Mila, seorang gadis modern yang cerdas tapi tertutup, meninggal karena kecelakaan mobil. Namun, takdir membawanya ke zaman kuno di sebuah kerajaan bernama Cine. Ia terbangun dalam tubuh Selir Qianru, selir rendah yang tak dianggap di istana dan kerap ditindas Permaisuri serta para selir lain. Meski awalnya bingung dan takut, Mila perlahan berubah—ia memanfaatkan kecerdasannya, ilmu bela diri yang entah dari mana muncul, serta sikap blak-blakan dan unik khas wanita modern untuk mengubah nasibnya. Dari yang tak dianggap, ia menjadi sekutu penting Kaisar dalam membongkar korupsi, penghianatan, dan konspirasi dalam istana.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23 Bunga Meihua yang Berdarah
Rumor yang Menyebar di Istana karena kemenangan di Lembah Bayangan menyebar bagai angin musim semi, membelah kabut keputusasaan yang selama ini menyelimuti istana. Nama Qianru mulai dibicarakan para pelayan, selir, dan bahkan para pejabat tinggi istana.
“Katanya, dia seorang selir kelas rendah... tapi sekarang memimpin pasukan?” bisik salah satu selir di koridor dalam.
“Aku dengar ia pernah diusir oleh Permaisuri sendiri,” jawab yang lain. “Dan kini kembali membawa tawanan keluarga Gu…”
Namun di dalam istana utama, di balik tirai brokat merah dan harum bunga meihua, ada yang sangat marah.
“Dia berani mempermalukan keluargaku… dan masih hidup?” Permaisuri mencengkram gagang cangkir teh hingga pecah.
Di hadapannya, seorang perempuan muda bersujud gemetar—Lian Xi, mata-mata bayangan yang selama ini ditanam Permaisuri di kediaman Qianru.
“Bagaimana mungkin kau tidak tahu gerakan pasukannya?!” hardik Permaisuri.
Lian Xi gemetar. “Ampun, Baginda... Nona Qianru terlalu cerdas... Ia tak pernah berbicara langsung, semua lewat isyarat dan sandi...”
Permaisuri bangkit, menyibakkan jubah ungunya dengan marah. “Kalau begitu... aku harus membuatnya tak berkutik dari sisi lain.”
Dia berjalan ke lukisan Kaisar yang tergantung di dinding, lalu tersenyum licik.
Sore itu, Kaisar Liu Qingxuan duduk di taman istana bagian dalam, tempat bunga meihua mulai mekar meski belum waktunya. Ia memerintahkan agar Qianru dihadapkan secara pribadi, bukan sebagai selir… tapi sebagai pahlawan.
Qianru masuk mengenakan jubah biru sederhana, rambutnya dikepang tanpa hiasan mencolok. Wajahnya tetap teduh, meski luka-luka masih menghiasi pipinya.
“Qianru,” Kaisar memanggil dengan suara lembut. “Duduklah di sampingku.”
Itu adalah pertama kalinya seorang selir duduk sejajar dengan Kaisar di taman kerajaan. Para kasim ternganga. Para dayang nyaris tak percaya. Tapi Qianru hanya menunduk sopan.
“Yang Mulia,” ujarnya. “Saya tak pantas duduk di sini sebagai selir. Tapi sebagai rakyat yang membela keadilan, saya akan bicara.”
Kaisar menatapnya dalam-dalam. “Kau telah menyelamatkan banyak nyawa, Qianru. Jangan terus merendahkan dirimu.”
Sesaat mata mereka bertemu. Ada getaran halus yang mengisi udara di antara dedaunan meihua.
Malam harinya, Permaisuri mengadakan jamuan kecil dan ‘mengundang’ Qianru. Meja besar disiapkan, makanan mewah dihidangkan, dan semua selir utama hadir.
“Ah, Qianru, selir yang kini lebih sibuk bermain perang daripada mempercantik diri,” sindir Permaisuri manis.
Qianru tersenyum. “Saya memang tak cantik, Baginda. Tapi kadang kebenaran lebih menarik dari wajah yang sempurna.”
