kisah seorang gadis desa yang dicintai sang mafia iblis..
berawal dari menolong seorang pria yang terluka parah.
hmm penasarankan kisahnya..ikutin terus ceritanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Violetta Queenzya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
jantung mu ada dalam tubuhku
Ponsel Rico bergetar di saku jasnya, menarik perhatiannya dari tumpukan dokumen di meja. Sebuah pesan singkat dari bodyguard yang berjaga di luar ruangan VIP.
"Lapor, Tuan. Tuan Axel telah sadar."
Mata Rico membulat. Detik itu juga, sebuah beban berat yang selama ini menekan dadanya terasa terangkat. Tanpa pikir panjang, ia menyambar jasnya yang tergeletak asal di sandaran kursi. "Steven, batalkan semua rapat saya jam dua siang nanti"suaranya terdengar jauh lebih lega.
Langkahnya tergesa menyusuri koridor rumah sakit, jantungnya berdegup antara cemas dan harapan. Begitu pintu ruang VIP terbuka, pandangannya langsung tertuju pada sosok Axel yang terbaring lemah, sedang diperiksa oleh Dokter Mark.
"Alhamdulillah, Tuan Axel sudah sadar," ucap Rico tulus, menghampiri ranjang dengan napas lega. Ada senyum tipis di bibirnya, senyum syukur yang tak mampu ia sembunyikan.
Dokter Mark menoleh, raut wajahnya masih serius. "Untuk sementara, jangan biarkan Tuan Axel memikirkan banyak hal. Fokus pada pemulihan. Biar cepat pulih," perintahnya tegas pada Rico, lalu beralih pada perawat di sampingnya. "Suster, tolong siapkan makanan bergizi untuk Tuan Axel sekarang."
Rico mengangguk paham. Ia menarik kursi di dekat brankar, sorot matanya tak lepas dari wajah pucat Axel. "Saya pamit dulu, Dokter. Terima kasih banyak." Meski berkata demikian, Rico tak beranjak. Ia hanya duduk di sana, menatap Axel, seolah baru bisa bernapas lega setelah melihat tuan sekaligus keluarga baginya.
Axel membuka matanya sepenuhnya, pupilnya memindai sekeliling dengan cemas. Bahkan dengan tubuh yang masih terasa berat dan nyeri, hal pertama yang terlintas di benaknya, yang pertama kali ia tanyakan, adalah Rara.
"Rico... di mana Rara? Kenapa dia tidak ada?" Suara Axel parau, matanya memancarkan kebingungan yang nyata, seolah absennya Rara adalah teka-teki yang paling mendesak.
Rico merasakan nyeri di hatinya. Ekspresinya sedikit mengeras, namun ia memaksakan senyum tipis. "Nyonya... beliau sedang istirahat, Tuan," jawab Rico, nadanya datar, tanpa emosi berlebih.
Kata-kata itu terasa pahit di lidahnya, setiap hurufnya adalah kebohongan yang harus ia telan demi menjaga kondisi Axel.
Pintu kamar terbuka pelan, memecah hening yang menyelimuti. Seorang suster berseragam putih muncul dengan nampan di tangan, aroma bubur hambar dan bau obat samar-samar menyeruak masuk.
"Permisi, Tuan," suster itu berucap lirih, menempatkan nampan di nakas samping tempat tidur Axel. "Makanan dan obatnya sudah siap."
Rico mengambil alih. Dengan tangan yang bergerak hati-hati, ia mulai menyuapi Axel. Sesekali ia meniup bubur yang masih hangat, memastikan suhunya pas. Axel menelan suapan demi suapan dengan lesu, matanya kosong menatap ke depan, seolah pikirannya melayang entah ke mana.
Setelah bubur tandas, Rico segera menyodorkan segelas air dan obat, memastikan Axel menelannya tanpa sisa.
Setelah menuntaskan semua, Axel menggeser tubuhnya sedikit. "Ric, bisa bantu naikkan sandaran ranjangku sedikit?" suaranya serak, nyaris berbisik.
Rico segera memutar tuas, menyesuaikan posisi hingga Axel tampak lebih nyaman bersandar. Sesaat, hanya keheningan yang mengisi. Udara di kamar terasa berat, dipenuhi duka yang tak terucap. Axel memejamkan mata, seolah mengumpulkan kekuatan, sebelum akhirnya membuka kembali. Sorot matanya kini dipenuhi kesedihan yang tak tertahankan, mencari jawaban yang ia takutkan.
"Ric..." panggilnya lagi, kali ini dengan suara lebih pelan, sarat akan beban yang ia coba tahan.
"Oma... sudah dimakamkan?"
