NovelToon NovelToon
Detektif Jola Joli

Detektif Jola Joli

Status: tamat
Genre:Misteri / Horor / Tamat
Popularitas:757
Nilai: 5
Nama Author: NonaNyala

Di balik ketenangan Desa Warengi Jati, sebuah tragedi mengoyak rasa aman warganya. Malam itu, seorang penduduk ditemukan tewas dengan cara yang tak masuk akal. Desas-desus beredar, rahasia lama kembali menyeruak, dan bayangan gelap mulai menghantui setiap sudut desa.

Bayu, pemuda dengan rasa ingin tahu yang tak pernah padam, terjebak dalam pusaran misteri ini. Bersama Kevin sahabat setianya yang sering meremehkan bahaya dan seorang indigo yang bisa merasakan hal-hal yang tak kasatmata, mereka mencoba menyingkap kebenaran. Namun semakin dalam mereka menggali, semakin jelas bahwa Warengi Jati menyimpan sesuatu yang ingin dikubur selamanya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NonaNyala, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Jejak Darah (2)

Di dalam episode sebelumnya para warga menemukan mayat yang begitu mengenaskan, akankah Kevin bisa melanjutkan pencariannya?..Mari kita lihat di dalam episode kali ini...

....

Happy Reading...🕵‍♂️📸

......**----------------**...

...

 Keesokan paginya, jasad korban diangkat menuju pemakaman. Doa-doa mengiringi, udara terasa berat.

 Kevin berjalan pelan di belakang keranda. Bayu di sampingnya. Billy ikut di barisan anak-anak muda, wajahnya tegang tapi mencoba tegar. Sesekali ia memanggil pelan:

  “Bang Bayu… kalau aku boleh ikut nanti kalau ada penyelidikan, ajak aku ya. Aku nggak mau Cuma denger-denger.”

 Bayu melirik sekilas, lalu menatap Kevin. Kevin hanya diam, pikirannya masih terpaku pada arwah-arwah yang terus menghantui.

Di tanah pemakaman, Pak Ustadz kembali memimpin doa. Warga larut dalam tangis. Saat tanah terakhir menutup jasad, arwah korban benar-benar hilang, seolah sudah menerima peristirahatan terakhirnya.

 Pak Herry menepuk bahu Pak RT. “Pak, kita harus lebih waspada. Aku akan pastikan mushola berdiri cepat. Itu akan jadi benteng iman kita.”

 Kevin menghela napas lega, tapi bisikan lirih masih membekas di telinganya.

  “Dia… sangat dekat…”

 Malam itu alai desa dipenuhi warga. Lampu petromaks menggantung di tengah ruangan, cahayanya goyah ditiup angin malam. Aroma kopi hitam dan dupa bercampur jadi satu, membuat udara semakin berat.

  Pak RT duduk di kursi paling depan, wajahnya tegang. Di sampingnya ada Pak Ustadz dengan tasbih yang terus berputar di tangannya, dan Pak Herry yang baru pulang dari kesibukan pembangunan mushola. Bayu dan Kevin duduk agak ke belakang, ditemani Billy yang tampak gelisah tapi berusaha serius.

 “Warga semua,” suara Pak RT bergetar, “kita berkumpul malam ini bukan untuk saling tuduh, tapi untuk mencari jalan keluar. Sudah dua nyawa melayang dengan cara yang mengerikan. Kita tak boleh gegabah.”

 Namun, suasana langsung ricuh.

  “Pak RT, ini jelas-jelas ulah manusia!” teriak seorang warga.

  “Bukan, ini santet! Aku yakin ada dukun hitam yang marah!” sahut yang lain.

 Billy maju ke depan, mencoba ikut nimbrung. “Bang Bayu, Bang Kevin, bilangin dong! Aku lihat sendiri semalam, mayat di kebun pisang itu dililit usus yang keluar sendiri! Itu bukan kerjaan manusia biasa, Bang!”

 Beberapa warga menoleh pada Billy. “Kau anak kecil, jangan asal bicara!” bentak seorang bapak.

 Billy mengangguk cepat, lalu menunduk. “Maaf, Pak… tapi aku beneran lihat…”

 Pak Herry berdiri, suaranya lantang. “Sudah! Jangan saling serang. Aku tinggalkan desa ini sebentar demi urus mushola, pulang-pulang sudah begini. Kalau kita tercerai-berai, justru makin mudah bagi dalang sebenarnya untuk beraksi.”

 Pak Ustadz menimpali, tenang tapi tegas. “Saya setuju. Ada tanda-tanda gaib di balik semua ini. Tapi jangan salah, gaib hanya jalan. Ada manusia yang menggerakkan. Dan manusia itulah yang harus kita ungkap.”

 Suasana mulai tenang, sampai tiba-tiba Kevin menunduk, wajahnya pucat. Tangannya mencengkeram meja kuat-kuat. Bayu yang duduk di sebelahnya langsung panik.

  “Pin, lo kenapa?”

 Kevin mendongak perlahan. Matanya mendadak berubah kosong, hitam pekat. Dari mulutnya keluar suara serak yang bukan miliknya.

  “Semua ini… hanya permulaan… darah akan terus mengalir…”

 Warga langsung berteriak histeris. Ada yang mundur menjauh, ada yang membaca doa keras-keras.

 Bayu memegang bahu Kevin. “Pin! Sadar! Itu bukan lo!”

 Tapi Kevin tiba-tiba berdiri, tubuhnya kaku seperti ditarik sesuatu. Kursi terjungkal ke belakang. Dari mulutnya keluar suara melengking suara perempuan bercampur dengan bisikan ular.

  “Dia ada di antara kalian… cincin ular… cincin ular… HAHAHAHHAHA!”

 Pak Ustadz segera berdiri, mengangkat tangannya sambil membaca doa dengan suara keras. Pak Herry membantu menahan tubuh Kevin yang meronta. Billy ketakutan, tapi masih teriak, “Bang Kep! Lawan, Bang! Jangan kalah sama setan!”

 Angin dingin menyapu ruangan, lampu petromaks bergoyang hebat hingga hampir padam. Warga makin panik.

 Pak Ustadz mendekat ke Kevin, menempelkan telapak tangannya ke dahi Kevin sambil membaca ayat kursi dengan suara lantang. Tubuh Kevin bergetar hebat, mulutnya memuntahkan busa putih, lalu… ia terlempar jatuh ke lantai.

 Sunyi. Semua orang terdiam.

 Kevin terbaring lemah, napasnya tersengal. Matanya kembali normal, tapi wajahnya pucat seperti kehilangan setengah nyawanya. Bayu segera merangkulnya. “Santai, lo aman sekarang.”

