Flower Florencia hidup dalam tekanan—dari keluarganya yang selalu menuntut kesempurnaan hingga lingkungan universitas yang membuatnya merasa terasing. Di ambang keputusasaan, ia memilih mengakhiri hidupnya, namun takdir berkata lain.
Kim Anderson, seorang dokter tampan dan kaya, menjadi penyelamatnya. Ia bukan hanya menyelamatkan nyawa Flower, tetapi juga perlahan menjadi tempat perlindungannya. Di saat semua orang mengabaikannya, Kim selalu ada—menghibur, mendukung, dan membantunya bangkit dari keterpurukan.
Namun, semakin Flower bergantung padanya, semakin jelas bahwa Kim menyimpan sesuatu. Ada alasan di balik perhatiannya yang begitu besar, sesuatu yang ia sembunyikan rapat-rapat. Apakah itu sekadar belas kasih, atau ada rahasia masa lalu yang mengikat mereka berdua?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon linda huang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8
"Flower Florencia, jaga mulutmu!" ketus Alan, suaranya bergema di seluruh ruangan.
Flower tidak bergeming. Ia membalas tatapan tajam Alan dengan sorot mata yang tak kalah tajam, bahkan sedikit mengejek.
"Aku akui aku sangat kurang ajar, tapi bukan keinginanku. Hanya untuk bela diri," ucapnya, suaranya terdengar lantang dan penuh penekanan. "Cici adalah kakak kelasku. Dia dihina oleh temannya sendiri dan aku jadi pembelanya. Kenapa kalian menyalahkanku? Seharusnya kalian berterima kasih dan menyalahkan mereka. Cici sangat lemah sehingga tidak bisa melawan, oleh sebab itu dia terluka. Kalau bukan aku, apa yang akan terjadi padanya?"
Seorang polisi yang hadir di sana menatap Cici dengan serius. Matanya tajam, berusaha membaca kebenaran dari ekspresi gadis itu.
"Apakah seperti yang dikatakan Nona Flower, kalau mereka menindasmu?" tanya polisi dengan suara tegas.
"Aku... ," jawabnya dengan suara nyaris tak terdengar.
Sebelum Cici bisa melanjutkan, Flower kembali berbicara, suaranya terdengar tajam, penuh sindiran yang disengaja.
"Cici, jangan membela mereka lagi," katanya dengan nada tegas. "Aku tahu kau seorang yang baik hati, sehingga mudah dibully. Walau dulu aku sering menjadi korbanmu, tapi aku tetap tahu diri. Aku hanya anak terlantar dan tentu tidak ingin nasibmu sepertiku. Aku tidak ada yang membela, jadi harus bisa bertindak keras kepada mereka. Sedangkan kamu memiliki sekeluarga yang begitu mencintaimu. Jangan berbohong lagi, katakan saja sejujurnya. Biar mereka semua membuat keputusan untukmu. Agar mereka bertiga bisa jera."
Kalimat terakhirnya jelas ditujukan kepada keluarga yang ada di ruangan itu. Sindiran tajamnya membuat suasana semakin berat.
Mansion Keluarga Florencia – Ruang Keluarga
Setelah kejadian itu, malam harinya, semua anggota keluarga kembali berkumpul di ruang keluarga. Aura ketegangan masih terasa kental. Flower berdiri tegak di tengah ruangan, menghadapi tatapan penuh tuduhan dari keluarganya. Cici, yang sejak tadi berpura-pura trauma, tetap duduk di samping ibunya, menikmati perlindungan yang diberikan kepadanya.
Alan yang tidak bisa menahan diri lagi, berdiri dan menatap Flower dengan tajam.
"Flower, apa lagi yang kau rencanakan?" tanyanya dengan nada penuh kecurigaan.
Flower mendengus pelan, lalu menjawab dengan tenang. "Tidak ada! Aku diserang mereka, dan aku balas. Pada akhirnya, seperti yang kalian lihat, Cici adalah korban dan aku maju sebagai pembela."
