NovelToon NovelToon
KISAH NYATA - KETIKA CINTA MENINGGALKAN LUKA

KISAH NYATA - KETIKA CINTA MENINGGALKAN LUKA

Status: sedang berlangsung
Genre:Pelakor jahat / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Penyesalan Suami / Selingkuh / Percintaan Konglomerat / Romansa
Popularitas:5.8k
Nilai: 5
Nama Author: Dri Andri

Gavin Narendra, CEO muda yang memiliki segalanya, menghancurkan pernikahannya sendiri dengan perselingkuhan yang tak terkendali. Larasati Renjana, istrinya yang setia, memilih untuk membalas dendam dengan cara yang sama. Dalam pusaran perselingkuhan balas dendam, air mata, dan penyesalan yang datang terlambat, mereka semua akan belajar bahwa beberapa luka tak akan pernah sembuh.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

bab 11

Mereka jatuh ke ranjang—ranjang yang terlalu besar, terlalu kosong meski ada dua orang di atasnya. Gavin di atasnya, bergerak dengan urgency seperti dia desperate untuk sesuatu. Reconnection, mungkin. Atau hanya release fisik setelah tiga hari dengan Kiran.

Pikiran itu membuat Larasati hampir push Gavin away. Tapi dia tidak. Dia biarkan tubuhnya merespons pada autopilot—melengkung di tempat yang tepat, mengerang di waktu yang tepat, membuat wajah yang Gavin expect untuk lihat.

Tapi di dalam, dia tidak merasakan apa-apa. Tidak ada pleasure, tidak ada connection, tidak ada warmth. Hanya kekosongan yang dalam, seperti dia watching dari luar tubuhnya sendiri—melihat dua orang di ranjang, melakukan tindakan yang seharusnya intimate tapi terasa seperti transaction.

Gavin selesai dengan groan—tubuhnya collapse di sebelah Larasati, napas berat, keringat di dahinya. Dia tersenyum—senyum satisfied—lalu kiss kening Larasati.

"I love you," bisiknya.

Kata-kata yang dulu membuat Larasati mencair. Sekarang hanya membuat sesuatu di dadanya membeku lebih dalam.

"I love you too," bisik Larasati balik, dan membenci dirinya sendiri untuk setiap huruf dari kebohongan itu.

Gavin peluk dia—lengan di pinggang, wajah di rambutnya. Dalam lima menit, napasnya jadi teratur—dia tidur, cepat, mudah, tanpa beban.

Tapi Larasati terjaga.

Dia berbaring di pelukan suami yang mengkhianatinya, merasakan kehangatan tubuh yang kemarin hangat untuk perempuan lain, mendengar detak jantung yang berdetak untuk orang lain.

Dan dia tidak merasakan apa-apa. Tidak marah, tidak sedih, tidak... apa-apa.

Hatinya sudah mati. Sudah burnt out. Sudah tidak punya capacity untuk merasakan lagi.

Jam menunjuk pukul sebelas malam saat Larasati perlahan lepaskan diri dari pelukan Gavin. Dia bergerak dengan hati-hati—slow motion, tidak mau membangunkan. Gavin bergumam dalam tidur tapi tidak bangun, hanya berguling ke sisi lain, mengambil bantal Larasati untuk dipeluk.

Larasati berdiri di samping ranjang, menatap suaminya yang tidur dengan damai. Wajahnya terlihat innocent dalam tidur—seperti anak kecil, tidak ada jejak dari man yang planning untuk menghancurkan hidup istri dan anaknya.

Dia ambil cardigan tipis dari kursi, pakai dengan gerakan lambat, lalu keluar dari kamar dengan kaki telanjang—langkah tanpa suara di karpet koridor.

Dia turun ke lantai bawah, melewati ruang tamu yang gelap, membuka pintu geser ke balkon belakang.

Udara malam Jakarta menyambut—hangat, lembab, dengan hint of pollution yang selalu ada. Tapi setidaknya itu real. Setidaknya itu tidak bohong.

Larasati duduk di kursi outdoor, memeluk lutut ke dada, menatap langit malam yang barely terlihat karena light pollution. Tidak ada bintang—atau mungkin ada tapi tertutup oleh cahaya artifisial kota yang tidak pernah tidur.

Seperti hidupnya. Seharusnya ada keindahan di sana—cinta, keluarga, kebahagiaan. Tapi semuanya tertutup oleh kebohongan yang begitu tebal sampai dia tidak bisa lihat apa yang real lagi.

Ponselnya ada di saku cardigan. Dia keluarkan, buka chat dengan Ziva—pesan masuk tadi malam yang belum dia baca.