 Kevin hanya berbisik lirih. “Bay… dalang itu… bukan orang jauh… dia ada di sini… bersama kita…”

 Balai desa mendadak hening. Semua warga saling pandang dengan rasa curiga. Dan di luar sana, angin malam berdesir membawa suara desisan panjang, seakan ular sedang mengintai dari kegelapan. Suasana balai desa masih tegang setelah Kevin sadar dari kerasukan. Warga duduk dengan wajah pucat, sebagian masih berbisik membaca doa, sebagian lain melirik satu sama lain dengan tatapan curiga.

  “Dia… ada di antara kita…” kalimat Kevin tadi seperti racun yang meresap ke dalam kepala semua orang.

 Seorang warga tiba-tiba berdiri dan menunjuk. “Pak RT! Dari dulu kami sudah bilang, ini semua pasti ada hubungannya sama dia! Jangan lupa, Herman sempat sebut tentang cincin ular dan Pak RT juga pakai cincin besar!”

 Pak RT kaget, buru-buru menunjukkan tangannya. “Astaghfirullah! Cincin saya ini cincin warisan, motifnya mirip memang, tapi bukan ular! Kalian jangan seenaknya menuduh tanpa bukti!”

 Pak Herry segera menengahi. “Cukup! Jangan asal menuduh. Aku kenal Pak RT sejak lama. Kalau beliau pelaku, tak mungkin dia mau kumpulkan kita semua untuk musyawarah.”

 Namun, warga lain langsung memotong. “Kalau begitu siapa? Jangan-jangan malah orang luar desa yang baru-baru ini muncul. Kita harus waspada dengan pendatang!”

  “Pendatang? Jangan asal bicara! Bisa saja salah satu dari kita sendiri, yang kelihatannya polos tapi ternyata ikut ritual itu!” sahut yang lain.

 Billy, yang sedari tadi duduk di dekat Kevin dan Bayu, mendadak bersuara lirih tapi jelas.

“Bang… aku rasa… dalangnya pinter banget mainin kita. Dia sengaja bikin simbol yang mirip-mirip, biar kita ribut sendiri.”

 Beberapa orang menoleh ke Billy, ada yang mengangguk pelan, ada pula yang mendesis kesal.

 “Anak kecil ga perlu ikut campur!”

 Pak Ustadz akhirnya angkat suara, keras tapi menenangkan.

 “Cukup! Kalian jangan terprovokasi. Dalang sebenarnya memang ingin kita saling curiga. Itulah kenapa ada yang dibisiki Kevin barusan. ‘Dia ada di sini’. Bisa siapa saja. Tapi jangan sampai kita terpecah.”

Tapi ketegangan sudah telanjur mengakar. Ada yang tetap menatap tajam ke arah Pak RT, ada yang menoleh curiga pada tetangga sebelahnya. Suasana balai desa perlahan berubah mencekam, bukan hanya karena teror gaib, tapi karena kepercayaan antarwarga mulai retak.

Bayu meremas catatannya. Ia menatap Kevin yang masih lemah, lalu menoleh ke arah Billy yang wajahnya penuh kegelisahan.

  “Kalau gini terus,” bisiknya pelan, “dalang itu nggak perlu ngapa-ngapain. Kita sendiri yang akan hancur.”

 Suasana balai desa makin memanas. Suara warga saling tumpang tindih, meja kayu di depan bahkan ikut bergetar karena beberapa orang menepuknya keras-keras.

  “Saya bilang ini kerjaan Pak RT!” teriak seorang bapak paruh baya, urat lehernya menonjol.

 “Jangan tutup mata, cincin itu bukti jelas!”

  “Jangan seenaknya nuduh!” balas seorang ibu. “Pak RT sudah lama memimpin desa ini. Kalau beliau pelaku, kenapa dia mau repot-repot kumpulin kita?!”

  “Justru itu cara dia nutupi jejak!” sanggah yang lain lagi.

 Pak RT berdiri, wajahnya merah padam. “Kalian keterlaluan! Saya ini korban sama seperti kalian. Kalau saya benar dalangnya, kenapa saya sendiri hampir dibunuh waktu di kebun pisang kemarin?!”

 Keributan makin membesar. Beberapa warga mulai curiga ke arah lain.

  “Kalau bukan Pak RT, berarti orang luar! Jangan-jangan pendatang yang pura-pura bantu pembangunan mushola!”

 Pak Herry langsung menatap sinis. “Hei! Jangan asal bicara. Saya tinggalkan desa ini sebentar demi urusan mushola, masa Saya dituduh juga?!”

 Ada suara lain memotong, pelan tapi tajam. “Kenapa juga mushola dibangun buru-buru? Jangan-jangan justru ada rahasia di balik itu?”

  “Kurang ajar kau!” Pak Herry menepuk meja hingga cangkir kopi terjatuh.

 Warga terdiam sejenak, tapi kemudian ribut lagi. Ada yang mulai menyebut-nyebut nama tetangga, ada yang mengungkit perselisihan lama, semua jadi alasan untuk curiga.

 Billy yang dari tadi hanya menatap bingung akhirnya bersuara. “Bang Bayu, Bang Kepin… aku takut. Mereka kayak udah nggak waras semua. Dalangnya pasti seneng liat kita ribut gini.”

 Bayu menghela napas panjang, matanya menatap ke sekeliling ruangan. “Ya, Bil. Ini yang dalang mau. Bikin kita hancur dari dalam.”

 Pak Ustadz akhirnya berdiri, suaranya lantang mengalahkan keributan. “Cukup! Kalian sadar atau tidak? Setiap kali ada petunjuk, kalian selalu ribut saling tuduh. Itu tandanya dalang berhasil. Jangan lupa, dia ada di antara kita. Dan dia pasti tertawa saat ini melihat kalian berantem seperti anak kecil.”

 Hening sejenak. Tapi tatapan curiga belum hilang. Masih ada beberapa yang menatap Pak RT dengan dingin, sementara sebagian lain diam-diam melirik Pak Herry atau bahkan tetangga mereka sendiri.

 Kevin yang masih pucat menatap kosong ke depan. Suaranya lirih, nyaris seperti bisikan.

  “Percuma… kalian ribut… dia sudah memilih siapa korban berikutnya…”

 Warga langsung bergidik. Suasana balai desa kembali kacau, teriakan bercampur doa, ketakutan dan tuduhan menyatu jadi satu malam yang mencekam.

 Hening hanya bertahan sebentar. Setelah kata-kata Kevin menggema, ruangan kembali pecah.

  “Lihat! Pasti Pak RT yang dalangnya, dia pakai cincin itu!” seorang lelaki berteriak sambil menunjuk.