Wilson, yang sejak tadi memperhatikan dengan ekspresi penuh ketidakpercayaan, akhirnya ikut berbicara.
"Kau membela Cici? Mana mungkin orang sepertimu sudi membelanya," ujarnya dengan sinis.
Flower menyilangkan tangan di dadanya, tatapannya tetap penuh keberanian. "Aku tidak sudi. Andaikan kalau bisa, aku tidak akan ikut campur. Tapi aku harus bagaimana? Apakah ada pilihan? Dia dibully, aku yang disalahkan. Dia membullyku, aku juga yang disalahkan," jawabnya dengan nada penuh sindiran.
Yohanes, yang sejak tadi diam, akhirnya membuka suara. Suaranya berat dan penuh tekanan.
"Siapa yang mengajarimu untuk mengatakan kalau aku dan ibumu sudah meninggal?" tanyanya dengan tatapan tajam.
Flower tersenyum sinis, matanya berbinar penuh amarah yang terpendam. "Semua orang ingin tahu siapa orang tuaku. Papa dan Mama juga tidak akan mengakuiku sebagai anak di depan semua orang. Jadi aku hanya bisa mengakui diri sebagai yatim piatu. Demi menjaga nama baik keluarga dan reputasi kakak pertama dan kedua," jawabnya, setiap kata yang keluar dari mulutnya penuh dengan sarkasme yang tajam.
Zoanna, yang tidak tahan lagi, menghela napas panjang lalu berkata dengan tegas. "Jangan mencari alasan untuk membela diri, Flower. Aku tidak menyangka kau bisa berpikir seperti itu. Besok mulai berhenti, jangan lanjutkan pelajaranmu lagi."
Flower menatap Zoanna dengan tatapan penuh ketidakpedulian. "Aku sedang mencari kerja untuk biayaku. Jadi jangan mengatur hidupku selagi tidak menyusahkan kalian," jawabnya dengan santai sebelum berbalik hendak pergi.
Namun, Yohanes tidak membiarkannya pergi begitu saja. "Berhenti! Kami belum selesai, kau pergi begitu saja. Sejak kapan kau berubah menjadi begini, selalu saja melawan dan bicara sembarangan!" ketusnya dengan nada penuh kemarahan.
Flower berbalik, menatap Yohanes dengan sorot mata penuh luka yang dalam. Suaranya terdengar dingin, seakan berasal dari hati yang telah lama mati.
"Aku sudah pernah mati sekali. Dibully, dihina, dituduh, bahkan hingga ditampar. Apakah aku harus diam saat menghadapi keluarga seperti ini? Semua ini karena siapa? Kalian semua. Apa yang aku pikirkan, apa yang aku inginkan, bagaimana perasaanku—apakah kalian peduli dan pernah bertanya? Aku hidup kembali dan ingin mengubah diriku sendiri. Jangan mengusik hidupku lagi. Awasi saja putri kesayangan kalian. Tidak perlu susah payah mengaturku. Lagi pula, aku hanya orang luar di mata kalian."
Setelah mengatakan itu, Flower membalikkan tubuhnya dan berjalan menuju kamarnya tanpa menoleh lagi.
Yohanes menghela napas berat, lalu menggelengkan kepalanya. "Anak ini benar-benar…," ucapnya dengan frustrasi.
Wilson yang masih terkejut dengan perubahan Flower, akhirnya berkata dengan suara rendah. "Pa, kenapa Flower berubah? Tidak seperti dulu lagi. Dulu dia lebih diam dan tidak melawan. Tapi setelah sadar dari koma, dia seperti orang lain saja. Aku hampir tidak percaya kalau dia bisa berkelahi."
Alan menghela napas panjang sebelum melangkah menyusul adiknya. Raut wajahnya tegang, hatinya dipenuhi keraguan. Sejak Flower sadar dari koma, gadis itu benar-benar berubah. Bukan hanya sikapnya yang lebih keras, tetapi juga cara bicaranya yang tajam, penuh dengan kemarahan yang selama ini terpendam.