Rico menatap Axel, matanya memancarkan kesedihan yang sama, namun ia berusaha tegar.
"Sudah, Tuan," jawabnya, suaranya sedikit tercekat. Ia meraih tangan Axel yang terasa dingin, menggenggamnya perlahan. "Sekarang, Tuan istirahat dulu, ya. Biar cepat pulih." Rico menghela napas, sebuah beban berat terasa menimpanya. Ia tahu betul pertanyaan selanjutnya akan datang, dan ia belum siap menghadapinya. Untuk sesaat, ia hanya ingin Axel terlelap, berharap pertanyaan tentang Rara bisa tertunda, setidaknya sampai esok hari.
Malam telah larut. Setelah memastikan Axel terlelap, Rico berpamitan pulang ke apartemennya, meninggalkan Axel sendirian di kamar perawatan. [Asumsi: Axel ada di kamar inap, bukan Rara.]
Beberapa jam kemudian, Axel terbangun. Rasa ingin buang air kecil yang mendesak memaksanya bangkit dari ranjang. Dengan langkah gontai dan kepala yang sedikit pening, ia berjalan menuju toilet yang ada di sudut kamar.
Setelah tuntas, Axel keluar dari toilet. Niatnya ingin langsung kembali ke ranjangnya, namun pandangannya terpaku pada sebuah tirai tebal yang memisahkan area tertentu di kamar itu. Aneh. Ia tidak ingat tirai itu ada sebelumnya. Sebuah bisikan aneh,
firasat kuat yang tak bisa ia jelaskan, mendorongnya untuk mendekat. Jantungnya mulai berdetak lebih cepat, denyutnya menggema di telinganya.
Dengan tangan gemetar, ia meraih ujung kain dan menariknya perlahan. Tirai itu bergeser, membuka pemandangan yang seketika membekukan darahnya.
Di balik tirai itu, di atas sebuah brankar, tergeletak sosok yang sangat ia kenal. Rara. Wajahnya pucat pasi, bibirnya sedikit membiru. Selang-selang transparan menjulur dari lengannya, terhubung pada kantung-kantung cairan yang menggantung. Kabel-kabel tipis melilit dadanya, tersambung ke monitor yang berkedip menampilkan grafik-grafik tak menentu. Sebuah masker oksigen menutupi sebagian besar wajahnya, dan suara napas yang tak teratur terdengar samar-samar dari balik alat itu.
Axel terperangah. Tubuhnya menegang, seolah semua darahnya berhenti mengalir. Ini... ini tidak mungkin. Pikiran itu berteriak dalam benaknya.
Axel bahkan tak menyadari keberadaan seorang perawat yang terlelap di kursi samping brankar, yang seharusnya menjaga Rara. Seluruh perhatiannya terpusat pada gadis itu. Kakinya bergerak seolah tanpa perintah, selangkah demi selangkah mendekati brankar Rara.
Saat ia tiba di sampingnya, tangan Axel gemetar meraih jemari Rara yang terasa dingin. Ia menggenggamnya erat, berharap kehangatan tangannya bisa menular.
"Sayang..." Suara Axel tercekat, nyaris tak terdengar, dibayangi kepanikan yang mendadak. Ia membungkuk, menempelkan dahinya ke lengan Rara. "Ada apa ini? Kenapa... kenapa begitu banyak alat terpasang di tubuhmu? Bicara padaku, Ra! Bangun!" Kepanikannya mulai merangkak naik, memenuhi rongga dadanya. Ia tidak mengerti. Seharusnya Rara baik-baik saja. Apa yang sebenarnya terjadi? Dunia seolah berputar, dan ia merasa akan jatuh.
Ia menatap wajah Rara, menelusuri setiap detail yang kini tampak begitu rapuh, tak berdaya. Pikirannya kalut, dipenuhi ribuan pertanyaan tanpa jawaban. Apa yang terjadi? Mengapa Rara terbaring tak bergerak di sini?
Gerakan Axel yang panik, mungkin lenguhan tertahan atau suara isak kecil, rupanya membangunkan perawat yang sempat terlelap itu. Maya, dengan mata mengerjap-ngerjap karena terkejut dari tidurnya, segera tersadar.
"Tuan...?" sapanya, suaranya masih serak dan sedikit bingung, mencoba fokus pada sosok Axel yang terlihat kacau.
Axel, tanpa membuang waktu, menoleh cepat ke arah Maya. Wajahnya pucat pasi, matanya memerah dan berekspresi ketakutan. "May, kenapa dengan Rara?" tanyanya, suaranya bergetar hebat, lebih seperti desakan putus asa daripada pertanyaan. Ia bahkan tak sadar tangannya mencengkeram lengan Maya dengan kuat. "Jelaskan padaku! Kenapa dia seperti ini?"