  “Dasar gila! Jangan nuduh tanpa bukti!” seru yang lain membela.

  “Bukti? Cincinnya jelas-jelas ada! Kau buta, hah?!”

 Suara bentakan makin keras. Kursi kayu bergeser, meja ditampar. Beberapa lelaki sudah berdiri, saling mendekat dengan tatapan penuh amarah.

 Seorang pemuda menunjuk Pak Herry. “Atau jangan-jangan dia! Baru pulang dari luar desa, siapa tahu justru dia bawa pengaruh buruk itu!”

 Pak Herry balas menepis tangan si pemuda dengan kasar. “Jaga mulutmu! Saya balik ke desa ini demi mushola, bukan buat jadi kambing hitam!”

 Dorongan kecil berubah jadi saling tarik baju. Dua orang warga hampir beradu pukul kalau tidak segera ditahan yang lain.

 Suara perempuan juga tak kalah tajam. “Kalian semua sama saja! Dari dulu aku sudah bilang, keluarga di ujung gang itu aneh, suka menutup diri! Bisa jadi mereka yang sembunyi-sembunyi nyembah setan!”

 Istri dari keluarga yang dituduh langsung melompat bangkit. “Mulutmu kotor! Jangan bawa-bawa keluargaku!” Ia langsung meraih rambut si penuduh, membuat warga lain teriak histeris. Ruangan balai desa berubah kacau balau. Ada yang berusaha melerai, tapi lebih banyak yang ikut terpancing.

 Bayu berdiri, mencoba mengangkat suara.

“BERHENTI! KALIAN SEMUA SEDANG DIPERMAINKAN!”

 Namun suaranya tenggelam di antara teriakan.

Billy, yang panik, bersembunyi di balik Kevin. “Bang, ini udah parah. Mereka bisa saling bunuh beneran!”

 Pak Ustadz maju ke tengah, mengangkat tangannya.

“Astaghfirullah! Sadar kalian! Ini balai desa, bukan kandang hewan! Setan sedang menari di atas kepala kita karena kalian ribut!”

 Beberapa warga sempat terdiam, tapi hanya sebentar. Suara saling tuduh kembali bergema. Lalu tiba-tiba… Kevin menjerit keras. Tubuhnya terhentak ke belakang, matanya mendelik putih. Suara teriakan mengalahkan semua keributan, membuat semua warga terkejut dan berhenti sesaat.

 Dari mulut Kevin keluar suara berat, seperti bukan suara manusia

  “DARAH… BELUM… CUKUP… MALAM INI… KALIAN AKAN SALING MEMBUNUH!”

 Warga terdiam membeku, sebagian langsung menjauh ketakutan. Bayu buru-buru memegangi tubuh Kevin yang bergetar hebat.

  “PIN!! TAHAN PIN!”

 Namun Kevin justru meronta semakin keras, dan ruangan yang tadinya ribut jadi semakin mencekam. Kevin menjerit lagi, kali ini lebih panjang. Suaranya melengking lalu tiba-tiba berubah jadi berat, bergema seperti keluar dari dada raksasa. Tubuhnya menegang, lalu terhempas ke lantai dengan hentakan keras.

 Bayu langsung berlutut. “Pin!,Tenang!!”

 Tapi mata Kevin sudah bukan miliknya lagi. Pupilnya melebar jadi hitam pekat, wajahnya menegang seperti topeng kemarahan. Dari mulutnya keluar suara berlapis-lapis, terdengar seperti banyak orang bicara bersamaan.

 “DARAH… DARAH… SEMUA HARUS BAYAR DARAH…!”

 Angin dingin tiba-tiba menyapu seluruh ruangan. Lampu petromaks bergoyang keras, beberapa padam sekaligus. Balai desa yang penuh orang mendadak jadi suram, hanya diterangi sisa lampu redup. Warga panik.

 Ada yang berteriak takbir, ada yang lari ke pintu tapi malah terjatuh karena tubuhnya lemas.

 Billy menjerit. “BANG!, Jangan biarin dia kesurupan lagi! Bang Bayu, tolongin Bang Kevin, bang!” Kevin mendadak bangkit, tubuhnya kaku, tangannya menegang seolah siap mencekik. Dengan kecepatan tak wajar, ia melompat ke arah seorang warga dan nyaris mencakar wajahnya. Orang itu menjerit histeris, jatuh tersungkur, hampir terinjak warga lain.

  “ALLAHU AKBAR!” Pak Ustadz buru-buru maju, mencoba menahan Kevin. Tapi tenaga Kevin saat itu bukan seperti manusia biasa. Sekali tepis, tubuh Pak Ustadz terhempas ke meja kayu hingga pecah berderak.

 Warga makin panik, beberapa lelaki berusaha memegang Kevin, tapi satu per satu mereka justru terlempar seperti ditampar kekuatan gaib.

 Dari mulut Kevin keluar tawa serak mengerikan.

 “HA HA HA… BODOH! KALIAN SEMUA AKAN SALING MENCABIK MALAM INI!”

 Mendadak, Kevin mengangkat tangannya ke atas. Angin kencang masuk lewat jendela, membuat kertas-kertas dan perabot beterbangan. Tirai jendela melambai seperti hendak terlepas, suara teriakan warga bercampur suara desisan ular entah dari mana datangnya.

 Pak RT mencoba berteriak. “Pegang dia! Jangan biarkan dia lepas!”

 Tapi tak ada yang berani mendekat. Bayu akhirnya nekat, memeluk Kevin dari belakang dengan sekuat tenaga. “Pin! Sadar!!”

 Tubuh Kevin meronta, bahunya menegang, matanya menatap langit-langit dengan sorot merah. Dari mulutnya keluar kalimat panjang, patah-patah, seperti ramalan.

 “SATU LAGI… ANAK… DARAHNYA AKAN JADI JAMU… BESOK PAGI… KALIAN AKAN MENEMUKANNYA TERBELAH!.”

 Warga sontak menjerit lagi. Beberapa perempuan langsung pingsan, yang lain bersembunyi di balik tiang.

 Pak Ustadz, meski kesakitan, bangkit dengan tangan gemetar. Ia membuka surban dari lehernya, melilitkannya ke tangannya, lalu menempelkan ke dahi Kevin sambil mengumandangkan ayat-ayat suci.

 Kevin menjerit keras, tubuhnya bergetar seperti dialiri listrik. Bayu hampir terlempar, tapi tetap bertahan memeluk erat.

 Suara Kevin kembali berubah, kali ini penuh teriakan marah:

  “KAU TAK BISA HALANGI DIA… SEMUA AKAN MATI…!!” Lalu tiba-tiba tubuh Kevin kaku, sebelum jatuh terkulai ke lantai. Ia terengah-engah, matanya kembali normal, tapi wajahnya pucat pasi seolah habis diceburkan ke neraka.