Para selir menahan napas. Tak ada yang pernah membantah Permaisuri di depan umum, apalagi dengan gaya bicara blak-blakan seperti itu.
Permaisuri tersenyum hambar. “Kau bicara seperti tak tahu tempatmu.”
“Saya tahu tempat saya,” Qianru menjawab datar. “Dulu saya hanya bayangan. Kini saya cahaya bagi yang tertindas. Tempat saya adalah di sisi mereka.”
Permaisuri nyaris melempar cangkir. Tapi suara Kaisar terdengar dari belakang.
“Qianru memang sudah punya tempatnya sendiri. Dan mulai sekarang… tempat itu lebih tinggi dari yang kau kira.”
Semua berdiri. Kaisar muncul dan menatap Permaisuri tajam.
“Mulai malam ini, Qianru akan memimpin bagian intel kerajaan. Siapapun yang menyentuhnya… akan berhadapan langsung denganku.”
Setelah perjamuan itu, Kaisar memanggil Qianru lagi. Mereka berbicara di aula pribadi. Suasana berubah tenang, hanya suara angin malam yang menemani.
“Qianru,” ucap Kaisar pelan. “Kau membuatku terpesona. Bukan karena wajahmu… tapi karena keberanianmu.”
Qianru terdiam.
“Aku ingin melindungimu. Bukan sebagai kaisar… tapi sebagai pria,” lanjutnya.
Qianru tersenyum miris. “Dan aku hanya bisa mencintai rakyatku, Yang Mulia. Hati saya belum sembuh dari luka pengkhianatan... dan saya belum pantas berdiri di sisi Anda sebagai wanita.”
Kaisar menunduk. “Kalau begitu… tunggulah aku sampai kau siap. Aku tak akan memaksa, tapi aku akan tetap berdiri di belakangmu.”
Bunga meihua bermekaran sebelum waktunya. Tapi seperti Qianru, bunga itu tumbuh dari luka, dari darah, dan dari penderitaan. Dan seperti meihua, Qianru tetap berdiri tegak, meski badai baru akan datang dari balik tembok istana.
Malam merambat pelan di atas langit Kota Kekaisaran. Sementara para penghuni istana terlelap, lorong-lorong tersembunyi justru dipenuhi pergerakan senyap. Di balik pintu kamar peristirahatan Permaisuri Ying, sekelompok pria berbaju hitam duduk melingkar. Wajah mereka tertutup kain, hanya mata mereka yang tampak menyala dalam kegelapan.
“Sesuai rencana, kudeta akan dimulai saat upacara musim semi,” bisik salah satunya. “Pasukan Gu yang tersisa sudah menyusup ke dalam kota melalui gerbang barat.”
Permaisuri Ying, menyalakan lentera kecil di hadapannya. “Istana akan sibuk dengan persiapan. Dan Kaisar akan lengah… Terutama karena pikirannya terlalu sibuk dengan wanita bernama Qianru itu.”
Dia mencengkeram kipas putihnya dengan kuat. “Saat dia sibuk memuji pahlawannya, tahta akan direbut tepat di bawah hidungnya.”
Di sisi lain, Qianru tidak diam. Sejak diangkat memimpin intel kerajaan, ia membentuk jaringan kecil yang terdiri dari orang-orang buangan dan pelayan yang tak dianggap—orang-orang seperti dirinya dulu. Mereka menyebut diri mereka “Sayap Tak Terlihat”.
Di ruang bawah tanah, peta istana digelar lebar. Qianru menunjuk salah satu titik di dekat aula perjamuan.
“Aku mendapat laporan bahwa Permaisuri akan mengadakan pesta kecil dalam tiga hari. Dan menurut sandi yang dikirim Jiu’er… malam itu akan ada gerakan mencurigakan.”
Seorang pemuda bertubuh kurus mengangguk. “Kami bisa menyusup dari dapur utama, Nona. Kami sudah hafal pergantian penjaga.”
