menceritakan tentang kisah dyah suhita, yang ketika neneknya meninggal tidak ada satupun warga yang mau membantu memakamkannya.
hingga akhirnya dyah rela memakamkan jasad neneknya itu sendirian, menggendong, mengkafani, hingga menguburkan neneknya dyah melakukan itu semua seorang diri.
tidak lama setelah kematian neneknya dyah yaitu nenek saroh, kematian satu persatu warga desa dengan teror nenek minta gendong pun terjadi!
semua warga menuduh dyah pelakunya, namun dyah sendiri tidak pernah mengakui perbuatannya.
"sudah berapa kali aku bilang, bukan aku yang membunuh mereka!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Abdul Rizqi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
menghakimi dyah
"Aa... anu... anu sih aceng! Sih aceng! Coba kalian lihat sendiri!" Ucap tejo yang sama sekali tak bisa menjelaskan apa-apa.
Warga saling tatap mendengar apa yang di katakan oleh tejo. Mereka berbondong-bondong mengikuti langkah tejo yang tergesa-gesa menuju rumah aceng.
Sepanjang perjalanan mereka saling bisik satu sama lain. Membicarakan apa yang ingin tejo beritahu.
Setibanya di depan rumah aceng, mereka semua tidak sabar untuk masuk ke dalam sana.
"Kk... kalian... masuk saja duluan!" Ucap tejo dengan kaki dan tangan yang masih gemetaran.
Warga justru saling tatap mendengar suara tejo yang seolah sedang ketakutan.
Karena sudah tidak sabar, akhirnya warga memutuskan untuk masuk bersama-sama.
Rumah berukuran 6 kali 7 meter seketika penuh dengan suara teriakan orang yang terkejut melihat kondisi aceng yang bersimbah darah. Leher tergorok dengan mata melotot tajam.
"Apa yang sudah terjadi pada aceng? Siapa yang melakukan ini kepadanya?" Tanya salah satu warga, namun tidak ada satupun warga yang bisa menjawab.
"Entahlah, saat subuh tadi, saya datangi rumah aceng. Rencananya mau menemui uwak yanto untuk mengatakan bahwa kami tidak sampai lewat tengah malam merondanya. Tetapi pas saya buka, pintu utama tidak di kunci. Makanya saya langsung masuk kamar, dan menemukan aceng dalam kondisi seperti ini!" Jelas tejo dengan tangan yang masih bergerak-gerak menggigil.
Warga semakin di buat panik, kala melihat tulisan dari cairan kental berwarna merah pekat di kaca kamar dekat aceng terkapar.
"Desa terkutuk!" Begitulah tulisan yang ada di kaca.
Tidak berselang lama, yanto dan beberapa rekannya datang. Dia berteriak agar di beri jalan, untuk masuk ke dalam rumah aceng.
Matanya langsung membulat kala melihat kondisi tubuh aceng yang teramat mengerikan.
Dalam keadaan telanjang bulat dan luka sayatan di leher yang cukup lebar. Hingga membuat kerongkongannya terlihat jelas.
Kasur yang menjadi tempat tidur aceng, sudah berubah warna semua menjadi merah semua.
Mata yanto menatap ke arah tulisan yang ada di kaca atas ranjang aceng. Bertulis jelas ancaman yang akan menjadi momok bagi desa ini.
"Sudah jelas pelakunya, ini pasti dyah yang melakukannya!" Serunya yang membuat semua warga terkejut sampai-sampai membekap mulut, dan ada juga yang memegangi dada mereka. Ketakutan melumpuhkan persendian otot yang mereka miliki.
"Bagaimana ini? Kalau benar pelakunya adalah dyah? Dia pasti dendam terhadap kita karena tidak membantu memakamkan neneknya." Ucap salah satu warga.
"Ini bukan salah kita, ini salah dia sendiri. Masih saja melindungi dan merawat orang yang jelas mengabdi pada setan!" Seru yanto yang membuat semua orang manggut-manggut.