 Ruangan balai desa hening. Semua orang masih gemetar, tatapan penuh ketakutan saling bertukar. Tak ada yang berani bersuara, hanya suara Kevin yang lirih menggetarkan mereka.

  “Bay… mereka benar… korban berikutnya… sudah dipilih…”

 Suasana balai desa masih kacau setelah Kevin terkulai. Nafasnya tersengal, keringat bercucuran, matanya masih kosong menatap langit-langit. Warga berkerumun, sebagian menatapnya dengan takut,

Sebagian lagi menatap penuh curiga.

 Pak RT menepuk meja keras. “Cukup! Malam ini kita semua berjaga. Tak ada satu pun warga yang tidur sendirian. Kita keliling desa sampai pagi. Kalau benar ada yang mau berulah lagi, biar kita tangkap basah!”

  “Betul!” sahut beberapa lelaki, meski suara mereka bergetar.

 Namun ada juga yang berbisik lirih. “Kalau Kevin benar-benar kesurupan… jangan-jangan itu tandanya besok tetap ada korban…”

 Bayu membantu Kevin duduk. Billy berjongkok di sampingnya, wajahnya penuh cemas.

  “Bang… bang Kevin… abang nggak apa-apa kan? Tadi abang serem banget, bang…”

 Kevin menelan ludah, suaranya serak. “Aku… aku nggak ingat semuanya. Tapi… yang bicara lewat aku itu… bukan hanya arwah Bu Minah. Ada yang lebih kuat… lebih gelap.”

 Pak Ustadz yang masih terengah menambahkan, “Setan yang menempel tadi bukan main-main. Itu

Bukan roh biasa… itu semacam jin penjaga. Dan dia benar… ada tumbal baru yang sudah dipilih.”

 Warga langsung ribut lagi, sebagian menoleh ke Pak RT dengan pandangan tajam, sebagian lagi ke warga lain yang dianggap mencurigakan.

  “Jangan-jangan Pak RT dalangnya, dia selalu ada di dekat korban!”

  “Jangan sembarang ngomong! Bisa jadi orang lain yang sembunyi di balik bayangan!”

  “Kalau begitu, siapa?! Masa kita saling tuduh terus?!”

 Keributan kembali memuncak, sampai Bayu berdiri tegak, menatap semua orang.

  “Cukup! Kalau kita ribut, dalang sebenarnya justru diuntungkan. Malam ini kita buktikan, kita berjaga bersama. Kalau ada yang mencoba mencelakai warga, kita tangkap!”

 Akhirnya warga setuju. Malam itu, seluruh lelaki desa dibagi kelompok ronda. Pak Ustadz, Pak Herry, dan Bayu memimpin kelompok utama. Kevin yang masih lemah dipaksa duduk di balai desa ditemani Billy, agar tidak ikut keliling.

  Keesokan paginya.

 Fajar baru menyingsing. Udara masih dingin, embun menetes di dedaunan pisang. Kelompok ronda yang baru saja bubar mendengar jeritan melengking dari arah kebun pisang di pinggir desa.

 Semua berlari. Jantung berdegup kencang.

 Sesampainya di sana, mereka terhenti. Seorang remaja perempuan, Ani, anak tetangga yang masih SMP tergeletak di tanah, tubuhnya terikat akar pisang yang melilit seperti ular hidup. Wajahnya pucat, matanya melotot kosong, perutnya terbuka dengan luka menganga mengerikan.

 Billy langsung menutup mulutnya. “Ya Allah… Bang Bayu… beneran kejadian… ramalan bang Kevin bener…”

 Warga menjerit histeris. Beberapa ibu pingsan di tempat.

 Pak RT pucat, tubuhnya gemetar. “A-apa-apaan ini… kita semua berjaga, tapi tetap… tetap ada korban…”

 Bayu mengepalkan tangan, matanya penuh amarah.

  “Dalang itu… jelas jauh lebih licik dari yang kita kira. Bahkan saat kita berjaga, dia bisa tetap menyerang.”

 Kevin datang telat dan begitu melihat jasad Ani, tubuhnya kaku. Ia merasakan hawa dingin menyusup ke dadanya. Dan benar saja di balik pohon pisang, ia melihat arwah Ani berdiri, menatapnya dengan mata penuh ketakutan.

 Arwah itu berbisik lirih, hanya terdengar oleh Kevin.

  “Dia… ada di antara kalian….”

 Langit sore itu mendung kelabu. Angin berhembus pelan, membawa aroma tanah basah dari kuburan desa. Warga berkumpul di pemakaman, wajah-wajah mereka tertunduk muram.

 Jenazah Ani dibungkus kain kafan putih, dibawa dengan hati-hati oleh para lelaki desa. Bayu ikut mengangkat, wajahnya tegang. Kevin berjalan di belakang, masih terlihat pucat, sesekali terhuyung dan ditopang oleh Billy.

 Pak Ustadz memimpin doa, suaranya berat dan bergetar, seolah ikut menahan duka mendalam.

  “Ya Allah, terimalah anak kami Ani di sisi-Mu, lapangkan kuburnya, dan jauhkan dari siksa…”

 Tangisan pecah di antara para ibu. Suara isak bercampur dengan doa yang bergema lirih. Kevin sempat melirik ke arah liang lahat, dan jantungnya mencelos di ujung liang ia melihat arwah Ani berdiri dengan wajah pucat, memandanginya tanpa suara. Namun kali ini, arwah itu perlahan menghilang begitu doa selesai.

 Ani dimakamkan dengan tenang. Tanah merah ditimbun, papan kayu ditancapkan di atas pusaranya. Namun ketenangan itu hanya sebentar. Begitu semua berdiri, bisik-bisik kecurigaan kembali terdengar.

  “Percuma kita berjaga semalam, tetap ada korban. Jangan-jangan memang ada orang dalam.”

  “Kalau begitu siapa? Jangan bilang Pak RT lagi, udah jelas beliau ikut berjaga semalam.”

  “Lah justru itu anehnya! Kalau bukan Pak RT, siapa yang bisa punya kuasa begini?”

 Suasana makin panas. Hingga akhirnya Pak Herry, yang baru beberapa hari pulang dari kesibukannya membangun mushola di kota sebelah, maju dengan wajah merah.

  “Cukup! Jangan saling tuduh seenaknya! Aku sudah lama nggak di sini, aku tahu banyak yang curiga ke orang-orang baru balik, termasuk aku. Tapi dengar baik-baik aku ikut berjaga semalam, kalian semua lihat sendiri!”

