Dari semenjak lahir Syailendra dipaksa untuk "tak terlihat", dirumah, disekolah dan juga di lingkungan sekitarnya. Namun ternyata seorang perempuan bernama Ratu memperhatikan dan dengan jelas dan tertarik padanya. Perempuan cantik dan baik yang memberikan kepercayaan diri untuknya.
Sedangkan Ratu, Ia sosok perempuan sempurna. Ratu terkenal tak mau berkomitmen dan berpacaran, Ia seorang pemain ulung. Hidup Ratu berubah saat Ia dan Syailendra satu team mewakili olimpiade kimia dari sekolahnya. Mereka tak pernah sekelas, dan Ratu bahkan baru mengenalnya. Tapi sosoknya yang misterius merubahnya, Ratu merasakan sesuatu yang berbeda dengan pria itu, membuatnya merasa hangat dan tak mau lepas darinya.
Namun dunia tak mendukung mereka dan mereka harus berpisah, mereka lalu bertemu sepuluh tahun kemudian. Apakah kisah kasih mereka akan tersambung kembali? Atau malah akan semakin asing?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon khayalancha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32 - Sekedar Hiburan
[Bisa kita ketemu hari ini, Ratu? Aku kangen...]
Usai mengetik pesan itu, langsung Syailendra kirim ketikannya ke chatroom Ratu.
Syailendra menghela napas berat. Ia scroll layar ponsel yang menampilkan chat mereka terakhir kalinya seminggu lalu, sewaktu masih di Jakarta. Sekarang seminggu setelah olimpiade itu berlangsung, Ratu tak pernah lagi membalas pesannya.
Bingung. Itulah yang dirasakan Syailendra saat ini. Ia sendiri tidak mengerti kenapa Ratu menjauh. Atau ini hanya perasaannya saja?
Syailendra tidak tahu pasti jawabannya. Namun ia selalu berusaha berpikir positif;
Mungkin Ratu sibuk karena sebentar lagi mau ujian.
Syailendra selalu berpikir seperti itu. Dan dia tidak pernah mendapatkan jawaban yang pasti.
Menggeleng samar, Syailendra coba memfokuskan kembali pikirannya. Daripada menerka-nerka apa yang terjadi dengan Ratu, Syailendra memutuskan untuk menemui gadis itu ke kelasnya mumpung sudah masuk jam istirahat.
Setibanya di depan kelas Ratu, Syailendra mencogokkan kepalanya ke jendela. Dapat Syailendra lihat Ratu duduk di barisan paling depan, sedang tertawa bersama Sasa tanpa beban. Sangat berbanding terbalik dengan dirinya yang seminggu ini galau memikirkan gadis itu.
Syailendra menertawai dirinya sendiri. Apakah artinya seminggu ini hanya dirinya yang sedih dan merasakan rindu, sementara Ratu baik-baik saja tanpanya?
Menghela napas berat, Syailendra coba hampiri Ratu. Ia masuk ke kelas gadis itu, yang mana hadirnya membuat semua mata tertuju ke arahnya. Ratu yang sedang berbicara dengan Sasa itu sontak terdiam. Wajahnya berubah tegang dalam sekejap.
"Ratu. Bisa kita ngomong?"
Tanpa basa-basi, Syailendra langsung ke intinya.
Namun berbeda dari biasanya—yang jika Syailendra datangi Ratu akan memasang senyum ceria—kini Ratu terlihat mengalihkan pandangan.
"Maaf, Syai. Aku sibuk."
"Sibuk apa? Kamu nggak balas chat aku belakangan ini. Kamu—"
"Kita mau persiapan ujian. Nggak ada waktu buat chat dan main-main kayak biasanya. Kamu juga pasti sibuk, kan? Memangnya kamu nggak belajar buat persiapan ujian?"
Dalam diamnya Syailendra cerna semua yang Ratu katakan. Masuk akal, memang. Tapi ... kenapa harus berubah drastis seperti ini? Bukankah kemarin waktu mereka lomba Ratu selalu bertanya padanya jika ada soal yang keliru? Tak jarang Ratu mengajaknya belajar bersama.
Ini jelas ada yang salah.
Syailendra merasa Ratu ... sengaja menjauh darinya.
"Ratu, kalau aku ada salah, tolong kasih tau. Aku—"
"Nggak ada yang salah, Syailendra. Aku ngerasa biasa aja."
Biasa aja?
"Jadi jangan susul aku ke kelas ini lagi. Fokus aja sama pendidikan kamu."
Kalimat itu nyatanya mampu membuat hati Syailendra terluka. Biasa saja katanya. Artinya ia yang berlebihan karena merindu seorang diri. Begitu? Tersenyum pahit, Syailendra coba mengerti apa mau Ratu.
Kalau dipikir yang dikatakan Ratu ada benarnya. Sebentar lagi mereka ujian semester. Dan pula, Syailendra sudah berjanji pada orang tuanya untuk bekerja sehabis sekolah ini demi menggapai masa depannya sendiri.
Ayah Syailendra sudah lepas tangan. Mereka hanya membiayai sekolahnya sampai lulus SMA. Dan setelah itu, Syailendra akan angkat kaki dari rumahnya, serta memulai hidup baru secara mandiri—seorang diri. Harusnya hal-hal sepele seperti ini memang tak pantas ia pikirkan.
