Miranda Anak Yang Disisihkan
Miranda Aditama beberapa hari lagi akan berusia delapan belas tahun. Kulitnya kusam dan kurang terawat untuk seorang anak miliarder, pakaiannya sederhana bahkan sedikit lusuh. Dengan mengenakan seragam putih abu-abu, ia melangkah mendekati ayahnya, Handoko Aditama, yang sedang sibuk dengan tabletnya. Handoko merupakan seorang kontraktor sukses dengan aset miliaran.
Hari ini adalah hari bersejarah bagi Miranda. Ya, hari ini adalah hari pembagian ijazah. Diantar orang tua tentu saja menjadi sebuah kebahagiaan, dan tampaknya itu hal yang sangat mahal bagi Miranda Aditama. Meski sepertinya ayahnya tidak akan datang, Miranda tidak mau menyerah. Ia harus mencoba.
“Maaf, Ayah, menganggu,” ucap Miranda pelan.
Handoko meletakkan tablet dan kacamatanya.
“Ada apa?” tanya Handoko sambil menatapnya.
“Ayah, bisakah hari ini Ayah datang ke sekolah? Hari ini hari kelulusan aku,” ucap Miranda dengan suara yang sedikit gugup.
“Baiklah, Ayah siap-siap dulu,” ujar Handoko akhirnya.
Betapa senangnya hati Miranda. Ternyata ayahnya bersedia datang mengambil ijazahnya.
Miranda duduk di teras dengan senyum ceria.
“Kenapa Neng bahagia sekali hari ini?” tanya Pak Agus, tukang kebun di rumah itu.
“Ayah mau ambil ijazahku, Mang,” jawab Miranda sambil menahan haru. Ada bulir bening jatuh dari kelopak matanya.
Pak Agus ikut merasa bahagia. Nona mudanya ini pasti sedang sangat gembira. Dalam hati ia berdoa semoga Pak Handoko akan berubah.
Tak lama kemudian Handoko datang dengan jas mahal dan sepatu mengilap. Miranda merasa bangga sekali.
“Ayo, Nak. Kebetulan Ayah ada meeting. Ayah cuma punya waktu tiga jam. Cukup, kan?” kata Handoko.
“Cukup, Yah. Cukup sekali,” jawab Miranda cepat.
Handoko dan Miranda hendak melangkah ke mobil, namun tiba-tiba terdengar jeritan.
“Sayang, Lena pingsan!” teriak Miranti, ibu tiri Miranda.
Handoko langsung berbalik arah dan menuju kamar Lena. Bukan hanya dirinya, Lusi, putri tertua Handoko sekaligus kakak kandung Miranda, juga bergegas ke kamar tersebut. Amar dan Amir, anak kembar Lusi, turut berlari menghampiri kamar Lena.
Miranda menelan ludah lalu menyusul dengan langkah gontai.
“Sayang, bangun,” ucap Miranti sambil menepuk-nepuk pipi Lena.
“Mamah, ada apa dengan Lena?” tanya Lusi dengan wajah penuh kekhawatiran.
“Apa karena Miranda?” tanya Amar dengan nada menyalahkan.
“Bukan, bukan karena Miranda. Miranda mau berangkat sekolah. Tadi ketika Mamah ke kamar, Lena sudah pingsan,” jelas Miranti.
“Ayah, ayo bawa ke rumah sakit,” pinta Lusi.
Amar dan Amir membantu mengangkat Lena ke mobil. Lusi tampak bergegas ke kamarnya untuk bersiap. Miranti memandang semua orang dengan panik, sementara Miranda hanya terdiam seribu bahasa. Lena adalah anak angkat Handoko, sedangkan Miranti adalah istri kedua Handoko. Miranti wanita mandul dan tidak bisa memiliki anak, sebab itu anak-anak Handoko menerima keberadaannya. tak lama setelah nurmalinda meninggal Handoko menabrak seorang anak perempuan bernama Lena. Lena mengaku yatim piatu dan terluka parah, membuat Handoko merasa iba hingga mengangkatnya sebagai anak.
“Ayah, ayo ke sekolahku,” pinta Miranda dengan hati-hati.
“Dasar gila,” bentak Amar. “Lu tidak lihat Lena pingsan? Ayah harus ke rumah sakit!”
“Kan ada Mamah Miranti dan Kak Lusi juga,” balas Miranda dengan suara kecil.
“Tidak bisa. Kami semua harus merawat Miranti. Dasar anak sial, pembawa masalah,” ujar Lusi dengan kalimat yang menyayat hati.
“Hari ini hari kelulusanku. Bisakah di antara kalian datang sebagai wali?” tanya Miranda dengan suara bergetar.
“Tidak,” jawab ketiga kakaknya serempak.
Miranti menatap ke arah mereka dan bertanya dengan lembut, “Ada apa ini?”