 Namun salah satu warga menimpali dengan suara tinggi.

  “Ya tapi justru karena kau lama pergi, siapa yang tahu kau selama ini di mana?! Bisa jadi kau yang bawa bala ke desa ini!”

 Warga lain ikut bersuara.

  “Betul! Jangan-jangan mushola yang kau bangun itu Cuma kedok, bisa saja ada hubungannya sama ritual aneh itu!”

  “Ah, jangan asal nuduh! Pak Herry orang baik, semua orang tahu!”

  “Kalau baik kenapa pas dia balik, malah makin banyak korban?”

 Keributan pecah lagi, suara saling sahut makin keras. Beberapa lelaki maju mendekati Pak Herry, wajah penuh curiga.

 Pak Herry mengepalkan tangan, nadanya meledak.

  “Kalau kalian terus ribut dan saling tuduh begini, kita nggak akan pernah tahu siapa dalang sebenarnya! Saya balik ke sini demi membangun, bukan untuk bikin dosa! Jangan kalian tarik-tarik nama saya untuk nutupi ketakutan kalian sendiri!”

 Billy yang dari tadi gemetar di samping Kevin ikut teriak, meski suaranya serak.

  “Sudah dong, bapak-bapak semua! Kita butuh tenang, bukan ribut terus! Ani baru aja dimakamkan, masa langsung tuduh-tuduhan lagi?!”

 Warga langsung terdiam sejenak, tapi ketegangan masih terasa tebal di udara. Semua menatap satu sama lain dengan curiga, seolah setiap wajah bisa saja menyimpan rahasia kelam.

 Bayu berdiri di tengah lingkaran, suaranya lantang.

  “Kalau kita terus ribut, dalangnya pasti senang. Ingat kata Kevin semalam dia ada di antara kita. Selama kita sibuk saling tuduh, dia bisa bebas ambil korban berikutnya!”

 Kevin menatap nisan Ani dengan wajah pucat, lalu menoleh pada semua warga.

  “Percayalah… Ani bukan korban terakhir. Malam ini… akan lebih gelap daripada sebelumnya.”

 Usai pemakaman, warga tak langsung pulang. Mereka berbondong-bondong menuju balai desa. Udara malam makin dingin, suasana hati mereka masih diliputi takut dan curiga.

 Pak RT berdiri di depan, mencoba menenangkan.

  “Kita tak bisa biarkan korban terus berjatuhan. Mulai malam ini, semua anak-anak dan perempuan akan dikumpulkan di satu rumah besar. Rumah Pak Ustadz yang paling luas, jadi lebih mudah dijaga. Para lelaki akan bergiliran ronda keliling.”

 Beberapa warga mengangguk setuju. Seorang ibu menangis sambil memeluk anaknya.

  “Betul, Pak. Kami takut anak-anak kami jadi korban berikutnya…”

 Pak Herry menambahkan dengan nada tegas.

  “Kalau ada tamu asing, orang luar, atau siapa pun yang masuk desa tanpa izin, kita tahan dulu. Jangan sampai ada orang luar bawa bala ke sini.”

 Namun tetap saja ada yang menyeletuk.

  “Tapi bagaimana kalau dalangnya justru orang dalam desa kita sendiri?”

 Ruangan kembali gaduh. Billy yang duduk di samping Kevin berusaha menenangkan dengan suaranya yang masih lugu.

  “Sudah, bapak-bapak semua… jangan ribut terus. Kalau dalangnya ada di sini, berarti kita harus makin kompak, bukan malah curiga sama kawan sendiri.”

 Kevin menatap Billy, lalu tersenyum tipis meski wajahnya pucat. “Kau benar, Bil…” katanya lirih.

 Akhirnya warga sepakat. Anak-anak dan perempuan malam itu dipindahkan ke rumah Pak Ustadz. Para lelaki dibagi menjadi tiga kelompok ronda, masing-masing keliling desa dengan jadwal bergantian. Bayu ikut memimpin kelompok pertama, sementara Pak Herry ikut kelompok kedua.

 Langit mendung. Bulan tertutup awan hitam, membuat desa Warengi Jati terasa lebih kelam dari biasanya. Suara jangkrik tak terdengar, digantikan desisan angin yang menusuk telinga.

 Kelompok ronda berjalan dengan obor dan pentungan. Bayu berjalan di depan, sementara Kevin meski masih lemah memaksa ikut, ditemani Billy.

 “Bang, yakin ikut? Abang masih pucat,” kata Billy.

  Kevin menatapnya dengan mata sayu. “Kalau aku diam di rumah, rasanya malah lebih buruk. Ada sesuatu yang menunggu kita malam ini, Bil…”

 Mereka berputar melewati kebun pisang, sawah, hingga jalan kecil menuju sungai. Semua terlihat tenang, tapi hawa mencekam membuat setiap langkah terasa berat.

 Tiba-tiba, angin kencang bertiup. Obor-obor berkedip, nyala api hampir padam. Dari arah kebun, terdengar suara lirih… desisan panjang seperti ular yang merayap.

 “Dengar nggak?” salah satu warga berbisik.

 Bayu mengangkat tangan, memberi tanda semua berhenti.

 Suasana hening beberapa detik. Lalu… terdengar suara tawa kecil, cekikikan lirih, entah dari arah mana.

“Siapa itu?!” teriak seorang warga, suaranya bergetar.

 Tiba-tiba seekor burung hantu besar melintas rendah, membuat beberapa orang kaget dan hampir menjatuhkan obor. Tapi Kevin tahu… itu bukan sekadar burung hantu. Ia melihat mata burung itu merah menyala sebelum menghilang di kegelapan.

 Kevin berbisik pelan. “Dia mengawasi kita… dalang itu…”

 Belum sempat yang lain merespon, terdengar suara jeritan dari arah kelompok kedua ronda. Suara pria dewasa, panjang dan putus asa.

   “AAAAARGHHHH!!!”

 Bayu langsung berlari ke arah suara, diikuti yang lain. Begitu sampai, mereka mendapati salah satu warga tergeletak di tanah, tubuhnya membiru. Di lehernya melilit kain bercorak ular, sama persis seperti yang mencekik Herman.

 Billy menjerit ketakutan. “Bang… kain itu lagi! Sama persis!”

 Pak Herry, yang ada di kelompok itu, menendang kain tersebut hingga terlepas, tapi kain itu tiba-tiba hidup bergerak sendiri, melata seperti ular hidup, lalu menghilang ke dalam semak.

 Semua orang terdiam, wajah pucat pasi. Pak RT hanya bisa bergumam lirih.