Qianru menatap mata mereka satu per satu. “Jika kalian tertangkap… tak ada yang bisa kulakukan. Tapi jika kita berhasil—kalian akan menyelamatkan tak hanya istana, tapi seluruh kerajaan.”
Kaisar Liu memerintahkan seluruh istana bersiap menyambut Upacara Musim Semi—tradisi yang menandai perubahan musim sekaligus momen untuk memberi berkah bagi rakyat. Di tengah hiruk-pikuk itu, banyak hal luput dari perhatian. Termasuk pergeseran pasukan kecil ke arah ruang persembunyian bawah tanah.
Zhen Gong, yang mencium aroma keganjilan, menemui Qianru secara diam-diam.
“Selir Qianru,” katanya berbisik, “Para pelayan di kamar Permaisuri diganti semua minggu ini. Dan saya melihat beberapa di antara mereka memiliki bekas luka prajurit.”
Qianru menatapnya serius. “Kita tak punya banyak waktu. Mereka akan menyerang malam upacara.”
Sore sebelum upacara, Qianru duduk di balkon kediamannya. Angin musim semi meniup lembut rambutnya. Di tangannya, selembar surat dari desa asal Mila—dunia sebelumnya—yang tak mungkin bisa dikirim, tapi selalu ia tulis sebagai cara menyambung harapan.
“Ternyata menjadi pahlawan... bukan hanya soal pedang,” gumamnya. “Tapi juga tentang memilih kapan harus menyakiti… dan kapan harus melindungi.”
Rui Lan datang membawa kabar dari Zhen Gong. “Mereka sudah di dalam istana, Nona. Malam ini akan ada gerakan.”
Qianru berdiri. “Kalau begitu... saatnya membuka tabir kudeta ini.”
Malam itu, di saat Kaisar tengah duduk di singgasana aula luar menyambut tamu kehormatan dari kerajaan tetangga, ledakan kecil mengguncang dapur utama. Api menyambar dinding kayu tua. Penjaga terpencar, pasukan istana mulai bergerak… tapi terlambat.
Dari arah barat, puluhan prajurit bersenjata menyamar sebagai pelayan menyerbu ke arah ruang pribadi Kaisar. Di saat bersamaan, Permaisuri Ying sudah berdiri di balik layar emas istana dalam, mengenakan baju perang merah darah.
“Rebut tahta sekarang!” serunya lantang.
Namun belum sempat mereka bergerak lebih jauh, suara peluit panjang terdengar. Dari balik bayangan pilar-pilar batu, “Sayap Tak Terlihat” keluar bersama pasukan Kaisar.
Qianru memimpin sendiri di garis depan. “Berani menyentuh tahta? Maka kalian akan bertemu neraka di istana ini!” serunya sambil mencabut belati.
Pertempuran sengit pecah di aula dalam. Gu Yong’an, yang selama ini bersembunyi di sisi barat istana, juga muncul bersama pengikutnya. Kaisar ikut bertarung, melindungi dirinya dengan pedang leluhur
Di tengah medan, Qianru berhadapan langsung dengan Gu Yong’an dan Permaisuri Ying. Luka lama mereka terbuka kembali.
“Masih hidup kau, perempuan rendah?” desis Gu.
Qianru menjawab dingin, “Aku hidup karena kalian tak cukup pintar membunuhku.”
Permaisuri menebaskan kipas logamnya, mencoba mengenai Qianru, tapi ditangkis. Mereka bertiga bertarung dalam lingkaran api dan suara gemerincing senjata. Hingga akhirnya, dengan tusukan cepat, Qianru berhasil melukai pundak Permaisuri, sementara Gu Yong’an dipukul mundur oleh Jenderal Mo.
Pasukan pemberontak akhirnya dikalahkan. Permaisuri ditangkap. Gu Yong’an terluka parah dan dibawa ke penjara istana. Kudeta gagal total. Namun luka di dalam istana belum sepenuhnya sembuh.
Qianru kembali ke kediamannya malam itu, membawa darah dan kemenangan.
Namun ia tahu, yang lebih berat dari pertempuran pedang… adalah pertempuran perasaan.
Bersambung