Saat Flower hendak masuk ke kamarnya, Alan buru-buru menghalanginya.
"Flower!" serunya.
Flower berhenti dan menoleh ke arahnya, tetapi ekspresinya tetap datar. Tidak ada rasa terkejut atau ketakutan, hanya sorot mata yang seakan berkata bahwa ia sudah siap menghadapi siapa pun yang mencoba mengusiknya.
"Katakan padaku, apa yang sebenarnya kamu rencanakan?" tanya Alan, suaranya dalam dan penuh tekanan.
Flower menatapnya tanpa ekspresi. "Dan apa yang membuatmu berpikir aku merencanakan sesuatu?"
Alan mengamati adiknya dengan tajam. "Kau banyak berubah," ucapnya lirih.
Flower tertawa kecil, tetapi tidak ada kehangatan dalam tawa itu. "Apa pun sikapku, tidak ada yang percaya padaku. Lalu, aku harus bersikap seperti apa? Dulu aku pendiam, tapi aku tetap disalahkan ketika adik kesayanganmu melakukan kesalahan. Aku dipaksa mengaku dan ditampar. Inikah yang kalian inginkan? Apakah aku dilahirkan hanya untuk ditindas oleh kalian?" Suaranya bergetar, bukan karena lemah, tetapi karena menahan emosi yang sudah lama mengendap di dalam hatinya.
"Aku tahu kau membenci kami. Tapi Flower, kau harus ingat, setiap kata dan perbuatanmu mencerminkan dirimu," kata Alan, mencoba mengembalikan kendali dalam percakapan.
Flower menyeringai. "Bagaimana dengan sikap dan ucapan kalian padaku? Bukankah itu juga mencerminkan diri kalian?" Ia menatap Alan tajam, seakan menantangnya untuk menyangkal. "Kakak, aku tidak peduli lagi bagaimana tanggapan kalian padaku. Aku tidak butuh perhatian dan kasih sayang, karena sejak kecil aku sudah hidup sendirian. Sejak Cici datang ke rumah ini, aku telah diabaikan."
Alan ingin membantah, tetapi ia tidak bisa.
"Coba pikir ulang, di mana sebenarnya letak kesalahanku?" lanjut Flower. "Aku tahu, Kakak berbeda jauh dengan Kakak Kedua. Gunakan logikamu untuk berpikir. Selama ini Cici mengatakan aku menamparnya dan mendorongnya, tetapi apakah dia pernah menunjukkan bukti?"
Alan terdiam semakin lama. Ia mencoba mengingat, tetapi memang tidak ada bukti. Semua hanya berdasarkan kata-kata Cici.
Flower mendesah panjang, lalu berbalik ke arah pintu kamarnya. "Tidak ada lagi yang harus dibahas. Aku mengantuk." Tanpa ragu, ia menutup pintu dengan keras. Brak!
Alan tetap berdiri di tempatnya, menatap pintu kayu yang kini menjadi penghalang antara mereka. Di dalam dadanya, perasaan tidak nyaman mulai menguasai. Apa yang dikatakan Flower memang ada benarnya. Cici tidak pernah menunjukkan bukti. Tapi, untuk apa dia berbohong dan menuduh Flower?
Untuk pertama kalinya, Alan merasa ragu terhadap sesuatu yang selama ini ia yakini. apakah Alan akan menyelidikinya?
🧡🧡🧡🧡
Hai, kakak, jangan lupa mampir beri dukungan karya terbaru author, ya. Kisah Hakim dan mantannya yang menjadi narapidana.
terimakasih untuk kejujuran muu 😍😍😍 ..
sally mending mundur saja.. percuma kan memaksakan kehendak...
kim gak mau jadi jangan di paksa
ka Lin bikin penasaran aja ihhh 😒😒😒
penasaran satu hall apakah Flower akan pergi dari Kim atau bertahan sama kim 🤨