mawar. Itu saja."
Arka merasakan kebohongan di balik kata-katanya, tetapi tidak memiliki cukup bukti untuk menangkap pria itu. Ia menoleh ke Bayu. "Bawa dia ke kantor untuk diinterogasi lebih lanjut."
Bayu mengangguk, lalu mengamankan pria itu ke mobil.
Di ruang interogasi, pria yang akhirnya diketahui bernama Andri terus bersikeras bahwa dia tidak ada hubungannya dengan pembunuhan tersebut. "Aku hanya petani biasa," katanya, mencoba meyakinkan Arka.
Namun, sesuatu tentang pria ini membuat Arka tidak nyaman. Ketika ia meninggalkan ruang interogasi, ia mendapati Kirana menunggunya di luar.
"Menurutmu, dia bersalah?" tanya Kirana.
Arka menghela napas. "Belum bisa dipastikan. Tapi dia terlalu tenang untuk seseorang yang berada di tempat kejadian perkara."
Kirana mengangguk. "Aku akan melihat apakah ada bukti lain dari hasil otopsi. Mungkin kita bisa menemukan sesuatu yang lebih konkret."
Arka mengucapkan terima kasih, dan Kirana pergi. Sementara itu, ia meminta Bayu untuk menggali latar belakang Andri, mulai dari pekerjaannya hingga hubungannya dengan warga desa lainnya.
Keesokan harinya, saat pagi menjelang, Bayu membawa laporan hasil penyelidikannya ke Arka. "Pak, Andri memang petani bunga, tapi dia punya reputasi buruk di desa. Beberapa warga bilang dia sering menghilang berhari-hari tanpa penjelasan. Ada juga yang melihatnya membawa barang-barang aneh, seperti pisau besar."
Arka membaca laporan itu dengan seksama. "Dan tidak ada yang melaporkannya sebelumnya?"
Bayu menggeleng. "Tidak ada bukti bahwa dia melakukan kejahatan, jadi warga hanya menganggapnya aneh."
Sebelum Arka sempat merespons, telepon di mejanya berdering. Suara Rahmat terdengar di ujung sana.
"Arka, ada laporan baru. Seorang warga menemukan lagi mawar kuning di depan pintu rumahnya. Tidak ada mayat, tapi ini terasa seperti pesan," kata Rahmat.
Arka merasakan ketegangan meningkat. "Siapa warganya?"
"Bu Sri, pemilik toko kelontong di desa ini. Dia bilang tidak punya musuh, tapi kita harus memastikan."
Arka mengajak Bayu untuk pergi ke rumah Bu Sri. Di sana, mereka menemukan mawar kuning yang diletakkan rapi di atas tikar depan pintu. Tidak ada jejak kaki atau tanda-tanda bahwa seseorang baru saja datang.
"Ini bukan kebetulan," gumam Arka.
"Kira-kira apa maksudnya?" tanya Bayu.
"Entah peringatan, entah pesan pribadi. Kita harus cari tahu lebih dalam tentang Bu Sri. Bisa jadi dia target berikutnya," kata Arka sambil mengamati bunga itu dengan seksama.
Saat diwawancarai, Bu Sri tampak bingung. "Saya tidak tahu siapa yang meletakkan bunga itu. Saya juga tidak merasa bermusuhan dengan siapa pun," ujarnya.
"Bagaimana hubungan Anda dengan Andri?" tanya Arka tiba-tiba.
Bu Sri terkejut. "Andri? Oh, dia memang sering belanja di toko saya. Tapi tidak ada yang aneh."
Arka mengangguk, tetapi pikirannya terus berputar. Mawar kuning menjadi pola yang tidak bisa diabaikan. Jika ini benar-benar pekerjaan seorang pembunuh, maka mereka sedang berhadapan dengan seseorang yang cerdas, seseorang yang menggunakan bunga sebagai pesan atau tanda.
"Bayu, perintahkan petugas untuk berjaga di rumah Bu Sri," titah Arka yang mempunyai firasat buruk.
Malam harinya, Arka duduk di ruang kerjanya, merenungkan kasus ini. Semua petunjuk yang ada masih terlalu kabur. Mawar kuning, luka presisi, dan korban yang seolah tidak melawan, semua itu menunjukkan perencanaan yang matang.
