NovelToon NovelToon
Meant To Be

Meant To Be

Status: sedang berlangsung
Genre:Angst / Beda Usia / Keluarga / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Cinta Seiring Waktu / Romansa
Popularitas:5k
Nilai: 5
Nama Author: nowitsrain

El Gracia Jovanka memang terkenal gila. Di usianya yang masih terbilang muda, ia sudah melanglang buana di dunia malam. Banyak kelab telah dia datangi, untuk sekadar unjuk gigi—meliukkan badan di dance floor demi mendapat applause dari para pengunjung lain.

Moto hidupnya adalah 'I want it, I get it' yang mana hal tersebut membuatnya kerap kali nekat melakukan banyak hal demi mendapatkan apa yang dia inginkan. Dan sejauh ini, dia belum pernah gagal.

Lalu, apa jadinya jika dia tiba-tiba menginginkan Azerya Karelino Gautama, yang hatinya masih tertinggal di masa lalu untuk menjadi pacarnya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nowitsrain, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Trouble Maker

...Bagian 11:...

...Trouble Maker...

...💫💫💫💫💫...

"Seharusnya lo gunain masa muda lo untuk melakukan hal-hal yang berguna, bukan malah sibuk ngejar-ngejar om-om yang masih belum bisa move on dari masa lalunya."

Cih!

Jovanka membuka matanya lebar begitu mendengar suara pintu unitnya tertutup. Dia bangkit duduk, tatapan tajamnya langsung mengarah ke pintu.

"Hidup-hidup gue, kenapa lo sibuk banget ngatur apa yang harus dan nggak harus gue lakuin?" gerutunya kesal.

Pandangannya beralih pada sekotak brownies yang Karel tinggalkan di atas meja. Ada sticky note tertempel di atasnya. Dari posisi duduknya sekarang, Jovanka bisa membaca pesan singkat yang tertulis: Titipan dari Kalea.

Jovanka mendengus. Bukan, dia tidak kesal pada Kalea yang sudah repot-repot mengiriminya brownies. Dia kesal pada dirinya sendiri karena semakin lama, dia semakin paham mengapa Karel begitu sulit move on dari cinta pertamanya itu.

Selain cantik dan cerdas, Kalea memiliki hati selembut sutra. Brownies ini bukan pemberian pertamanya. Sebelumnya, Jovanka pernah menerima beberapa buku terjemahan langka yang sulit ditemukan bahkan di perpustakaan nasional atau toko buku besar.

Mereka nyaris tidak pernah mengobrol, tapi Kalea selalu tahu banyak hal tentang dirinya. Perempuan itu menggunakan pengetahuan tersebut untuk menghujaninya dengan berbagai hadiah.

Jovanka merasa kalah telak. Meski Kalea sudah bersuami, dia merasa tidak akan pernah bisa menggantikan posisi perempuan itu di hati Karel. Terlalu sulit untuk menjadi seperti Kalea. Otaknya memang cerdas, tapi karakternya yang bar-bar dan cenderung asal bicara jelas tidak bisa dibandingkan dengan Kalea yang selalu tenang dan anggun dalam situasi apa pun.

"Kalau lo emang secinta itu sama dia, kenapa dulu nggak berjuang mati-matian? Kenapa buang-buang waktu sampai umur lo kepala tiga? Kenapa lo habiskan banyak kesempatan cuma buat berakhir kesepian?" Jovanka mendengus. Karel seharusnya memberikan nasihat itu pada dirinya sendiri.

Cahaya dari ponselnya di atas meja menarik perhatian Jovanka kemudian. Nama Karel muncul di layar. Pop up notifikasi terpampang cukup lama dan dia bisa membaca sekilas pesannya, tapi dia memilih mengetuk layar untuk membaca keseluruhan isinya.

Melalui pesan itu, Karel memberitahu bahwa dia masuk ke unit untuk mengambil Sarang. Hanya pemberitahuan, tanpa kata maaf. Seolah keluar-masuk properti orang lain tanpa izin bukanlah masalah besar.

Yang lebih menyebalkan, Karel sejatinya bukan manusia nirakhlak tanpa sopan santun. Hanya pada dirinya kata maaf terasa mahal. Hanya padanya, Karel bisa menunjukkan sisi paling bajingan, yang kemudian ditebus dengan perlakuan-perlakuan manis seakan itu bisa menggantikan sebuah permintaan maaf.

Kesal, jengah, lelah. Semuanya berkumpul di dada Jovanka, membuatnya nyaris tidak punya ruang untuk bernapas. Kalau bukan karena teringat pekerjaannya yang masih menumpuk, dia mungkin sudah melesat keluar, mencari udara segar sambil menenggak bir kaleng di taman kompleks apartemen agar kekesalannya pada Karel segera menguap.