Maya menunduk, seolah tak sanggup menatap mata Axel yang penuh kepanikan itu. Bibirnya bergetar saat ia mencoba mengatur napas. "Nyonya... Nyonya..." ia tergagap, air mata mulai menggenang di pelupuk matanya, seolah berat sekali bagi dirinya untuk menyampaikan kabar ini. Ia menghela napas panjang, mengumpulkan keberanian. "Nyonya... Nyonya koma, Tuan."
Sejenak, dunia Axel terasa berhenti berputar. Kata 'koma' menghantam dadanya seperti palu godam, meremukkan seluruh organ dalamnya.
Sebuah nyeri tajam langsung menusuk jantungnya, menjalar ke seluruh pembuluh darah, membuat tubuhnya mendadak lemas dan dingin. Napasnya tercekat di kerongkongan, dan ia merasa paru-parunya mengempis, tak mampu lagi menghirup udara. Pandangannya mengabur, seluruh realitas di sekelilingnya hancur berkeping-keping.
"Koma?" bisiknya, suaranya nyaris tak terdengar, seolah ia mencoba menolak kenyataan pahit itu, berharap semua ini hanyalah mimpi buruk.
Rasa nyeri di dadanya membuat Axel hampir roboh, namun ia berhasil menahan diri. Panik menguasai, satu-satunya yang terlintas di benaknya adalah memanggil dokter.
"Panggil Dokter Mark! Sekarang!" teriak Axel, suaranya parau dan putus asa. Ia bahkan tak menyadari bagaimana ia mencengkeram bahu Maya, wajahnya menuntut jawaban, menatap tajam perawat itu.
Maya tersentak, terkejut dengan nada bicara Axel yang begitu keras dan mendesak. "Baik, Tuan!" ia bergegas keluar dari kamar, langkahnya tergesa-gesa, meninggalkan Axel sendirian dengan Rara.
Sementara itu, Axel kembali mencondongkan tubuhnya ke arah Rara. Ia meraih tangan gadis itu, mengusap pipi pucatnya dengan jemari gemetar. Dingin. "Sayang... bangun," bisiknya, suaranya kini dipenuhi kepedihan yang mendalam, "Maz ada di sini. Kumohon, bangunlah..." Ia berharap sekejap mata Rara akan terbuka, namun yang ada hanyalah keheningan yang semakin mencekik.
Tak lama, Maya kembali masuk dengan langkah lunglai, raut wajahnya terlihat menyesal dan tak enak hati. "Maaf, Tuan," keluh Maya, menunduk. "Dokter Mark sudah pulang."
Axel merasakan kepanikan yang lebih besar merayapi dirinya. Giginya bergemeletuk menahan amarah dan ketidakberdayaan. "Pulang?" desisnya, seolah tak percaya. "Lalu... apa yang harus kita lakukan?!" Matanya mencari solusi, menemukan satu-satunya jalan. Ia menoleh ke arah Maya. "Boleh aku pinjam ponselmu?" tanyanya, suaranya mendesak, tak memberi celah untuk penolakan.
Maya segera mengulurkan ponsel pintarnya ke arah Axel.
Tanpa membuang waktu sedetik pun, Axel segera menghubungi Rico. Pikirannya kalut, namun ia harus tetap tenang untuk menjelaskan semua ini. Sambungan tersambung, dan ia langsung menyambar, tak memberi Rico kesempatan untuk bicara.
"Ric, ke rumah sakit sekarang juga!" perintah Axel, suaranya rendah namun penuh urgensi dan kepanikan yang tertahan. "Ada hal penting yang harus kau tahu. Ini tentang Rara."
Di ujung telepon, Rico terdiam sesaat, merasakan aura tidak beres yang terpancar dari suara Axel. Perasaan tidak enak langsung menyergapnya, jantungnya berdegup lebih cepat, firasat buruk menghantam benaknya. "Iya, Tuan," jawab Rico, suaranya sedikit gemetar, "Saya langsung ke sana."
Begitu panggilan terputus, Rico langsung melompat dari sofa. Tanpa peduli jaketnya tertinggal atau sepatunya belum terikat sempurna, ia bergegas keluar dari apartemennya, menuruni tangga dengan langkah-langkah besar, otaknya dipenuhi tanda tanya dan kekhawatiran yang kian membesar pada nasib Rara.
semua anak buah good Banggt menurut ku kaya di film badabest Banggt 👍
lanjut Thor
Weh Weh obat perangsang dah ga laku lah let lagu lama itu