  “Ya Tuhan… kita dijaga makhluk apa sebenarnya ini…”

 Kevin merasakan hawa dingin di belakangnya. Saat ia menoleh, ia kembali melihat arwah kali ini bukan hanya Ani, tapi juga Bu Minah, Zikri, Nabila, bahkan Herman. Semua berdiri berderet, menatapnya dengan sorot kosong.

 Dan bersamaan, mulut Kevin bergerak tanpa ia kendalikan.

  “Malam ini baru permulaan… darah kalian belum cukup…”

 Semua orang masih terpaku melihat kain bercorak ular itu melata sendiri lalu menghilang ke semak. Jantung warga berdetak tak karuan, suasana mencekam menelan desa Warengi Jati.

 Kevin yang berdiri di depan tiba-tiba terhuyung. Nafasnya berat, matanya melotot. Bayu langsung menahan pundaknya.

  “Pin! Kenapa lagi?!”

 Billy mendekat dengan wajah cemas. “Bang Kevin! Jangan-jangan abang…”

 Belum sempat kalimat Billy selesai, Kevin mengeluarkan suara melengking bercampur berat. Kepalanya mendongak ke langit, tubuhnya kaku. Obor-obor di tangan warga bergetar, sebagian padam ditiup angin.

  “DARAH BELUM CUKUP… SATU PERSATU AKAN TUMBUH MENJADI TUMBAL…”

 Suara itu bergema, bukan lagi suara Kevin. Warga menjerit ketakutan, sebagian mundur menjauh. Bayu tetap berusaha menahan, memeluk Kevin dari belakang.

  “Pin! Lawan! Jangan biarkan mereka kuasai lu lagi!”

 Tapi tubuh Kevin justru semakin kuat. Ia menghantam tanah dengan tangannya, dan seketika tanah di bawah bergetar. Dari celah tanah, keluar asap hitam tipis yang melingkar-lingkar seperti ular. Beberapa warga langsung lari terbirit-birit.

 Pak RT berteriak panik. “Tahan dia! Jangan biarkan dia merusak desa kita!”

 Namun tak seorang pun berani mendekat. Tawa mengerikan keluar dari mulut Kevin, bercampur tangisan lirih seperti banyak suara bersatu.

 Lalu tiba-tiba—

 Suara sirine mobil polisi terdengar mendekat. Lampu merah-biru berkedip di ujung jalan desa. Semua warga menoleh kaget.

 Dua mobil patroli berhenti. Beberapa polisi keluar dengan senjata lengkap. Di antara mereka, seorang pria paruh baya mengenakan jubah hitam dan sorban putih turun perlahan. Wajahnya teduh, tapi sorot matanya tajam menusuk.

 Seorang perwira polisi berseru. “Warga Warengi Jati, tenang! Kami kembali ke sini karena kasus ini sudah terlalu aneh untuk dibiarkan. Dan malam ini, kami bawa bantuan khusus.”

  Warga saling berbisik. Billy mendekat ke Bayu dengan mata berbinar ketakutan sekaligus kagum.

 “Bang… itu siapa, bang?”

  Pria berjubah itu maju selangkah, tongkat kayu di tangannya bergetar halus. Ia menatap Kevin yang masih meraung, lalu berbisik pelan, tapi suaranya terdengar jelas ke seluruh penjuru.

  “Makhluk yang bersembunyi di tubuh anak ini… keluarlah. Kau sudah cukup banyak membuat dosa.”

Tiba-tiba tubuh Kevin terhempas ke belakang, tapi tak sampai jatuh karena Bayu masih menahan. Mulut Kevin mengeluarkan suara serak.

  “KAU… BUKAN LAWANKU…!”

 Paranormal itu tersenyum tipis, lalu menancapkan tongkatnya ke tanah. Seperti ada getaran halus menyebar. Obor-obor yang hampir padam kembali menyala terang. Asap hitam yang melingkar di kaki Kevin mendesis keras lalu lenyap.

 Pak Ustadz berbisik kagum. “Subhanallah… dia bukan orang sembarangan…”

 Warga mulai menghela napas lega, tapi Kevin masih berteriak-teriak, tubuhnya terus meronta. Paranormal itu menatap polisi sebentar lalu kembali fokus.

  “Jangan lega dulu. Makhluk yang mengikat anak ini… bukan jin biasa. Ini kiriman dari dalang yang sangat kuat. Kalau ingin tahu siapa dalangnya, kita harus paksa ia bicara lewat anak ini.”

 Warga langsung ricuh mendengarnya. Ada yang setuju, ada yang menolak.

  “Bahaya! Jangan-jangan Kevin mati kalau dipaksa!”

 “Tapi kalau tidak, kita tak akan pernah tahu siapa otaknya!”

 Bayu terdiam, wajahnya pucat. Ia menatap Kevin yang terus meronta, lalu menatap paranormal itu.

  “Kalau itu satu-satunya cara… lakukan.”

 Paranormal mengangguk perlahan. Ia meletakkan tangannya di dahi Kevin, membaca doa dengan suara berat. Angin kencang kembali bertiup, membuat pepohonan berderak. Tubuh Kevin mendadak tenang, tapi matanya terbuka lebar dengan pupil merah menyala.

  Lalu dari mulutnya keluar suara lirih, dingin, menusuk hati setiap orang yang mendengar:

 “DALANG ITU… ADA DI ANTARA KALIAN… BERKEDOK ORANG BAIK… TAPI TANGANNYA SUDAH BERLUMUR DARAH… LIHATLAH SIMBOL ULAR DI JARI KANANNYA…”

 Warga langsung menoleh ke sekeliling. Beberapa pasang mata berhenti menatap Pak RT jari tangannya memang memakai cincin mirip kepala ular.

 “Yang memakai simbol itu hanya Pak RT”

 “Lihat, cincinnya! Sama persis dengan yang disebut Herman dulu!”

 Pak RT terkejut, wajahnya pucat pasi. “Bukan saya! Demi Tuhan, bukan saya! Cincin ini Cuma warisan dari ayah saya, kenapa saya terus yang kalian salahkan?!”

 Keributan pun kembali pecah. Polisi bersiap melerai, sementara paranormal masih berusaha menahan arwah yang bicara lewat tubuh Kevin.

 Kekacauan di tengah jalanan makin tak terkendali. Warga hampir saja menyerbu Pak RT yang panik mempertahankan dirinya. Polisi menahan dengan sigap, sementara paranormal tetap menempelkan tangannya di dahi Kevin.

  “Diam semua!” suara paranormal bergema keras, membuat warga spontan terhenti.

  “Kalau kalian ribut, arwah ini takkan mau bicara. Dengarkan baik-baik, kebenaran akan keluar malam ini.”

