NovelToon NovelToon
Dijebak Ratu Dari Dunia Lain

Dijebak Ratu Dari Dunia Lain

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Spiritual / Budidaya dan Peningkatan / Balas dendam dan Kelahiran Kembali / Ilmu Kanuragan / Summon
Popularitas:1.6k
Nilai: 5
Nama Author: Kang Sapu

"Urgh... k-kurang ajar! B-bajingan!" gumam Lingga lirih. Tubuhnya semakin lemas dan kesadarannya semakin memudar. "A-apa aku akan... mati?"
Seorang bartender muda yang bergumul dengan utang dan cinta buta bernama Lingga, mengira hidupnya sudah cukup kacau. Tapi, semuanya berubah drastis dalam satu malam yang kelam. Saat hendak menemui pacarnya, Lingga menjadi korban pembegalan brutal di sebuah jalanan yang sepi, membuatnya kehilangan motor, harta benda, dan akhirnya, nyawanya.
Namun, takdir punya rencana lain. Di ambang kematian, Lingga terseret oleh lingkaran cahaya misterius yang membawanya ke dunia lain, sebuah dunia asing penuh kekuatan magis, monster, dan kerajaan-kerajaan yang saling bertarung. Terbangun dengan kekuatan yang belum pernah ia miliki, Lingga harus mempelajari cara bertahan hidup di dunia baru ini, menghadapi ancaman mematikan, dan menemukan arti hidup yang sesungguhnya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kang Sapu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 8

Krieeeet!

Pintu besi yang sebelumnya tertutup rapat, kini mulai terbuka. Lingga berjalan keluar dan pintu berwarna kelabu yang mengkilap itu tertutup kembali di belakangnya. Rantai-rantai yang tadi putus kembali menyatu dan saling mengait secara ajaib. Di hadapannya, Kadita dan Lira berdiri tegang sembari menatap penuh harap kepada Lingga.

"Lingga? Bagaimana? Apa kamu mendapat sesuatu?" tanya Kadita tiba-tiba seraya berjalan cepat menghampiri Lingga.

Lingga menggosok belakang kepalanya seraya memutar mata ke atas. "Hmm... bagaimana ya ngomongnya..."

"Cepat jelaskan! Jangan mengulur waktu!" teriak Lira mulai emosi saat melihat ekspresi Lingga yang menurutnya sedikit menyepelekan.

"Duh, sabar dulu, Lira... santai, nggak usah buru-buru. Yah... aku dapat sesuatu," sahut Lingga santai seraya melirik ke arahnya.

"Apa itu, Lingga? Kekuatan apa?" tanya Kadita antusias dan penuh rasa penasaran.

Lingga menghela nafas lalu mengangkat kedua bahunya. "Entah... yang penting aku dapat sesuatu tadi di dalam."

Lira mengacungkan tongkat kayu yang ia pegang sedari tadi ke wajah Lingga dengan ekspresi marah. "Jangan bercanda, Lingga! Jangan mempermainkan kami!"

Kadita mengangkat tangan seraya meraih tongkat beraura magis itu, lalu menurunkannya. "Lira, tunggu dulu... biarkan Lingga mengatakannya. Jangan ancam dia seperti itu!"

"B-baik, Yang Mulia..."

"Tuh, denger! Makanya jadi cewek nggak usah sok keras!" dengus Lingga yang dibalas ekspresi murka tertahan dari Lira.

Kadita menyentuh pundak Lingga seraya menatapnya lembut. "Lingga, sekarang coba katakan apa yang terjadi di dalam."

Lingga dengan cepat menampik telapak tangan lentik milik Kadita dari pundaknya lalu menyahut. "Hmm, sebelum itu... apakah kerajaan ini nggak punya tata krama untuk menyambut seorang tamu? Apa kerajaan ini tak punya sesuatu yang bisa... yah, disuguhkan kepada orang sepertiku? Setidaknya perjamuan sederhana, mungkin?"

"Jangan bicara seenaknya sendiri, Lingga!" sergah Lira lagi. Kali ini emosinya benar-benar sudah siap meledak setelah melihat tingkah Lingga.

"Lira!" bentak Kadita, membuat Lira pun tertunduk. Kadita mengalihkan pandangannya ke arah Lingga lalu tersenyum. "Baiklah, aku akan memberikan hidangan yang pantas untukmu. Mari, ikut aku ke ruang perjamuan."