“Ini Miranda minta Ayah ke sekolah untuk ambil ijazah. Padahal Lena sedang sakit,” jawab Amar sambil melirik sinis.
Miranti memalingkan wajahnya ke arah Handoko. “Sayang, kamu ambilkan ijazah Miranda, ya. Biar Lena sama aku dan anak-anak,” ucap Miranti sambil mencoba tersenyum kecil.
“Tidak usah. Tidak penting ijazah anak sialan ini,” ujar Lusi dengan nada marah. “Lu itu anak sial, penyebab kematian ibu. Lu masih hidup saja sudah untung. Jadi jangan pernah mau hidup enak, ya,” kata Lusi kesal.
Serasa diremas hati Miranda. Ia menahan air mata agar tidak tumpah, namun ia tetap berusaha tidak menyerah.
“Ayah, Mamah sudah izinkan. Ayah, sekali ini saja, ya. Waktu SMP Ayah tidak ambil. Sekarang mau, ya, Yah?” pinta Miranda dengan suara memohon.
“Maafkan Ayah, Miranda. Kamu pergi sendiri saja,” ucap Handoko pelan, sebab jika ia mengikuti keinginan Miranda, ia tahu anak-anaknya akan memusuhinya.
“Tuh, dengarin, Lu. Anak pembawa sial,” ujar Amir dengan nada tajam.
Tidak ada pembelaan apa pun dari Handoko saat anak bungsunya dihina saudara-saudaranya.
“Minggir,” desis Amir kesal sambil mendorong tubuh Miranda seolah dirinya hanyalah sampah.
Mereka semua akhirnya pergi meninggalkan Miranda sendirian. Langkah mereka menjauh, suara pintu mobil tertutup, lalu rumah itu kembali sunyi seperti menelan dirinya bulat-bulat.
Miranda berdiri mematung di lorong. Nafasnya tercekat, namun ia tidak bergerak. Ia memandang lantai yang terasa semakin jauh dari jangkauan seolah tubuhnya melayang tanpa arah. Tidak perlu bertanya apa yang baru saja terjadi. Ia sudah terlalu hafal semuanya.
Lena pingsan lagi. Tepat pada hari pentingnya.
Selalu begitu.
Miranda menelan ludah pahit sambil memejamkan mata. Ingatannya mengalir satu per satu, seperti potongan film yang terus diputar ulang tanpa ia minta. Saat ulang tahunnya, Lena pingsan. Saat Miranda akan mengambil ijazah SMP-nya, Lena pingsan. Saat peringatan kematian almarhum ibunya, Nurmalinda, Lena juga pingsan.
Seolah dunia sengaja memilih hari-hari miliknya untuk runtuh.
Miranda mengusap sudut matanya, mencoba menghalau perih yang menumpuk di dada. Pikirannya kembali ke masa lalu, ke hari yang selalu membuatnya susah bernapas.
Waktu itu sekolah mengadakan kegiatan kemping. Miranda meminta dijemput oleh ibunya. Hanya ingin pulang bersama, bercerita tentang tenda yang roboh dan marshmallow gosong. Tapi Nurmalinda tidak pernah sampai ke sekolah. Mobil yang membawanya terguling, dan petugas datang membawa kabar itu dengan wajah sendu.
Hari itu tubuh kecil Miranda membeku, sementara dunia orang dewasa sibuk menuduh di sekelilingnya. Amar, Amir, bahkan Lusi yang saat itu sudah remaja, semuanya memandangnya seolah ia penyebabnya. Seolah dia yang memanggil maut itu datang.
Padahal Miranda baru berusia sepuluh tahun.
Sejak saat itu, kebencian itu tidak pernah benar-benar hilang. Setiap Mata Lusi seperti pisau, setiap kalimat Amar seperti tamparan, dan setiap diamnya Handoko seperti pengakuan bahwa mereka benar membencinya.
Lalu Lena datang.
Gadis kecil yang manis, cantik, polos, dan selalu tersenyum. Lena yang tidak pernah membuat kesalahan. Lena yang selalu dipeluk, selalu dibela, selalu dijaga. Dalam hitungan hari, Lena menjadi pusat rumah itu. Segala kasih sayang yang dulu pernah menyentuh Miranda mengalir begitu mudah kepada anak yang baru mereka kenal.
Sejak hari itu, Miranda merasa rumahnya bukan lagi tempat pulang. Ia hanya tamu yang tidak diundang.
Ia hidup di bawah satu atap, tetapi seperti tidak benar-benar ada.
Di hadapan pintu yang tertutup rapat, Miranda menghela napas panjang. Hari kelulusannya seharusnya menjadi hari bahagia. Namun ia kembali berdiri sendirian, sama seperti bertahun-tahun sebelumnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments
partini
sinopsisnya udah nyesek bab satu tambah nyesek weh
2025-12-04
0