_"Mbak, audio baru. Gavin telepon Kiran tadi sore sebelum pulang. Dia bilang dia 'harus maintain appearance' dengan 'tidur sama Lara' malam ini supaya tidak curiga. Kiran cemburu tapi Gavin bilang 'it doesn't mean anything, you're the one I love.' Aku kirim audio-nya. Sorry Mbak... this must hurt."_

Larasati baca pesan itu dua kali. Tiga kali.

_"Harus maintain appearance."_

_"It doesn't mean anything."_

Jadi yang baru saja terjadi di kamar—intimacy yang dia forced herself to participate—bukan karena Gavin kangen atau cinta atau apapun. Itu strategic move. Performance untuk maintain illusion.

Seperti Larasati sedang perform untuk Gavin, Gavin juga sedang perform untuk Larasati.

Mereka berdua aktor di teater yang sama, playing different scripts, untuk audience yang berbeda.

Larasati tertawa—pelan, tanpa suara, tapi tertawa. Tertawa karena absurdnya situasi ini. Tertawa karena kalau dia tidak tertawa, dia akan... apa? Menangis? Berteriak? Hancur?

Tapi dia tidak menangis. Tidak ada lagi air mata. Mata kering, dada kering, hati kering.

Semuanya sudah mati.

Dia tatap ponselnya, scroll ke kontak—melewati Gavin di top (karena mereka paling sering chat), melewati Aurellia, sampai ke nama yang baru dia save minggu lalu.

Reza Mahendra.

Jemarinya melayang di atas screen. Sudah jam sebelas. Terlalu malam untuk telepon. Tapi...

Dia tidak peduli. Dia butuh... sesuatu. Seseorang yang tidak berbohong, yang tidak manipulasi, yang tidak treat dia seperti pawn di chess game-nya sendiri.

Larasati tekan tombol call.

Ring sekali. Dua kali. Tiga—

"Lara?" Suara Reza, sedikit serak—mungkin dia hampir tidur. "Lo okay? Ini tengah malem."

"Aku..." Suara Larasati stuck di tenggorokan. Dia tidak tahu apa yang mau dia katakan. Kenapa dia nelpon? Apa yang dia expect?

"Lara, what happened?" Suara Reza langsung alert sekarang. "Lo menangis?"

"Aku gak nangis," kata Larasati, dan itu true—dia tidak menangis. "Aku cuma... aku butuh bicara sama orang yang gak bohong ke aku."

Pause. Lalu: "Gavin pulang?"

"Dia pulang. Dengan oleh-oleh dari 'Surabaya' yang sebenarnya dari Bali. Dengan stories tentang meeting yang tidak pernah terjadi. Dan tadi..." Dia berhenti, tidak bisa lanjutkan.

"Tadi apa?"

"Tadi dia... kita... shit, Reza, aku gak bisa—"

"Stop," potong Reza, suaranya firm tapi gentle. "Lo gak perlu explain. Gue understand."

Keheningan di line. Larasati dengar suara rustling—Reza bergerak, mungkin duduk.

"Lara, dengar. Lo gak perlu stay there tonight. Lo bisa keluar. Gue bisa pick you up, lo bisa stay di hotel atau—"

"Aku gak bisa," bisik Larasati. "Abi di sini. Dan kalau aku pergi sekarang, Gavin will know something's up. Aku gak bisa blow my cover. Belum."

"Fuck," umpat Reza pelan. "Oke. Oke. Tapi lo promise me—if things get too much, if lo butuh out, lo call me. Anytime. Gue will come get you."

"Kenapa?" Pertanyaan keluar tanpa filter. "Kenapa kamu care so much? Gavin sahabat kamu, aku cuma... aku cuma istri sahabat kamu."

Silence yang panjang. Lalu Reza berkata, suaranya pelan tapi jelas:

"Karena lo bukan cuma 'istri sahabat gue,' Lara. Lo... lo always been more than that. Setidaknya buat gue."

Jantung Larasati berdetak lebih cepat. "Reza—"

"Gue gak minta apapun," potong Reza cepat. "Gue gak expect apapun. Gue cuma... gue cuma mau lo tahu kalau lo ada orang di corner lo. Always. Dan kalau suatu hari lo need someone who will put you first, bukan second or third after some affair... gue di sini."

Larasati tidak tahu harus jawab apa. Ada terlalu banyak emosi yang bergejolak—confusion, gratitude, sesuatu yang lain yang dia tidak mau identify.

"Thank you," bisiknya akhirnya. "Untuk... untuk semuanya."