 Kevin menjerit panjang, tubuhnya kejang. Suara yang keluar dari mulutnya bukan lagi suara manusia, melainkan gabungan suara-suara aneh parau, serak, bahkan ada yang terdengar seperti bisikan anak kecil.

  “Aku… melihatnya… dia bukan Pak RT… cincin ular itu hanyalah tiruan… cincin aslinya lebih tua… lebih gelap…”

Warga saling pandang, wajah mereka bingung. Pak RT sampai terduduk lemas, tapi matanya penuh air.

“Kalian dengar?! Bukan saya pelakunya!”

 Paranormal melanjutkan bacaannya, menekan lebih dalam.

“Siapa dia? Katakan! Siapa dalang sebenarnya!”

 Kevin mendadak menoleh, menatap kosong ke arah barisan warga. Dari mulutnya keluar kalimat patah-patah.

  “Dia… berpura-pura… jadi pelindung… orang yang disegani… semua percaya padanya… tapi… tangan… tangan itu… sudah melumuri darah… ular di jarinya… punya mata merah asli… bukan imitasi…”

  Suasana mendadak mencekam. Warga mulai menoleh ke arah tokoh-tokoh penting lain: Pak Herry yang baru kembali, Pak Ustadz yang disegani, bahkan beberapa perangkat desa lain. Mata mereka penuh curiga, tapi tak berani bicara keras.

 Bayu maju selangkah, suaranya berat. “Kalau begitu… artinya dalang itu belum terbongkar. Dan parahnya, dia ada di sekitar kita sekarang.”

 Paranormal menarik napas dalam-dalam, lalu menekan kening Kevin sekali lagi. Tubuh Kevin mendadak menegang, matanya terbelalak merah, dan dari mulutnya keluar bisikan dingin.

  “Besok malam… satu tumbal lagi… seorang lelaki… dekat dengan kebenaran…”

 Seketika semua mata tertuju ke Bayu dan Kevin. Warga bergidik. Billy menelan ludah keras-keras, wajahnya pucat.

  “Bang… jangan-jangan maksudnya abang berdua…”

 Kevin tiba-tiba terkulai, napasnya tersengal. Paranormal segera menahan kepalanya agar tidak terbentur tanah.

  “Sudah. Roh itu pergi. Untuk sementara, dia tak akan kembali ke tubuh anak ini.”

 Semua orang terdiam. Hanya suara jangkrik malam yang kembali terdengar samar. Polisi saling pandang, tegang.

 Pak RT masih terduduk, wajahnya penuh keringat.

“Kalian lihat sendiri. Aku bukan dalangnya… tapi aku pun tak tahu siapa orang itu. Yang jelas… kalau benar dia ada di antara kita… maka desa ini akan jadi kuburan massal…”

 Suasana hening. Ketegangan menggantung di udara. Bayu mengepalkan tangan, tatapannya tajam.

  “Kalau begitu, mulai sekarang kita tak bisa percaya siapa pun. Dalang itu menyamar dengan sangat rapi. Kita harus bersiap… karena besok malam, nyawa salah satu dari kita akan jadi taruhannya.”

 Malam itu, Desa Warengi Jati berubah menjadi seperti arena perburuan. Polisi menambah pasukan, lengkap dengan senter dan senjata api. Warga desa membawa obor, sebagian membawa parang sebagai jaga-jaga. Kevin berjalan di depan, didampingi Bayu dan sang paranormal.

 Billy ikut di belakang mereka, wajahnya tegang tapi berusaha terlihat berani.

  “Bang… kalau ketemu ular beneran gimana?” bisiknya.

 Bayu hanya menoleh cepat. “Kalau takut, jangan jauh dari aku, Bil.”

 Paranormal berhenti di tengah jalan desa, matanya terpejam, mulutnya komat-kamit membaca doa.

  “Ada hawa kuat… kita harus ke arah timur… dekat kebun bambu dan sungai kecil. Dari sana bau darah masih terasa.”

 Pak Herry yang membawa obor ikut menimpali, “Itu dekat tanah kosong, rumah tua yang dulu ditinggalkan keluarga Suryo. Sudah lama tak dihuni.”

 Warga langsung bergidik. Tempat itu terkenal angker sejak lama.

 Mereka bergerak menuju lokasi. Angin malam berhembus kencang, membuat suara dedaunan seperti bisikan ribuan mulut. Setiap langkah terasa berat. Polisi membagi kelompok: sebagian menggeledah kebun pisang, sebagian menyisir rumah-rumah kosong.

 Kevin tiba-tiba berhenti, tubuhnya kaku.

  “Bay… aku melihatnya lagi… simbol ular itu…”

  Bayu menoleh cepat. “Di mana?”

 Kevin menunjuk ke batang pohon bambu besar. Saat mereka dekati, terlihat ukiran kasar, ular melingkar dengan mata merah

 Paranormal segera menyentuh ukiran itu, wajahnya berubah tegang.

  “Ini tanda asli… bukan buatan sembarangan. Dalang itu meninggalkan jejak di sini. Artinya… tempat ini memang dijadikan lokasi ritual.”

 Warga mulai gaduh. Ada yang langsung menuding Pak RT lagi, ada yang curiga ke Pak Herry yang baru pulang, bahkan ada yang diam-diam melirik Pak Ustadz.

 Pak RT menahan amarah. “Sudah! Jangan asal tuduh lagi! Kalau aku mau, tak mungkin aku ikut kesini!”

 Tiba-tiba salah satu polisi berteriak dari arah rumah tua.

  “Pak! Di sini ada sesuatu!”

 Semua segera berlari. Di dalam rumah tua itu, lantainya berdebu dan penuh sarang laba-laba. Tapi di salah satu sudut ruangan, ada karung besar yang disembunyikan dengan tumpukan jerami.

 Saat dibuka, isinya membuat semua terperanjat: kain bercorak ular berlumur darah, sesajen yang sudah mengering, dan… tulang-belulang hewan bercampur rambut manusia.

  Seorang ibu-ibu langsung menjerit histeris. Polisi menutup karung itu cepat-cepat, wajah mereka pucat.

  Paranormal menatap lantai, lalu menunjuk sesuatu: jejak kaki.

  “Ini baru saja digunakan… dalang itu masih sering datang ke sini. Dia belum jauh.”

 Suasana makin mencekam. Polisi langsung memasang garis kuning di sekitar rumah tua itu. Kevin menunduk, napasnya berat, lalu tiba-tiba ia memegangi kepala.

  “Bay… aku lihat dia… seseorang sedang mengawasi kita… dari kegelapan.”

