NovelToon NovelToon
Ujug-ujug Punya Tiga Suami

Ujug-ujug Punya Tiga Suami

Status: sedang berlangsung
Genre:Pernikahan Kilat / Nikahmuda / Satu wanita banyak pria / Harem / Mengubah Takdir
Popularitas:1k
Nilai: 5
Nama Author: Mega Biru

Duit tinggal ceban, aku ditawarin kerja di Guangzhou, China. Dengan tololnya, aku menyetujuinya.

Kupikir kerjaan itu bisa bikin aku keluar dari keruwetan, bahkan bisa bikin aku glow up cuma kena anginnya doang. Tapi ternyata aku gak dibawa ke Guangzhou. Aku malah dibawa ke Tibet untuk dinikahkan dengan 3 laki-laki sekaligus sesuai tradisi di sana.

Iya.
3 cowok itu satu keluarga. Mereka kakak-adik. Dan yang paling ngeselin, mereka ganteng semua.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mega Biru, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 18

Sialan— Oksigen di paru-paru mendadak menipis.

Apa katanya tadi?

Dia suka aku?

Sejak pertama kali bertemu?

Tenzin?

Seorang Tenzin?

Kok bisa?

“Kenapa?” Alis Tenzin menukik. Ia pun menyelipkan anak rambut ke telingaku dengan lembut. “Kamu tidak suka dengan pengakuanku?”

Aku tertegun, menatap manik coklatnya yang sukses membuatku terhipnotis. What the fuck—Apa aku harus jujur juga kalau aku suka dia?

“My sweet wife?” panggilnya lembut.

“Y-ya?” jawabku gugup.

Tenzin mengangkat tangan kirinya, lantas menyentuh daguku dengan jari telunjuk dan ibu jarinya— sampai membuat wajahku sedikit terangkat.

“Jangan bingung,” suaranya pelan. “Aku hanya mengatakan apa yang selama ini tersembunyi di hatiku. Jangan berpikir apa pun dan bersikap biasa saja, ya?”

Oh God—Seperti terhipnotis, bibirku spontan terlipat, diikuti kepala yang refleks mengangguk.

“Baby?” suara Norbu tiba-tiba terdengar di luar toilet.

Dengan cepat aku menepis tangan Tenzin dari daguku, takut Norbu berpikir yang tidak-tidak. Jantungku pun memompa kuat seperti pasangan kekasih yang sedang ketahuan mojok, namun Tenzin kelihatan biasa saja—Seperti gak terjadi apa-apa.

“Baby?” Norbu membuka pintu— langsung melihatku yang sedang pura-pura cuci tangan.

“Kenapa kamu ke sini?” tanya Tenzin dengan gesture tenang.

“Kalian yang kenapa lama? Makanannya keburu dingin, tau?” Norbu memandang aku dan Tenzin bergantian, entah apa yang sedang dia pikirkan.

“Maaf, tadi aku buang air kecil dulu,” sahutku, berusaha gak gugup. “Ayo kita makan. Aku juga udah lapar.”

Cepat-cepat aku keluar dari toilet, meninggalkan mereka yang malah tatap-tatapan.

**

**

Malam merayap pelan, dingin merambat dari celah ventilasi jendela.

Aku duduk di depan cermin, menyisir rambut perlahan. Rambut hitamku jatuh terurai di bahu, tapi mataku justru kosong— melayang ke mana-mana.

Kok bisa, sih?

Bayangan wajah Tenzin muncul lagi.

Kukira cinta pada pandangan pertama itu cuma cerita rakyat. Tapi ternyata beneran ada?

Aku masih gak percaya. Di antara tiga pria tampan yang tiba-tiba menjadi suamiku, ternyata cuma Tenzin yang berhasil menyita perhatianku. Dan sekarang, aku sudah tau kalau dia juga suka aku.

Uh.

Tanpa sadar aku senyum-senyum sendiri. Rasanya aku juga ingin bilang kalau aku suka dia. Tapi kalau Sonam dan Norbu tahu, gimana reaksinya, ya?

“Sedang apa?” Sonam tiba-tiba masuk ke kamarku, mengejutkanku.

"Ng-nggak papa,” jawabku, lanjut pura-pura sibuk memakai lip balm.

“Kenapa kamu senyum-senyum sendiri?” Sonam berdiri di belakangku, memandangku dari pantulan cermin.

“Aku gak senyum.” Lanjut celingak-celinguk. “Norbu sama Tenzin mana?”

Mengucap nama Tenzin, hatiku seperti digetar-getar—Duh, perasaan apa ini.

“Norbu tadi sedang mandi. Sedangkan Tenzin sedang di kamar ibu.” Tanpa aba-aba Sonam menyentuh ke dua pundakku, membuatku terkejut.