"Baik, Ratu Kadita," sahut Lingga seraya melirik kearah Lira, lalu menjulurkan lidah. Lira hanya bisa menahan emosinya dengan tangan yang terkepal. Namun, Kadita tiba menoleh ke arah Lira dengan pandangan aneh, namun entah mengapa Lira merespon dengan anggukan.

Sebenarnya, Lingga begitu kesal saat memandang wajah Kadita yang menjijikkan. Bagaimana mungkin ia bisa memasang wajah polos bak seorang ratu yang baik dan ramah, sementara watak aslinya begitu licik dan kejam. Namun, saat ini memang Lingga berniat untuk mengulur waktu sembari mencoba menyelidiki apa sebenarnya yang terjadi di balik ini semua.

Mereka bertiga kembali menaiki tangga menuju ke tempat yang dimaksud. Lingga berjalan berdampingan dengan sang ratu, sementara Lira mengikutinya dari belakang. Mereka berjalan melewati lorong-lorong yang sedikit gelap, hanya diterangi beberapa obor yang terpasang di dinding.

"Hmm, nampaknya istana ini cukup sepi ya, Ratu?" tanya Lingga berbasa-basi.

Kadita menoleh dengan senyum lembutnya. "Yah, namanya saja sudah malam... banyak punggawa istana telah kembali ke wastunya dan seperti yang kamu lihat, di sini sekarang hanya tersisa beberapa penjaga dan dayang istana."

Lingga mengangguk seraya memperhatikan sekelilingnya. "Oh, begitu. Jadi, mereka kembali besok pagi?"

Kadita menggeleng pelan. "Tak selalu, Lingga. Jika memang ada pertemuan atau agenda mendadak dari kerajaan, mereka akan diberi kabar sebelumnya dan segera berkumpul di aula istana."

"Hmm, jadi gitu. Eh, boleh aku tanya sesuatu, Ratu?" tanya Lingga kini dengan nada suara lebih serius.

"Dari tadi sepertinya kamu sudah banyak tanya, Lingga!" potong Lira kesal.

"Eh, wanita tukang ngamuk. Nggak usah nyindir! Diem aja kenapa?! Orang mau nanya emangnya salah?" dengus Lingga ikutan kesal karena sedari tadi Lira mengganggunya.

"Apa kau bilang?!" tanya Lira dengan mata melotot.

"Sudah! Sudah! Lira, jangan bikin Lingga merasa tak nyaman di sini! Jaga sikapmu!" bentak Kadita sudah tak tahan mendengar perdebatan mereka berdua.

"Tuh, dengerin! Makanya, jangan suka nyolot jadi orang..." gumam Lingga seraya memasang ekspresi wajah penuh rasa puas karena Lira dimarahi oleh ratunya.

"Awas aja kau, Lingga!" batin Lira seraya menggertakkan gigi-giginya.

Tak berselang lama, akhirnya mereka tiba di sebuah ruangan yang cukup besar. Besarnya hampir menyamai aula utama tempat ia pertama kali muncul tadi. Ruangan ini nampak cukup terang dengan cahaya dari batu kristal yang menyala di beberapa sudut. Ukiran serta hiasan dari perunggu menghiasi dinding ruangan ini. Namun, di ruangan ini hanya terdapat dua buah meja panjang yang terbuat dari kayu berlapis perak di beberapa sisi dengan kursi yang berjajar rapi di antaranya.

Kadita mengangkat tangan lalu menunjuk sebuah kursi di sebelahnya. "Silakan duduk dulu, Lingga. Aku akan menyiapkan sesuatu untukmu!"

"Baik, Yang Mulia," sahut Lingga menurut. Ia pun duduk di kursi yang ditunjuk. Sementara itu, dengan tatapan culas, Lira juga ikut duduk namun berada di seberang Lingga, menatapnya tajam.

Prok! Prok!

Kadita menepuk tangannya dua kali, dan seketika itu pula beberapa wanita cantik muncul dari pintu di seberang tempat Lingga masuk tadi. Wanita-wanita itu memakai kemben sedikit ketat sehingga belahan dada mereka terlihat jelas. Mereka memakai selendang berbeda warna yang menjuntai di belakang punggung. Rambut mereka digelung dengan tusuk konde tunggal yang mencuat. Mereka menundukkan kepalanya di hadapan Kadita.

