bagaimana jadinya kalau anak bungsu disisihkan demi anak angkat..itulah yang di alami Miranda..ketiga kaka kandungnya membencinya
ayahnya acuh pada dirinya
ibu tirinya selalu baik hanya di depan orang banyak
semua kasih sayang tumpah pada Lena seorang anak angkat yang diadopsi karena ayah Miranda menabrak dirinya.
bagaimana Miranda menjalani hidupnya?
simak aja guys
karya ke empat saya..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon santi damayanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
nomor ponsel miranda
“Sepertinya aku ingin mandi sendiri. Kalian jaga di luar saja, ya,” ucap Miranda sambil memegang gagang pintu kamar mandi.
“Baik, Nyonya, jika itu yang Anda inginkan,” jawab salah satu maid dengan membungkuk halus.
Miranda melangkah masuk. Kamar mandi itu luas, lantainya marmer dingin berkilat. Uap tipis dari bak mandi hangat memenuhi ruangan. Dua maid lain di luar sibuk menyiapkan pakaian Miranda.
Ia menurunkan tubuhnya ke dalam bathub. Air hangat menyelimuti kulitnya, busa putih perlahan menutupi permukaan air. Miranda menggerakkan tangannya, mencipratkan busa kecil sambil tersenyum kecil.
“Jadi begini rasanya hidup seperti ratu…” bisiknya. Busa menempel di ujung jari, dan ia meniupnya pelan.
Pikirannya melayang. Mang Agus… Bi Mirna… Apa kabar mereka ya? Ia menggigit bibir, ragu. Aku ingin menghubungi mereka. Tapi mau pinjam HP mereka juga… malu. Lucu banget, mereka melayani aku, tapi aku malah enggak punya ponsel sendiri.
Miranda bangkit dari bathub. Air menetes mengikuti garis tubuhnya. Ia berdiri di depan cermin besar, memutar sedikit tubuhnya, memperhatikan pantulan dirinya.
“Seru juga ya kalau Kartika ada di sini,” gumamnya sambil tersenyum kecil—membayangkan sahabatnya yang pasti sudah heboh melihat tempat mewah ini.
“Apakah Anda sudah selesai, Nyonya?” suara seorang maid terdengar dari balik pintu.
“Ya, aku sudah selesai.”
Tak lama kemudian dua maid masuk. Satu membawa jubah handuk tebal dan mewah, sementara yang satu lagi mulai membersihkan kamar mandi yang baru saja ia gunakan.
Mereka membantu Miranda mengenakan jubah handuk itu dengan penuh ketelitian.
Miranda lalu duduk di depan meja rias. Cahaya lampu memantul pada kaca besar. Seorang maid mulai mengeringkan rambutnya dengan hair dryer, sementara yang lain merapikan alis dan merapikan sedikit riasannya.
“Memang harus seperti ini, ya?” tanya Miranda pelan, tampak kikuk.
“Anda ini calon Nyonya Baskara. Anda harus terlihat sempurna,” jawab maid itu lembut namun tegas.
Miranda menghela napas dalam hati. Mereka ini berlebihan. Aku masih remaja, baru lulus SMA. Mana mungkin aku bisa sempurna? Tapi… ya sudahlah. Nikmati saja
Seorang maid membawa sebuah dress sederhana tapi elegan. Dari merknya saja Miranda sudah tahu harganya pasti tidak masuk akal.
“Sepertinya Anda cocok memakai ini,” ucap maid itu sambil mengangkat dress putih yang simpel namun terlihat sangat berkelas.
“Ya, yang itu bagus,” ujar Miranda. Sebenarnya semua baju di ruangan itu terlihat bagus. Dulu, setiap melihat Lusie dan Lena memakai pakaian mahal, Miranda hanya bisa menelan ludah. Kalau saja ia nekat meminta dibelikan barang seperti itu… satu rumah pasti akan memarahinya tanpa ampun.