Aku berdebar saat melihat tangan Sonam yang perlahan mengusap pundakku, setengah memijit. Saat kulihat ekspresi wajahnya di cermin, rautnya juga tampak aneh—Macam kucing yang lagi sanghe.

“Sonam, kamu kenapa?” Aku bangkit dari duduk, membuat pundakku terlepas dari tangan Sonam.

Sonam mendekat perlahan. “Datang bulanmu sudah selesai?”

“Belum,” jawabku cepat. Tapi sejujurnya aku berbohong— Datang bulanku baru berhenti hari ini.

“Kapan selesainya?” Rautnya tampak kecewa.

“Sabar, ya. Tunggu benar-benar bersih. Mungkin 3 hari lagi.”

“Oke, aku akan tunggu. Kamu ingat, kan? Aku yang duluan sentuh kamu.”

“Iya, aku ingat.”

Kualihkan pandangan dari mata Sonam. Meskipun dia sudah jadi suamiku, tapi rasanya masih canggung—lebih ke asing. Tapi mau gimana lagi, aku harus berusaha bersikap adil.

“Kalian sedang apa?”

Norbu tiba-tiba masuk ke kamar, diikuti Tenzin yang masuk juga. Namun begitu mataku dan mata Tenzin saling temu, jantungku langsung berguncang meskipun hanya saling pandang dari kejauhan.

“Aku sedang menagih jadwal iclikku pada istri kita,” jawab Sonam.

Norbu menghampiri dengan raut sumringah. “Kamu sudah selesai datang bulan?”

Aku menggeleng. “Belum.”

Ekspresi Norbu mendadak lemah. “Kukira sudah selesai. Kenapa lama sekali, ya?” Dia garuk-garuk pelipis menggunakan jari telunjuknya.

“Sabar saja.” Tenzin menghampiri. “Lebih baik kita istirahat.”

“Oke, aku juga sudah ngantuk.” Norbu langsung melompat ke atas ranjang, diikuti Sonam yang duduk di bibir ranjang.

“Ayo kita tidur. Sudah malam, besok kita mau ke Beijing, kan?” ujar Sonam.

“Ke Beijing? Mau ngapain?” tanyaku.

“Ada urusan bisnis,” jawab Norbu sambil membuka ponsel.

“Kamu mau ikut?” Tenzin menatapku.

“Memangnya boleh?”

“Boleh,” jawab Sonam.

“Setuju. Kamu ikut saja, Baby. Anggap saja ini jalan-jalan untuk bulan madu kita berempat,” tambah Norbu.

“Benar, kamu harus ikut.” Tenzin menatapku semakin dalam. Tatapannya itu seperti memaksaku untuk setuju.

Akhirnya aku mengangguk pada Tenzin. ”Oke, aku ikut.”

“Sepakat.” Sonam berbaring. ”Sekarang kita tidur, agar besok tidak kesiangan. Lagipula tubuhku hari ini sangat lelah.”

“Iya, aku juga lelah.” Norbu meletakkan ponselnya di meja lampu. “Selamat tidur semua.” Suami bungsu itu pun memejamkan mata, diikuti Sonam yang memejamkan mata juga.

“Selama tidur juga,” sahutku. “Aku ke kamar mandi dulu ya, mau buang air dulu.”

Sonam dan Norbu menjawab dengan mengacungkan jempol kompak, namun mata mereka tetap terpejam, seperti mengantuk berat. Sementara Tenzin gak menjawab apa-apa—cuma diam, memandangku, sampai membuatku kumat deg-degan.

Gak tahan memikul tatapan Tenzin, cepat-cepat aku masuk ke kamar mandi yang letaknya ada di kamarku ini. Buru-buru kututup pintu juga, lanjut mengatur napas yang ngos-ngosan.

“Sinting! Kenapa sih Tenzin kalo natap dalem banget? Bikin gak tahan pingin ngokop aja,” gerutuku pelan.

Mengatur napas, seberusaha mungkin aku melupakan tatapan Tenzin yang seksi itu. Melanjutkan misi awal, aku pun menurunkan celana untuk membuang air seri yang sudah diujung tanduk.

Rasa plong mulai terasa saat air seni sedang keluar, namun lagi-lagi aku teringat Tenzin yang bikin mabuk kepayang.

“Andai aja suamiku cuma Tenzin. Aku pasti bakal leluasa karena gak harus jaga perasaan Sonam sama Norbu,” gumamku sambil cebok.

“Kenapa harus jaga perasaan?”

Mataku refleks membola saat mendengar pertanyaan itu. Suara itu–Suara Tenzin. Setelah menoleh ke arah pintu, ternyata suara itu memang suara Tenzin.