Setelah menenangkan diri dengan mengatur napas, Jovanka kembali ke meja kerjanya. Matanya langsung tertuju pada amplop cokelat yang belum sempat dia periksa.

Tidak ingin membuang waktu lagi, dia meraih amplop itu cepat, membuka segel dan menarik isinya. Berlembar-lembar foto di tangannya dia periksa satu persatu. Sampai di foto terakhir, ada sebuah note di bagian bawahnya: I got you.

Jovanka berdecak sebal. Lembar terakhir dengan note itu menunjukkan potret dirinya di sekitar lobi apartemen, kurang dari 24 jam lalu. Foto-foto lainnya diambil sekitar tiga bulan lalu. Artinya, dia sudah cukup lama diawasi.

"Bajingan sialan ini maunya apa sih?" gerutunya. Jauh-jauh dia kabur ke luar kota agar tidak berhadapan lagi dengan si tukang adu domba itu, apakah sekarang akan berakhir sia-sia?

Dengan kesal, Jovanka memasukkan kembali foto-foto ke dalam amplop, lalu mencampakkannya ke pojok meja kerja. Dongkol sekali rasanya, tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa karena pekerjaannya masih banyak. Nanti. Nanti kalau sudah tidak sibuk, dia akan meminta bertemu dengan bajingan itu untuk menegaskan bahwa dirinya tidak ingin lagi diganggu.

Baru saja tangannya hendak menyentuh mouse, interupsi lain datang. Kali ini dari ponselnya yang meraung-raung bagai kesurupan maung. Mau tak mau, dia kembali ke sofa dan menyambar ponsel yang tertinggal di sana.

Unknown is calling...

Ck! Unknown, unknown, lo kira gue nggak tahu kalau ini lo? Batin Jovanka menggerutu. Tanpa pikir panjang dia menekan tombol merah.

Namun sesuai dugaannya, si penelepon tidak menyerah. Ponselnya terus menyala, memunculkan notifikasi bertubi-tubi yang membuat kepalanya berdenyut. Salah satu pesan yang sempat terbaca berbunyi: kamu mau turun ketemu aku atau aku yang naik samperin ke unitmu?

"Wah... iblis sialan..." Jovanka menggeram. Jemarinya bergerak serabutan meski enggan. Dia ketik: gue turun, ketemu di lobi. Baiklah, mumpung sudah begini, mari selesaikan sekarang juga.

Dada Jovanka bergolak saat menyambar jaket dari sandaran sofa dan bergegas keluar unit. Sumpah serapah dan kutukan paling buruk tak henti bergaung di kepalanya. Berharap mujarab membuat bajingan gila itu kena karma agar berhenti mengganggu hidupnya.

Keluar dari lift, langkahnya semakin lebar. Ponsel digenggam erat. Giginya bergemeletuk, rahangnya mengeras, dan napasnya memburu.

Sepuluh meter dari meja resepsionis, Jovanka melihatnya berdiri di depan pintu lobi. Postur tubuhnya, gaya rambutnya, caranya berpakaian—semuanya membuat Jovanka muak. Norak, kampungan, or whatever you named it, si bajingan gila itu terlihat seperti jamet kebelet kaya.

"Oh, hai!" sapanya begitu Jovanka berhenti di depan pintu lobi. Senyumnya merekah, creepy sekali.

Jovanka memutar bola mata jengah, melipat kedua lengan di depan dada. "Nggak usah basa-basi, gue mau ketemu lo cuma buat bilang supaya lo jangan ganggu hidup gue lagi."

"Mana bisa gitu? Kita keluarga, sampai kapan pun hubungan kita harus dijalani seperti itu, Sayang."

"Keluarga?" Jovanka tertawa getir, lalu tersenyum sinis. "Berani-beraninya lo nyebut diri lo anggota keluarga gue."

"Sayang," Lelaki berusia akhir 20-an dengan potongan rambut klimis ala petinggi perusahaan itu mendekat. Jovanka cepat-cepat mundur. "Mau kamu menolak seribu kali pun, nggak akan mengubah fakta bahwa kita ini keluarga."

"Stay away!" Jovanka menepis keras tangan lelaki itu yang hampir menyentuh lengannya. Tatapannya menajam, emosinya sudah tidak terbendung lagi. "Ini peringatan terakhir dari gue, jangan pernah muncul di hadapan gue lagi!" Dia membalikkan badan, hendak pergi.

Tapi lelaki itu lebih cepat menggapai lengannya sebelum dia sempat melangkah. Tubuhnya limbung, tapi dia segera menyeimbangkan diri agar tidak jatuh ke pelukan lelaki itu.

"Lepas!" berontaknya dengan tatapan tajam.

"Kita harus bicara, Sayang."

"Lepas!"

Lelaki itu menggeleng, senyum mengerikan masih terpatri di wajahnya. "Kita bicara dulu."