Tiba-tiba, pintu ruangannya diketuk. Kirana masuk, membawa sebuah amplop.
"Aku menemukan sesuatu yang mungkin menarik," katanya sambil menyerahkan amplop itu.
Arka membukanya. Di dalamnya ada foto luka korban yang diperbesar. "Lihat di sekitar luka ini," kata Kirana sambil menunjuk foto.
Arka memperhatikan dengan saksama. Ada bekas kecil di sekitar luka, seolah-olah pelaku menggunakan alat khusus sebelum melakukan sayatan.
"Ini bukan luka biasa. Alatnya sangat tajam dan tidak umum. Hanya orang dengan akses ke peralatan medis yang bisa melakukannya," jelas Kirana.
"Seperti seorang dokter," gumam Arka.
Kirana mengangguk. "Atau seseorang yang berpura-pura menjadi dokter."
Pikiran Arka langsung kembali ke Andri. Apakah dia benar-benar hanya petani bunga, atau ada sesuatu yang lebih gelap dalam hidupnya?
"Mungkin sudah waktunya kita menggeledah rumah Andri," kata Arka dengan nada tegas.
Arka memutuskan untuk menggeledah rumah Andri keesokan harinya. Pagi-pagi sekali, ia bersama Bayu dan beberapa petugas serta membawa sang pemilik rumah menuju tempat tinggal pria itu di pinggiran desa. Rumah Andri sederhana, dengan halaman kecil yang ditumbuhi berbagai jenis bunga. Arka mengamati sekeliling dengan saksama, mencoba menemukan sesuatu yang bisa menjadi kunci untuk memecahkan teka-teki ini.
Saat tim mulai menyisir rumah, Arka mendapati sebuah buku catatan tua di salah satu laci kamar Andri. Halaman-halaman buku itu penuh dengan tulisan tangan, beberapa di antaranya adalah sketsa bunga. Namun, ada satu halaman yang menarik perhatian Arka. Di sana tertulis daftar nama, beberapa dicoret, sementara lainnya dilingkari.
Nama terakhir dalam daftar itu membuat Arka tertegun, Kirana.
Arka menatap nama itu dengan kening berkerut. Sebelum ia sempat menganalisis lebih jauh, Kirana tiba-tiba muncul di ambang pintu, menatapnya dengan ekspresi dingin.
"Apa yang kau temukan, Arka?" tanyanya dengan suara lembut tetapi penuh arti.
Arka mencoba menyembunyikan buku itu di balik punggungnya, tapi tatapan Kirana sudah mengunci perhatiannya. Untuk pertama kalinya, ada sesuatu dalam pandangan Kirana yang membuatnya merasa... tidak nyaman.
"Kirana ... apa yang sebenarnya kau sembunyikan?" tanyanya dengan suara pelan, tetapi tegas.
Kirana tersenyum samar, lalu melangkah mendekat, memecah keheningan ruangan. "Aku? Kau benar-benar mengira aku punya sesuatu untuk disembunyikan?"
Namun, sebelum Arka bisa menjawab, Bayu dari ruangan sebelah berteriak. "Pak! Kami menemukan ini!"
Arka dan Kirana berlari menuju suara itu. Di sebuah kotak kayu kecil, Bayu menemukan beberapa peralatan tajam yang tampak seperti milik seorang ahli bedah, semuanya bersih dan terawat. Di atas kotak itu, ada seikat mawar kuning, masih segar.
Arka menatap benda-benda itu dengan ekspresi bingung. Jika Andri bukan pelakunya, lalu bagaimana semua ini ada di rumahnya?
Kirana berdiri di belakang Arka, menyilangkan tangan dengan tenang. Saat Arka hendak berbicara, Kirana berbisik pelan di telinganya, suaranya seperti duri yang menusuk.
"Kadang-kadang, Arka, jawaban yang kau cari ada tepat di hadapanmu. Kau hanya perlu membuka matamu lebar-lebar."
Sebelum Arka sempat berbalik, Kirana sudah melangkah keluar dari ruangan, meninggalkan dia dengan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban.
To be continued ...