Penasaran dengan ceritanya yuk langsung aja kita baca
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mbak Ainun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 19: Runtuhnya Menara Kaca
Lantai 42 yang tadinya hening kini berubah menjadi medan kekacauan yang bising. Lampu biru-merah dari mobil polisi di bawah terpantul pada dinding kaca, memberikan nuansa horor pada ruangan tersebut. Baskoro berdiri terpaku, tangannya terkepal di samping tubuhnya saat dua petugas kepolisian mendekat untuk memborgolnya.
"Ini kesalahan! Kalian tidak tahu siapa saya!" teriak Baskoro, namun suaranya tenggelam oleh hiruk-pikuk petugas yang sedang menyita berkas-berkas dari brankas rahasia.
Aris tergeletak di atas karpet tebal, napasnya tersengal-sengal. Yudha berlutut di sampingnya, menahan kepala pria tua itu agar tetap sadar. "Pak Aris, bertahanlah! Ambulans sudah di bawah. Kita menang, Pak! Dokumen itu... semuanya ada di sini."
Aris tidak menjawab dengan kata-kata. Ia hanya menatap langit-langit ruangan yang tinggi, tempat lampu-lampu kristal yang dulu ia banggakan kini tampak seperti taring-taring tajam yang siap jatuh. Ia merasakan kelegaan yang aneh, seolah-olah beban sepuluh tahun baru saja diangkat dari dadanya, meskipun jantungnya sendiri sedang berjuang keras untuk tetap berdetak.
Di luar gedung, berita tentang penggerebekan Grup Mahakarya menyebar seperti api di atas bensin. Siaran langsung dari ponsel Aris telah ditonton oleh jutaan orang, memicu kemarahan publik yang luar biasa. Reputasi Baskoro hancur dalam hitungan menit. Nilai saham perusahaan merosot tajam, dan para investor mulai memutuskan hubungan mereka.
Maya, yang mengawasi dari mobil di bawah, menangis tersedu-sedu. Ia melihat para penjaga keamanan yang dulu sering membentaknya kini tertunduk lesu saat digiring keluar. Baginya, ini bukan sekadar soal pekerjaan; ini adalah pembersihan jiwa dari sistem yang korup.
Ambulans membawa Aris melewati kemacetan Jakarta yang dingin. Di dalam ruang medis yang sempit itu, Aris menatap Yudha yang terus memegang tangannya.
"Yudha... Rumah Senja..." bisik Aris pelan.
"Jangan khawatirkan itu lagi, Pak. Dengan bukti pemalsuan ini, gugatan mereka otomatis gugur. Pengadilan akan segera mengeluarkan ketetapan tetap untuk lahan itu. Rumah itu aman. Warga menunggumu," jawab Yudha dengan suara serak.
Keesokan harinya, seluruh surat kabar nasional memuat foto Baskoro yang menutupi wajahnya dengan map, bersanding dengan foto maket Rumah Senja karya Aris. Judulnya seragam: "Keadilan di Balik Garis Arsitektur". Pemerintah kota, yang sebelumnya ragu, kini secara resmi mengumumkan dukungan penuh terhadap pembangunan Rumah Senja sebagai proyek percontohan nasional.
Baskoro, yang kini mendekam di sel tahanan sementara, hanya bisa menatap dinding beton yang dingin. Ironisnya, pria yang seumur hidupnya membangun gedung mewah kini harus berakhir di sebuah ruangan sempit tanpa jendela. Ia menyadari bahwa tembok yang ia bangun untuk mengunci Aris justru menjadi penjara bagi dirinya sendiri.
Aris dipindahkan ke ruang perawatan intensif. Meskipun kondisinya sangat lemah, ia memaksa untuk tetap terjaga. Ia meminta Yudha membawakan buku sketsanya. Dengan tangan yang gemetar hebat, Aris mencoret-coret sesuatu di halaman baru. Ia sedang merancang babak terakhir dari bangunan itu—sebuah plakat yang akan diletakkan di pintu masuk.
"Apa yang Bapak tulis?" tanya Maya yang baru saja datang membawakan kabar bahwa warga bantaran sedang melakukan doa bersama untuk kesembuhannya.
Aris menunjukkan tulisannya yang cakar ayam namun terbaca jelas: "Di sini tidak ada penguasa, hanya ada manusia yang belajar untuk saling menguatkan."
Badai hukum telah berlalu, meninggalkan puing-puing dari sebuah keserakahan yang besar. Aris tahu bahwa fajar yang ia perjuangkan hampir sampai di puncaknya. Namun, ia juga tahu bahwa tubuhnya adalah rumah yang sudah terlalu rapuh untuk menampung semangat yang begitu besar. Ia hanya punya satu permohonan lagi kepada Tuhan: biarkan ia melihat atap Rumah Senja terpasang sebelum kegelapan yang abadi menjemputnya.