Si pemilik suara sedang berdiri di pintu yang celahnya terbuka sedikit.

“Tenzin, kamu ngapain?” Darah di jantungku memompa kencang.

Tenzin membuka celah pintu itu semakin lebar, lalu masuk tanpa permisi. Dan yang lebih gongnya lagi, dia malah menutup pintu kamar mandi.

“Tenzin! Ngapain kamu masuk?!" Intonasiku pelan, namun nadaku ngegas. “Kalo ketahuan Sonam sama Norbu gimana?”

“Mereka sudah tidur.” Tenzin menatap wajahku, lalu tatapan itu turun ke bawah.

Shit—Aku terkejut karena baru sadar belum menaikkan celana. Namun, untung saja bagian fefek ini tertutup baju tidur. Dengan cepat aku menaikan celana, lanjut berdiri dengan gugup.

“Kamu sudah tidak datang bulan?”

Pertanyaan Tenzin membuatku tertegun. Dia pasti lihat celana dalamku yang sudah bersih, tanpa pembalut lagi.

“Jangan bilang siapa-siapa dulu, ya.” Aku merapatkan telapak tangan tanda memohon, karena sudah ketahuan bohong. “Aku benar-benar belum siap diiclik Sonam.”

Tenzin melangkah mendekat. “Kapan siapnya?”

Aku membisu.

Tenzin mengangkat tangan, lalu menyentuh daguku sedikit mengangkat. “Kalau kamu belum siap melayani Sonam, kapan aku mendapatkan giliran?”

Sinting—Detak jantungku makin gak karuan.

“Kita keluar sekarang. Aku takut Sonam dan Norbu bangun.” Aku hendak pergi meninggalkannya, namun pinggangku di tahan oleh pria kalem tapi menghanyutkan ini.

“Sonam dan Norbu tidak mudah bangun jika sudah tidur,” bisiknya di keningku. “Apa kamu tahu? Selama ini aku selalu menantikan waktu agar bisa bicara berdua dengan kamu.”

Akhirnya aku mendongak untuk menatap wajahnya yang ganteng itu. “Ngapain mau bicara berdua?”

“Hanya ingin mengenalmu lebih dalam.”

Refleks meneguk ludah. “Sekarang sudah kenal?”

“Sudah. Tapi aku belum bisa memilikimu sepenuhnya.”

“Gimana mau memiliki sepenuhnya? Aku kan harus dibagi tiga.”

Jemari Tenzin yang semula di dagu, tiba-tiba berpindah tempat ke pipi, perlahan ke rahang. “Tidak apa jika memang harus dibagi tiga. Tapi, aku ingin kamu lebih mencintaiku.”

Bulu kudukku mendadak meremang. “Memangnya boleh?”

Tenzin memiringkan wajah. “Boleh apa, sweety?”

“Aku boleh mencintaimu?”

“Apa kamu juga merasakan hal yang sama denganku?”

Kepalaku tiba-tiba mengangguk tanpa disuruh. “Aku juga suka sama kamu. Di antara kalian, aku lebih suka kamu.” Masa bodoh akhirnya aku jujur.

Tenzin menatap mataku semakin dalam, bibirnya tiba-tiba tersenyum. “Perfact.”

“Apanya yang perfact?”

Tenzin menarik pinggangku hingga bagian depan tubuh kami kembali beradu. “Perasaan kita.”

Lekas kuturunkan pandangan karena gak kuat menatapnya terlalu lama. Sekuat tenaga bibirku melipat guna menahan senyum—Sumpah, aku tiba-tiba bahagia.

“Kenapa tidak mau menatapku?” Tenzin kembali menyentuh daguku, lanjut mengangkat wajahku hingga kami kembali saling tatap.

“Aku belum terbiasa.” Hendak memalingkan wajah ke samping, tapi Tenzin menahannya.

“Jangan pernah berhenti menatapku,” katanya lembut. Saking dekatnya, aroma napasnya sampai berhembus di dahiku.

“Tapi aku malu. Sumpah, aku canggung.”

“Jangan canggung lagi.” Tenzin tiba-tiba mengecup bibirku. Meskipun singkat, tapi sukses membuatku kaget setengah mampus.

“Masih canggung?” tanyanya lembut.

Aku membisu, bahkan tubuhku mendadak kaku karena dia mengambil ciuman pertamaku.

“Masih canggung?” ulangnya.

Aku mengangguk kaku. “M-masih.”

“Jangan canggung lagi, my sweet wife.” Tenzin kembali mendekatkan wajahnya, lanjut mencium bibirku lagi.

Tunggu—Kali ini bukan sekedar kecup, tapi mengkokop.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!