"Lo gak perlu thank me. Just... jaga diri lo, oke? Dan Lara?"

"Ya?"

"Lo said lo butuh bicara. Gue assume that means lo butuh meet. Besok? Siang?"

Larasati sudah mau bilang yes saat dia ingat—besok dia meeting dengan Diana lawyer pagi. Tapi sore... sore dia free.

"Sore bisa? Jam empat?"

"Perfect. Tempat yang sama?"

"Okay."

"Okay. Now try to sleep, Lara. I know it's hard, tapi lo need rest."

"Aku akan coba."

"Good night, Lara."

"Good night, Reza."

Line mati.

Larasati pegang ponsel di dada, menatap langit yang masih tanpa bintang. Conversation dengan Reza meninggalkan sesuatu di dadanya—kehangatan kecil, reminder bahwa dia tidak sepenuhnya sendirian di dunia ini.

Tapi kehangatan itu also membawa guilt. Kenapa? Dia tidak melakukan apa-apa yang salah. Dia cuma bicara dengan teman. Tapi...

_"Lo always been more than that. Setidaknya buat gue."_

Kata-kata itu linger, membuat sesuatu di perutnya berputar dengan cara yang uncomfortable.

Larasati geleng kepala, mengusir pikiran itu. Dia tidak bisa think about Reza seperti itu. Dia masih married—technically. Dan dia tidak tipe perempuan yang... yang apa? Balas dendam dengan affair juga?

Tapi suara kecil di kepalanya berbisik: _Gavin melakukannya. Kenapa kamu tidak bisa?_

"Karena aku bukan dia," bisik Larasati pada malam. "Aku tidak akan jadi seperti dia."

Dia berdiri, masuk kembali ke rumah yang terlalu dingin meskipun AC tidak terlalu kencang. Dia naik tangga dengan langkah lambat, melewati kamar Abimanyu—berhenti sebentar untuk intip, melihat anaknya tidur dengan peluk boneka beruang, wajah damai.

Setidaknya ada satu hal pure di hidupnya. Satu hal yang tidak terkontaminasi oleh kebohongan dan pengkhianatan.

Larasati tutup pintu Abimanyu dengan lembut, lalu berjalan ke kamar utama. Gavin masih tidur di posisi yang sama, peluk bantal, wajah ke samping.

Dia berbaring di sisi ranjah yang jauh—jauh sebisa mungkin tanpa jatuh. Menatap langit-langit dalam gelap, mendengar napas Gavin yang teratur, feeling absolutely nothing.

Dan di dalam kekosongan itu, dia buat decision.

Besok, setelah meeting dengan Diana, setelah meeting dengan Reza, dia akan mulai eksekusi plan. Tidak ada lagi waiting. Tidak ada lagi collecting bukti pasif.

It's time to act.

It's time untuk Gavin facing consequences dari setiap lie, setiap betrayal, setiap manipulation.

Dan Larasati akan pastikan—absolutely pastikan—kalau saat semuanya selesai, dia yang standing, bukan Gavin.

Mata terpejam. Tidur tidak datang untuk waktu lama. Tapi eventually, dari pure exhaustion, dia drift off.

Dan dalam tidurnya yang gelisah, dia bermimpi tentang api—api yang membakar semuanya, termasuk dirinya sendiri.

Tapi dari abu, ada sesuatu yang tumbuh.

Sesuatu yang lebih kuat.

Sesuatu yang tidak bisa dihancurkan lagi.

---

**Bersambung

1
Aretha Shanum
dari awal ga suka karakter laki2 plin plan
Dri Andri: ya begitulah semua laki laki
kecuali author🤭😁
total 1 replies
Adinda
ceritanya bagus semangat thor
Dri Andri: makasih jaman lupa ranting nya ya😊
total 1 replies
rian Away
awokawok lawak lp bocil
rian Away
YAUDAH BUANG AJA TUH ANAK HARAM KE SI GARVIN
rian Away
mending mati aja sih vin🤭
Dri Andri: waduh kejam amat😁😁😁 biarin aja biar menderita urus aja pelakor nya😁😁😁
total 1 replies
Asphia fia
mampir
Dri Andri: Terima kasih kakak selamat datang di novelku ya
jangn lupa ranting dan kasih dukungan lewat vote nya ya kak😊
total 1 replies
rian Away
wakaranai na, Nani o itteru no desu ka?
Dri Andri: maksudnya
total 1 replies
rian Away
MASIH INGET JUGA LU GOBLOK
Dri Andri: oke siap 😊😊 makasih udah hadir simak terus kisah nya jangan lupa mapir ke cerita lainnya
total 3 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!