Dua maid membantu memakaikan dress itu. Kainnya jatuh lembut di tubuh Miranda, mengikuti bentuknya dengan indah. Saat berdiri di depan cermin, Miranda hampir tidak percaya.
“Ih… benarkah ini aku?” ucapnya sambil menepuk-nepuk pipinya.
“Ini baru make up tipis saja, Nyonya. Belum perawatan apa pun. Kalau nanti Anda sudah menjalani perawatan, pasti Anda jauh lebih cantik,” ujar Lina.
Miranda terkekeh. “Iya juga, ya. Benar kata orang… pada akhirnya perempuan itu cantik kalau ada dananya.”
Para maid menahan tawa, saling pandang sambil menutup mulut.
Tak lama, Mili masuk. Hari ini ia tampak lebih rapi dan cantik dari biasanya.
“Nyonya, ini ponsel Anda. Sudah siap pakai,” ucap Mili sambil menyerahkan sebuah kotak.
Miranda menerimanya—ponsel dengan logo apel tergigit, sama persis seperti milik Lusie dan Lena dulu.
“Wow… ponsel…” bisiknya. Ia mencium ponsel itu erat, seolah takut menghilangkannya. Sudah lama sekali ia menginginkan benda seperti ini.
“Yes! Aku nggak perlu pinjam ponsel Bi Mirna buat nonton drakor. Atau pinjam ponsel Kartika buat cari lowongan kerja,” ucap Miranda bersemangat.
Tanpa pikir panjang, ia langsung bersujud syukur di lantai marmer.
“Terima kasih, Kak Mili…” ucapnya sambil bangkit kembali.
“Terima kasihnya ke Tuan Rian, Nyonya. Ini fasilitas untuk Anda,” jawab Mili.
“Ah… dia seram sekali. Kayak monster. Aku takut,” bisik Miranda polos.
Mili langsung panik dan mendekat. “Jangan keras-keras, Nyonya…” bisiknya terburu-buru.
“Ups. Lupa,” Miranda menutup mulutnya.
“Dan jangan panggil saya ‘Kakak’. Panggil saja Mili. Kalau tidak, saya bisa kena tegur,” bisik Mili lagi.
“Aduh, tapi rasanya nggak sopan manggil nama orang yang lebih tua,” protes Miranda pelan.
“Baik… tapi kalau di depan Tuan, tolong panggil saya Mili, ya.”
“Siap. Aman pokoknya,” ucap Miranda dengan gaya rahasia-rahasiaan.
Para maid tersenyum melihat kepolosannya—Miranda benar-benar seperti gadis yang baru pertama kali menyentuh dunia mewah.
Walaupun tidak pernah punya ponsel sendiri, Miranda sudah terbiasa menggunakannya. Ia sering meminjam ponsel Bi Mirna dan Kartika. Nomor Bi Mirna sudah ia hafal di luar kepala. Nomor Kartika? Sering gonta-ganti, jadi Miranda tidak pernah mengingatnya.
Dengan cekatan ia mengetik nomor Bi Mirna, lalu menekan panggilan.
Dering pertama tidak diangkat.
Dering kedua juga tidak.
Dering ketiga masih sama.
Miranda menggigit bibir, matanya mengerjap cemas.
“Mungkin mereka tidak tahu kalau ini aku,” gumamnya.
Ia segera mengetik pesan singkat.
Bi, ini aku Miranda. Tolong angkat.
Tak sampai satu menit, ponsel Miranda bergetar. Bi Mirna menelpon melalui video call.
“Neng Miranda…” suara Bi Mirna terdengar serak, seperti baru selesai menangis.
“Bibi sakit? Kenapa mata bibi sembab begitu?” tanya Miranda, wajahnya ikut tegang.
Tangan Bi Mirna buru-buru menyeka air matanya. “Bibi khawatir. Neng Miranda tidak ada di kamar sejak semalam. Apa neng baik-baik saja di sana?”
Miranda mengubah posisi ponsel, mengarahkan kamera ke sekeliling kamar. Kamar besar, rapi, dengan pencahayaan hangat dan perabot mewah yang mengkilap.