  Bayu meraih pundaknya. “Tenang, pin! Jangan biarkan dia masuk ke tubuhmu lagi.”

  Tapi Kevin sudah gemetar hebat. Dari mulutnya keluar suara serak:

  “Dia ada di antara kalian… memakai wajah orang baik… cincin ular… asli… matanya merah….”

 Semua orang menoleh ke kiri dan kanan. Suasana berubah kacau lagi. Ada yang langsung mendekati Pak RT, ada yang menatap curiga ke Pak Herry, bahkan ada yang berani menuduh Pak Ustadz.

 Polisi buru-buru menenangkan.

  “Cukup! Jangan ada yang main hakim sendiri! Kita akan selidiki satu per satu!”

 Paranormal menatap tajam ke arah kain ular di dalam karung.

  “Percayalah… siapa pun dalangnya, dia pasti akan kembali ke sini. Malam ini kita sudah mengusiknya. Dan kalau benar ada tumbal yang akan diambil… maka waktunya sangat dekat.”

 Angin malam bertiup kencang, obor-obor bergoyang liar. Warga menelan ludah, saling pandang dengan wajah penuh curiga. Desa Warengi Jati kini bukan lagi desa biasa melainkan arena perang antara cahaya dan kegelapan.

 Rumah tua peninggalan keluarga Suryo kini dijaga ketat. Polisi memasang garis kuning di sekeliling bangunan, sementara obor-obor dipasang di titik-titik gelap. Warga yang berani ikut berjaga duduk melingkar, sebagian membaca doa pelan-pelan.

  Kevin, Bayu, paranormal, dan Billy ada di barisan depan. Pak RT, Pak Ustadz, serta Pak Herry juga tetap bertahan, meski wajah mereka terlihat was-was.

  Paranormal duduk bersila di depan pintu rumah, membakar kemenyan.

  “Malam ini jangan ada yang tertidur. Kalau dalang itu datang, ia pasti meninggalkan tanda. Ingat… jangan mudah percaya dengan apa pun yang kalian lihat.”

 Suasana mencekam. Angin malam berhembus, membuat atap rumah tua itu berderit. Dari dalam hutan bambu, suara binatang malam bercampur seperti bisikan.

 Billy menelan ludah, lalu mendekat ke Bayu.

  “Bang… kalo bener-bener dia muncul… apa kita bisa lawan?”

 Bayu menepuk pundaknya. “Tenang aja, Bil. Selama kita ramai-ramai, dia nggak akan berani terang-terangan.”

 Tapi Kevin hanya diam, pandangannya kosong menatap ke arah rumah.

  “Aku rasa… ada yang memperhatikan kita… dari balik kegelapan.”

 Tiba-tiba salah satu polisi berteriak.

  “Komandan! Ada gerakan di belakang rumah!”

 Semua langsung sigap. Senter diarahkan, tapi yang terlihat hanya bayangan cepat melintas di balik pepohonan. Warga gempar.

  “Siapa itu?!” teriak seorang pemuda.

 Namun tak ada jawaban.

 Beberapa menit kemudian, terdengar desisan panjang seperti ular. Tanah di sekitar rumah bergetar halus, membuat sebagian warga mundur ketakutan.

 Paranormal berdiri, tangannya mengangkat dupa.

  “Itu bukan ular biasa… itu pertanda dalang sedang mengintai kita.”

 Lalu, tiba-tiba terdengar suara keras dari dalam rumah tua. Seperti benda jatuh. Polisi segera menerobos masuk. Kevin dan Bayu ikut di belakang mereka.

 Di dalam ruangan penuh debu itu, di atas lantai, tampak sebuah kain baru masih basah oleh darah segar, dengan simbol ular melingkar. Di sampingnya ada cetak jejak kaki yang masih basah, seperti baru saja meninggalkan rumah itu. Semua orang terpaku. Pak RT gemetar, wajahnya pucat. “Astaga… ini artinya dia barusan ada di sini… di antara kita…”

 Polisi menyorot jejak kaki itu, menarik garisnya keluar rumah. Jejak itu berakhir di halaman… lalu lenyap begitu saja, seakan ditelan bumi.

 Kevin tiba-tiba berteriak keras, suaranya berubah.

  “Dia… memakai wajah manusia… salah satu dari kalian… cincin ular asli… belum terlihat malam ini… tapi dia tersenyum… melihat kalian bingung!”

 Tubuh Kevin terjatuh, kejang-kejang. Paranormal buru-buru menempelkan telapak tangannya ke dada Kevin, membaca doa keras-keras hingga Kevin terkulai lemas.

 Paranormal menoleh ke semua orang.

  “Dalang itu licik. Dia sudah di sini, tapi sengaja bersembunyi di balik wajah orang baik. Malam ini dia hanya memberi tanda. Besok… mungkin dia akan menjemput tumbalnya.”

 Warga jadi makin gaduh, sebagian kembali menuduh Pak RT, ada juga yang curiga ke Pak Herry atau bahkan Pak Ustadz. Polisi kewalahan meredam keributan itu.

 Bayu mengepalkan tangan. “Kalau terus begini, dia menang. Kita harus lebih waspada. Malam ini… kita tidak boleh lengah sedikit pun.”

 Malam itu semuanya lebih berwaspada Ronda di rumah kosong itu ada juga yang keliling desa dan ada juga beberapa polis serta warga yang menjaga rumah pak Ustadz..

See you in the next episode...

......**---------------------**...

...

DISCLAMER❗️⚠️

Ko baca doang?, masa ga bantu support mimin? Kalo udah baca jangan lupa ya support mimin juga biar nanti mimin semangat bikin cerita lagi.☺️

Cerita ini hanya karangan semata jika ada perilaku/kata yang kasar mohon di maafkan. Dan apabila jika ada kesalahan dalam pengetikan kata/typo saya mohon maaf, namanya juga kan manusia mimin juga manusia lohh, jadi mohon dimaklumi ya hehe..

Sekali lagi mimin mengucapkan mohon maaf jika per episode di dalam cerita yang mimin buat terlalu pendek soalnya mimin sengaja membagi agar BAB nya banyak, dan biar kaliannya juga greget hehehe.😜

1
Siti Musyarofah
jangan serem 2 thor aslinya aku takut
Elisabeth Ratna Susanti
like plus 🌹 untuk karya keren ini 😍
Elisabeth Ratna Susanti
ahhhh aku merinding disko nih 😱
NonaNyala
teruslah berkarya dirikuu
Elisabeth Ratna Susanti
kasihan. Zikri
Elisabeth Ratna Susanti
awal yang bagus.....bikin merinding disko.....good job Thor 🥰👍
NonaNyala: aaaa makasih maee akuuu🥰🤩
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!