"Tunggu apa lagi? Kita datangi saja dia!" Ucap yanto yang langsung mendapat sorakan dari para warga.
Sebagian lagi dari mereka bertugas untuk mengurus jasad aceng. Sedangkan yang lain ikut membawa batu kerikil untuk mendatangi rumah dyah.
Pagi yang penuh dengan kabut, serta awan hitam yang mengelilingi desa itu. Menjadi sebuah pertanda amarah yang tak terhingga.
Gerimis rintik rintik yang jatuh ke desa itu, menjadi perwujudan tangis dari seorang wanita yang harus menanggung hidup sebatang kara di dunia ini.
"Hiks... hiks... hiks..."
Tangsinya terus saja terdengar di segala penjuru ruangan rumahnya yang hanya sepetak.
Di pandanginya kuburan neneknya yang hanya berada di belakang rumahnya. Hatinya sangat teriris mengingat dirinya saat ini sudah berpisah alam dengan neneknya.
"Nek, kenapa nenek meninggalkan dyah sendirian? Dyah tidak tahu, harus apa sekarang ini.." lirih dyah di iringi dengan isakan tangis.
Tidak banyak orang yang bisa sekuat dyah saat ini.
Bruaaak!
Tarr!
Batu yang di lemparkan warga, bersamaan dengan kerikil yang di lempar dari arah luar sana, mengenai bagian depan rumah dyah.
Rumah yang hanya berdinding bambu anyam yang sudah mulai keropos itu, tentu tidak akan mampu melawan hantaman batu yang di lemparkan warga.
Dyah terkejut, dyah langsung mengusap air matanya, dan bangkit dari duduk panjangnya.
"Aaaaarrrgghh!!! Apa-apaan ini?" Teriak dyah yang melihat kondisi rumahnya berantakan. Bahkan dindingnya jebol di beberapa bagian.
Dengan bermodal keberanian dyah menerobos banyaknya batu dan kerikil yang melayang kesana kemari.
"HEEEEII, HENTIKAN..!!!" Teriak dyah kembali hingga membuat otot lehernya mencuat menekan kulit luarnya.
"Apa mau kalian hah! Nenekku sudah meninggal, dan kalian masih mau mengusik hidupku lagi?" Teriak dyah dengan mata melotot tajam.
"Hei pembunuh, kau tidak terima nenekmu mati dalam kondisi seperti itu, sampai kau mencoba memberikan teror kepada warga desa kami?" Sahut warga lainnya tak kalah lantang, di sahut oleh warga lainnya.
"Pembunuh apa? Siapa yang kalian maksud?" Tanya dyah dengan wajah kebingungan.
"Halah! Kita langsung arak saja dia! Biar dia kapok dan tidak semena-mena lagi!" Teriak yanto dan di setujui warga lainnya.
Mereka bergegas menarik tubuh dyah dengan kasarnya. Tidak perduli gadis itu meronta, menangis untuk di lepaskan.
"Lepaskan aku! Aku bukan pembunuh! Lepaskan!" Teriak dyah yang terus meronta, namun tidak di gubris oleh para warga.
Tubuh mungil dyah di ombang-ambingkan oleh mereka, bahkan beberapa kali wajahnya sampai menghantuk dinding rumahnya. Besitan bambu yang lumayan tajam itu membuat luka goresan di pipi dan lehernya.
Dengan air mata yang tumpah ruah, dyah terus berteriak dan meronta untuk di lepaskan.
Dyah di tali di sebuah kayu yang lumayan besar, lalu di arak keliling kampung sambil di teriaki pembunuh.
Dia yang terus meronta, membuat koyakan di baju kemeja bunga-bunganya, rambut panjang lurusnya bahkan sudah acak-acakan.
Mereka benar-benar menutup mata dan telinga untuk menghakimi dyah.
"NENEK!" Pekik dyah di sela-sela isakan tangisnya.
Tidak ada yang perduli dengan suara tangisannya dan teriakannya, mereka semua benar-benar tidak merasa kasihan kepada dyah.