"mas belikan hp buat amira mas dia butuh mas buat belajar" pinta Anita yang ntah sudah berapa kali dia meminta
"tidak ada Nita, udah pake hp kamu aja sih" jawab Arman sambil membuka sepatunya
"hp ku kamarenya rusak, jadi dia ga bisa ikut zoom meating mas" sanggah Nita kesal sekali dia
"udah ah mas capek, baru pulang kerja udah di sodorin banyak permintaan" jawab Arman sambil melangkahkan kaki ke dalam rumah
"om Arman makasih ya hp nya bagus" ucap Salma keponakan Arman
hati Anita tersa tersayat sayat sembilu bagaimana mungkin Arman bisa membelikan Salma hp anak yang usia baru 10 tahun dan kedudukannya adalah keponakan dia, sedangkan Amira anaknya sendiri tidak ia belikan
"mas!!!" pekik Anita meminta penjelasan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SOPYAN KAMALGrab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BARU TAHU PUSINGNYA JADI IRT
Laksmi duduk di ruang tamu dengan wajah berbinar-binar, jemarinya memainkan setumpuk uang yang baru saja diberikan Arman pagi tadi. Senyuman puas menghiasi wajahnya, seolah dunia ini hanya miliknya. Gaji sebulan Arman kini berada di tangannya, dan itu berarti satu hal—saatnya ia memanjakan diri.
Tanpa pikir panjang, ia segera bersiap pergi ke pasar.
Di pasar, Laksmi dengan semangat membeli segala yang menarik perhatiannya. Ia membeli baju baru dengan warna mencolok, setumpuk make-up mahal, dan makanan lezat untuk dirinya sendiri. Matanya berbinar ketika melihat cincin emas di sebuah toko perhiasan. Tanpa ragu, ia membelinya.
Gaji sebulan Arman menguap dalam sehari.
Namun, ia tidak peduli.
Saat pulang ke rumah, Laksmi masih tenggelam dalam euforia belanja. Ia membuka bungkusan barang-barang barunya dengan penuh semangat, mencobanya satu per satu, menikmati sensasi memiliki sesuatu yang baru.
Tapi kegembiraannya tidak bertahan lama.
Saat perutnya mulai keroncongan, ia berjalan ke dapur dengan harapan ada makanan yang telah disiapkan oleh Anita. Namun, yang ia temukan hanyalah panci kosong dan meja makan yang bersih tanpa hidangan apa pun.
Wajahnya seketika mengeras.
"Anita!" panggilnya dengan suara tinggi.
Anita, yang sedang mencuci pakaian di belakang, datang dengan tenang.
Laksmi melipat tangan di dada. "Kenapa tidak ada makanan?"
Anita menatapnya dengan datar. "Gaji Mas Arman kan dipegang Ibu sekarang."
Kata-kata itu menghantam kesadaran Laksmi. Ia melirik dompetnya yang kini hanya berisi sisa uang lima puluh ribu rupiah. Wajahnya langsung berubah.
Uang yang ia hamburkan seharian tadi kini terasa seperti mimpi buruk. Ia tidak pernah menyadari betapa besar biaya hidup di rumah ini karena selama ini Anita yang mengurus segalanya.
Laksmi menghela napas, lalu dengan berat hati merogoh dompetnya dan mengeluarkan selembar uang sepuluh ribu rupiah.
"Pergi beli lauk," katanya, menyerah.
Anita menerimanya tanpa protes, lalu segera pergi ke warung.
Baru saja Anita keluar rumah, Dewi muncul dari kamarnya dengan wajah cemberut. "Bu, ada makanan nggak? Aku lapar."
Laksmi mendesah panjang. "Nggak ada. Uang belanja habis."
Dewi melotot. "Habis? Kok bisa?"
"Ya bisa lah! Kamu pikir makanan itu datang sendiri? Uang suamimu juga jarang kamu terima! Kamu kira aku ini mesin uang?!" bentak Laksmi kesal.
Dewi terdiam. Biasanya, setiap hari makanan selalu tersedia. Ia tidak pernah perlu memikirkan dari mana uangnya berasal, karena selalu ada Anita yang memastikan rumah ini tetap berjalan.
Sekarang, semua terasa berbeda.
Dewi melirik ke arah Anita yang baru saja pulang dari warung, membawa sebungkus plastik kecil berisi sepotong paha ayam.
Laksmi menatap tajam. "Kenapa cuma sepotong paha ayam?"
Anita mengeluarkan struk belanja dan menyerahkannya. "Satu potong paha ayam harganya sembilan ribu. Ini kembaliannya seribu."
Laksmi menggerutu. "Mahal amat!"
Sementara itu, Dewi melirik ke plastik belanja Anita. Ia tidak terima hanya ibunya yang mendapatkan makanan, sementara ia harus menahan lapar.
Ia mendekati ibunya dan berkata manja, "Bu, kasih aku uang. Aku juga mau beli makanan."
Laksmi menatap dompetnya yang semakin tipis. "Habis! Kamu pikir ini pasar? Kenapa nggak minta uang ke suamimu?!"
Dewi merajuk. "Biasanya tiap hari makanan selalu ada! Kenapa sekarang nggak ada?"
Ia kembali melirik ke arah Anita, berharap wanita itu akan mengeluarkan uang seperti biasanya.
Namun kali ini, Anita tidak bergeming.