Semakin keras Jovanka meronta, semakin kuat cengkeraman di lengannya. Dia meringis kesakitan, lelaki itu seakan sedang berusaha untuk meremukkan tulangnya.

"Le--"

"Lepas." Suara tegas, berat dan tenang itu muncul dari belakang Jovanka, diikuti lepasnya cengkeraman si lelaki. Tergantikan sentuhan lembut dari tangan lain.

Jovanka menoleh cepat, terkejut dengan bibir terbuka. Karel? What the fuck is he doing here?!

"Tolong jangan ikut campur, kami harus bicara." Si lelaki bicara lagi. Jovanka mengalihkan perhatian padanya, semakin muak.

"Saya nggak tahu kamu siapa, tapi saya nggak bisa biarin pacar saya diperlakukan dengan kasar."

What? Pacar? Jovanka menatap Karel dengan mata membulat.

"Pacar?" Si lelaki menelisik sosok Jovanka yang setengah tersembunyi di balik tubuh tinggi Karel, sebelum kembali menatap Karel. "Saya nggak tahu kalau anak saya punya pacar."

Bajingan sialan! Jovanka mengumpat dalam hati. Berani sekali jamet ini mengaku sebagai ayahnya.

"Bukan," bisiknya. "Amit-amit gue punya bapak kayak dia."

"Saya nggak peduli apa hubungan kalian. Entah itu keluarga atau bukan, Jovanka punya hak untuk menolak. She's twenty, sudah dewasa dan bisa mengambil keputusan untuk dirinya sendiri."

"Ini urusan keluarga."

"Saya bilang, saya nggak peduli. Kalau Jovanka menolak, siapa pun nggak bisa maksa dia. Jadi, tolong pergi dari sini, sebelum saya panggil security." Suara Karel semakin tegas.

Lelaki itu terdiam dengan bibir menipis. Tatapannya menggelap seiring waktu berlalu. Jovanka punya firasat buruk, jadi dia mulai menarik lengan Karel agar mereka segera pergi.

"Kita pergi aja," bisiknya.

Karel menatap lekat lelaki itu sekali lagi, seakan memberi peringatan terakhir. Lalu dia berbalik, menggiring Jovanka masuk.

Si lelaki berdiri dengan tangan terkepal erat. Dia telah bersumpah untuk tidak melepaskan Jovanka. Meski kali ini gagal, dia tidak akan ragu melancarkan percobaan-percobaan berikutnya.

"Kamu pikir kamu bisa pergi ke mana, Gracia?"

Bersambung....

1
Zenun
Emak ama baba nya mah nyantuy🤭
Zenun
Udah mulai buka apartemen, nanti buka hati😁
Zenun
Kamu banyak takutnya Karel, mungkin Jovanka mah udah berserah diri😁
Zenun
asam lambungnya kumat
Zenun
Mingkin Jovanka pingsan di dalam
Zenun
Ayah harus minta maaf sama penyihir🤭
Zenun
Ntar kalo Elliana gede, kamu nikahin lagi
nowitsrain: Takut bgtttt
total 3 replies
Zenun
laaa.. kan ada babe Gavin😁
nowitsrain: Ya gapapa
total 1 replies
Zenun
iya betul Rel, harusnya dia anu ya
Zenun
dirimu minta maaf, malah tambah ngambek😁
Zenun
kayanya lebih ke arah ini😁
nowitsrain: Ssssttt tidak boleh suudzon
total 1 replies
Zenun
Coba jangan dipadamin, biar nanti berkobar api asmara
nowitsrain: Gosong, gosong deh tuh semua
total 1 replies
Zenun
Kan ada kamu, Karel🤭
nowitsrain: Harusnya ditinggal aja ya tuh si nakal
total 1 replies
Zenun
iya tu, tanggung jawab laaa
nowitsrain: Karel be like: coy, ini namanya pura-pura coy
total 1 replies
Zenun
Taklukin anaknya dulu coba😁
nowitsrain: Anaknya Masya Allah begitu 😌😌
total 1 replies
Zenun
Minimal move dulu, Karel🤭
nowitsrain: Udah move on tauu
total 1 replies
Zenun
kau harus menyiapkan seribu satu cara, kalau emang mau lanjut ama perasaan itu
nowitsrain: Awww ide bagussss
total 3 replies
Zenun
Dia santuy begitu karena Gavin sama kaya Karel, belum kelar sama masa lalu🏃‍♀️🏃‍♀️
nowitsrain: Stttt 🤫🤫
total 1 replies
Zenun
Kalo diramahin nanti kebawa perasaan😁
nowitsrain: 😌😌😌😌😌
total 1 replies
Zenun
Minta pijit Kalea enak kali ya
Zenun: hehehe
total 2 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!