"Siapkan makanan dan minuman untuk tamuku! Ingat, 'menu' yang biasanya!" titah Kadita dengan wajah datar.

"Siap, Yang Mulia," sahut salah satu dayang istana.

"Apa Yang Mulia ingin bersantap malam juga?" tanya dayang yang lain.

Kadita terdiam sejenak, lalu menyahut. "Mungkin sedikit kudapan dan sari buah cukup. Sediakan juga untuk Lira."

"Baiklah, akan segera kami siapkan!"

Kadita pun duduk di antara mereka berdua. Suasana terasa hening untuk sesaat. Lingga melayangkan pandangan ke segala arah begitu penasaran. Sementara Kadita terus menyungging senyum ke arahnya. "Apa kamu merasa nyaman di sini, Lingga?"

Lingga mencibir sesaat dan memiringkan kepalanya. "Yah, nggak buruk. Lumayan nyaman kok."

"Oh, iya... sebenarnya apa yang mau kamu tanyakan tadi, Lingga?" tanya Kadita teringat akan pertanyaan Lingga beberapa saat yang lalu.

"Oh itu. Aku penasaran, apa nggak ada anggota kerajaan lain yang tinggal di istana ini, Yang Mulia? Mungkin orang tua, atau suami Anda, atau anak, mungkin..."

Brak!

"Lingga! Itu pertanyaan yang terlalu pribadi! Tak pantas kau mempertanyakannya!" teriak Lira setelah menggebrak meja di hadapannya.

Lingga menggeleng pelan lalu menghela nafas panjang. "Tuh, 'kan... mulai deh. Aku tuh cuma tanya aja! Kalau nggak mau jawab ya udah! Itu terserah Ratu Kadita."

"Benar, Kadita. Aku rasa Lingga cuma ingin tahu dan mungkin ingin sekedar mengakrabkan diri. Tak sepatutnya kita bersikap tertutup. Siapapun yang berada di posisi Lingga, pasti merasa penasaran dan juga pasti memikirkan hal yang sama. Lagipula setelah ini Lingga akan menjadi salah satu anggota kerajaan kita, sudah sewajarnya kita memberitahu semuanya, termasuk hal-hal yang bersifat sedikit pribadi," sahut Kadita berkata bijak lalu melirik ke arah Lira.

"Tapi, Yang Mulia—"

"Tak apa, Lira," potong Kadita. "Lingga, sebenarnya kedua orang tuaku sudah meninggal karena perang saudara beberapa tahun silam saat aku masih remaja. Aku mempunyai seorang kakak laki-laki dulu. Tapi, kini aku tak tahu di mana dia sekarang," sahutnya dengan wajah sedikit sendu.

Lingga sedikit mengernyitkan dahi. "Perang saudara? Aku turut berduka atas berita kematian orang tuamu, Ratu. Lantas, kenapa kamu tak tahu di mama kakakmu berada? Apa dia hilang? Atau... pergi?"

"Tak apa, Lingga. Terima kasih," sahutnya seraya tersenyum. "Hmm, kakakku menghilang begitu saja saat mengetahui kedua orangtuaku meninggal dalam perang itu. Dan... meninggalkan aku sendiri di istana ini."

"Lantas, bagaimana kamu bisa selamat dalam penyerangan itu? Siapa yang memulai perang? Masalah apa yang mendasari terjadinya perang saudara itu?" tanya Lingga semakin penasaran dan sedikit antusias.

Namun, sebelum Kadita menjawab pertanyaan itu, para dayang istana datang dengan nampan-nampan berisi makanan dan minuman. Mereka segera menyuguhkan hidangan itu di hadapan mereka. Lira terlihat menghela nafas panjang dan mengelus dadanya saat mengetahui Kadita tak jadi menjawab pertanyaan dari Lingga tersebut.

"Silakan dinikmati, Lingga. Semoga kamu puas dengan hidangan ini," ujar Kadita ramah.

"Ah, iya... terima kasih, Ratu,"

Lingga merasakan jarinya yang terpasang cincin Pengekang Tujuh Jiwa berdenyut untuk sesaat, namun ia tak menghiraukannya. Ia pun dengan antusias menyantap makanan yang baru saja dihidangkan. Namun, belum selesai ia menghabiskan makanan di piringnya, tiba-tiba Lingga memegang dadanya dan mengerang kesakitan.

"Urgh! A-apa yang terjadi? D-dadaku rasanya... s-sakit!"

***

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!