"Uang Mas Arman ada di Ibu," katanya dengan nada datar.
Dewi tertegun.
Biasanya, ia bisa meminta uang pada Anita tanpa masalah. Tapi kali ini, Anita punya alasan kuat untuk tidak memberikannya.
Dewi mendecak kesal, tapi tidak bisa berkata apa-apa lagi.
Untuk pertama kalinya, ia harus menahan lapar.
Saat suasana di ruang tamu semakin tegang, tiba-tiba terdengar suara langkah kaki cepat dari luar.
Lestari, anak bungsu Laksmi, pulang dengan wajah cerah. Namun, begitu melihat wajah ibunya yang muram, ia langsung curiga.
"Bu, aku butuh uang buat bayar kuliah," katanya tanpa basa-basi.
Laksmi tersentak.
Uang kuliah?
Ia tidak pernah benar-benar memikirkan pengeluaran keluarga ini.
Selama ini, semua yang berhubungan dengan keuangan selalu ditangani oleh Anita. Dari kebutuhan dapur, tagihan listrik, uang sekolah, hingga kebutuhan kecil lainnya.
Sekarang, ketika semua tanggung jawab itu jatuh ke tangannya, ia merasa pusing.
Laksmi menatap wajah Lestari yang penuh harap, lalu menoleh ke dompetnya yang hanya berisi empat lembar uang sepuluh ribuan.
Dadanya semakin sesak.
"Bu, gimana? Aku harus bayar minggu ini," desak Lestari.
Laksmi menghela napas panjang.
Baru sehari ia memegang kendali keuangan rumah ini, dan ia sudah merasa kelelahan.
Selama ini, ia selalu melihat Anita sebagai perempuan bodoh yang hanya tahu bekerja dan melayani.
Tapi sekarang, ia mulai menyadari sesuatu.
Mengurus rumah tangga bukan hanya tentang belanja dan makan enak.
Ada banyak hal yang harus dipikirkan.
Dan kini, ia terjebak dalam kebodohannya sendiri.
---l
"Bu, uangnya mana?"
Lestari berdiri di ruang tamu dengan tangan terlipat di dada. Matanya menatap ibunya, Laksmi, yang duduk di kursi kayu dengan wajah kusut.
"Nanti dulu! Uang dari mana? Kamu pikir gampang cari uang?!" bentak Laksmi dengan kesal.
Lestari mendesah panjang. "Bu, aku harus bayar minggu ini. Kalau enggak, aku bisa kena denda."
Laksmi mengusap wajahnya dengan kasar. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Baru sehari ia memegang uang gaji Arman, dan sekarang uang itu nyaris habis. Pikirannya kalut. Ia memang senang saat menerima gaji itu tadi pagi—merasa seperti ratu yang memegang kendali penuh. Tapi siapa sangka uang sebanyak itu bisa lenyap dalam sehari?
Ia membeli baju, make-up, makanan, bahkan cincin emas. Dan sekarang, yang tersisa di dompetnya hanya empat lembar sepuluh ribuan.
"Uang dari mana?!" ulang Laksmi, suaranya mulai meninggi.
Lestari melirik ke arah Anita, seolah mencari jawaban lain.
Namun sebelum ia sempat bertanya, Anita sudah lebih dulu berbicara dengan nada datar. "Uang Mas Arman ada di Ibu."
Jawaban itu sederhana, tetapi mengandung arti yang dalam.
Lestari terdiam. Biasanya, kalau ia butuh uang, Anita pasti akan mengusahakan—entah itu dengan menyisihkan uang belanja atau mencari cara lain agar semua kebutuhan terpenuhi.
Tapi kali ini berbeda.
Anita tidak lagi memegang uang.
Lestari mengepalkan tangannya. "Bu, aku enggak bisa nunggu lebih lama."
Laksmi menghela napas. "Iya, iya. Besok Ibu bayar," jawabnya asal.
"Beneran?" Lestari menatap ibunya tajam.
"Iya! Sudah, jangan cerewet!" bentak Laksmi.
Lestari mendengus kesal, lalu berbalik dan masuk ke kamarnya. Suara pintu yang dibanting terdengar nyaring di seluruh rumah.
Ruangan itu kembali sunyi.
Hanya ada Laksmi dan Anita yang masih berdiri di sana.
Anita mengamati punggung Lestari yang menghilang di balik pintu, lalu diam-diam mengernyit.
Ada sesuatu yang janggal.
Baru kemarin, ia mendengar Lestari berkata bahwa ia sedang cuti kuliah.
Tapi hari ini, ia datang meminta uang untuk bayar kuliah.
Sebenarnya, Anita bisa saja bertanya langsung.
Tapi untuk apa?
Sekarang, ia tidak lagi peduli.
Dulu, ia mungkin akan berusaha mencari tahu, mencari cara agar semua tetap berjalan lancar, dan memastikan bahwa tidak ada kebohongan yang bersembunyi di rumah ini.
Tapi kini, semua itu bukan urusannya lagi.
Anita hanya menghela napas, lalu kembali ke dapur untuk menyelesaikan pekerjaannya.
Sementara itu, Laksmi masih duduk dengan wajah tertekan.
Ia tahu bahwa besok Lestari pasti akan menagih uang itu lagi.
Dan ia belum tahu bagaimana caranya bisa mendapatkannya.