Bi Mirna menutup mulutnya. Tangisnya pecah lagi. Kali ini bukan karena khawatir akan nasib nona kesayangannya, Bi Mirna terharu melihat senyum cerah majikannya itu.
“Bi, cukup bibi dan Mang Agus saja yang tahu. Kalau orang lain tanya, bilang saja aku nangis terus,” ujar Miranda.
“Kenapa begitu, neng?” tanya Bi Mirna dengan mata masih berkaca-kaca.
“Ah, bibi seperti tidak tahu saja. Pasti ada orang yang tantrum kalau tahu aku senang,” jawab Miranda sambil mengangkat bahu.
Bi Mirna tersenyum kecil. “Iya… benar juga. Bibi senang sekali lihat neng bahagia.”
Tiba-tiba terdengar suara berat dari belakang. “Mirna, suara siapa itu?”
Miranda refleks tersentak. Jantungnya berdebar. Ia langsung menekan tombol merah, mematikan panggilan sebelum wajah ayahnya muncul.
Miranda masih kesal dengan sikap ayah dan saudaranya. “maaf yah..ayah sudah menjualku,,aku sekarang males lihat muka ayah” pikir Miranda.
“Nyonya, mari kita sarapan dulu.” Ucap Mili yang sedari tadi memperhatikan tingkah Miranda
“ok Ka mili” ucap Miranda tersenyum
…
Sementara itu, di rumah Handoko.
“Siapa tadi, Mir?” tanya Handoko penasaran
Mirna menelan ludah. “Neng Miranda, Tuan,” jawabnya pelan. Ia ragu, namun ia tidak pernah bisa berbohong pada majikannya.
Handoko terdiam. Ada sesak tiba-tiba mengisi dadanya, seperti disodok dari dalam.
Miranda menghubungi Mirna dulu? Bukan aku?
Pembantunya, bukan ayahnya sendiri.
“Kenapa dia tidak menghubungiku, Mir?” suara Handoko kali ini lebih lembut, hampir seperti keluhan.
Mirna menghela napas panjang. “Apa Tuan pernah memberi tahu nomor Tuan pada Neng Miranda? Dan… apa Tuan baru sadar kalau Tuan tidak pernah memberikan ponsel pada Neng Miranda. Hanya Neng Miranda anak tuan handoko,,anak kandung yang tidak diberi ponsel oleh anda ?” ucap Menekankan kata ‘anak kandug’ biar handoko sadar
Handoko membeku.
Mirna melanjutkan dengan suara lirih, “Hampir setiap malam, ponsel saya dipakai Neng Miranda buat belajar dan nonton film.”
Kata-kata itu seperti pisau kecil yang menembus dada Handoko. Ia menatap lantai, rahangnya mengeras. Bukannya ia tidak ingin memberikan ponsel kepada Putri bungsunya itu,,kalau dia memberikan ponsel pada Miranda maka akan mengundang kemarahan Lusi, Amar dan amir.
Dan kini ia membayar harganya.
“Bisa aku minta nomornya, Mir?” tanya Handoko akhirnya.
Mirna menatapnya lama. “Untuk apa, Tuan?”
Handoko mengembuskan napas. Ada gentar dan penyesalan dalam tatapannya. “Aku ayahnya… Aku tahu aku salah. Aku ingin mencoba memperbaiki hubunganku dengan Miranda.”
Mirna menunduk, mempertimbangkan. Ia tahu luka Miranda tidak kecil. Tetapi ia juga melihat ketulusan di mata Handoko, ketulusan yang jarang muncul.
Akhirnya, perlahan ia mengangguk. “Baik, Tuan. Saya berikan nomornya.”
Ada sedikit harapan muncul di ruang itu, tipis namun nyata—harapan bahwa hubungan ayah dan anak itu mungkin masih bisa diperbaiki.
Kakak ga punya akhlak
mma Karin be smart dong selangkah di depan dari anak CEO 1/2ons yg masih cinta masalalu nya