"Ya, kamu benar. Aku harus fokus belajar," jawab Syailendra, menekan lukanya erat-erat dan berusaha sekuat tenaga tidak bersedih.
"Bagus kalau gitu."
Hanya sebatas itu, kah? Syailendra berujar dalam hati. Ia merasa bicara dengan orang yang sama, tapi suasananya berbeda. Bukan, ini bukan Ratunya Syailendra. Ini orang asing....
Nggak apa-apa. Yang penting kamu baik-baik aja, itu udah lebih dari cukup buat aku.
Harusnya aku senang. Artinya, tanpa aku pun kamu bisa bahagia. Tapi masalahnya, gimana caranya aku tanpa kamu? Aku ketergantungan sama kamu. Kamu yang buat aku percaya cinta itu ada. Kamu juga yang buat aku yakin kalau diriku ini pantas bahagia.
Tapi kenapa kamu gini sekarang?
Kepala Syailendra terasa akan meledak menerima perubahan drastis ini. Alhasil, ia memilih pergi dari kelas Ratu dengan perasaan sesak yang luar biasa.
Bahkan sebelum benar-benar pergi dari kelas itu, Syailendra masih sempat-sempatnya menoleh ke belakang, berharap Ratu pedulikan dirinya, atau minimal sebatas menoleh.
Nyatanya tidak. Ratu kembali asyik tertawa dengan Sasa dan teman-temannya yang lain.
Syailendra menggeleng samar, melanjutkan perjalanannya keluar dari kelas itu.
Aku fokus ujian dulu kali ya. Mungkin setelah Ujian nanti Ratu bakal balik kayak biasanya ke aku...
Hari berganti hari. Tak terasa sudah 2 minggu berlalu sejak pertemuannya terakhir dengan Ratu hari itu.
Selama itu pula Syailendra berusaha keras untuk mencapai nilai terbaik di sekolahnya. Syailendra bertekad ingin mengejar prestasi agar nanti gampang masuk perguruan tinggi. Yang bisa Syailendra andalkan saat ini hanyalah beasiswa. Mungkin setelah lulus SMA ini Syailendra akan kuliah sambil bekerja untuk memenuhi kebutuhan hariannya.
Jangan tanya bagaimana kelanjutan hubungannya dengan Ratu. Sejak hari itu, mereka putus komunikasi. Syailendra pun sejak hari itu berhenti mengirimkan Ratu chat karena takut mengganggu gadis itu.
Dan sekarang, setelah ujian itu selesai, Syailendra berencana ingin mencari Ratu. Dia ingin mendengarkan apa alasan Ratu menjauh seperti ini, sementara sekarang ujian sudah selesai.
Syailendra pantang menyerah. Masih saja ia berharap hubungannya dengan Ratu kembali seperti dulu.
Di persimpangan menuju kelas Ratu, Syailendra tak sengaja berpapasan dengan Heri. Cowok itu sepertinya juga baru keluar dari kelas.
"Woi, Men! Ke mana aja lo nggak kelihatan belakangan ini? Kangen gue masa-masa kita olimp!" seru Heri yang langsung memeluk tubuh Syailendra selayaknya teman yang telah lama tak jumpa.
"Aku sibuk belajar, makanya jarang keluar kelas," jujur Syailendra. Terbesit di otaknya tentang Ratu. "Oh ya, lihat Ratu nggak?"
"Tadi gue lihat sih. Dia udah pulang duluan. Buru-buru dia. Kok bisa lo nggak tau di mana Ratu? Biasanya kalian nempel terus?"
Syailendra mendesah berat, lantas jujur. "Belakangan ini ... dia ngejauh. Makanya aku bingung sama perubahan sikap dia. Setelah balik ke Bandung waktu selesai olimp kami udah nggak komunikasi lagi. Katanya dia sibuk mempersiapkan ujian."
Heri yang mendengar itu lantas mendecak-decakkan lidah. Mukanya terlihat tenang seolah sudah tahu semuanya.
"Sesuai dugaan. Kejadian juga tebakan gue."
"Maksud kamu?"
"Asal lo tahu aja ni Syailendra. Ratu itu emang orangnya begitu. Dia yang ngejar duluan, terus pas udah dekat, orang itu bakal ditinggalin. Dan dia dekat sama seseorang itu pasti karena dia ngerasa orang itu ada manfaatnya buat dia."
Tubuh Syailendra membeku sedetik mendengarnya. Ia makin tak paham.
"Manfaatin?"
"Iya. Dimanfaatin. Kayak Galih waktu itu, dia deketin Galih cuma buat disuruh ngerjain tugas-tugas dia. Terus Aldo, ya karena Aldo itu popular. Jadi kalau dia dekat sama Aldo, followers dia di sosmed nambah. Dan terakhir lo. Lo itu dia deketin karena lo pinter, bisa bikin impian dia yang pengen menang olimp terwujud. Nah, karena olimp udah selesai an kita dapat juara tiga, dia ngerasa lo udah nggak ada gunanya lagi. Makanya dia tinggalin."
Jantung Syailendra terasa diremas mendengarnya. Masih tak percaya ia Ratu bisa setega itu padanya.
"Udahlah, lupain aja Ratu. Korban dari Ratu itu nggak hanya lo aja, banyak juga yang lainnya. Sebenarnya dari awal gue udah duga endingnya bakal gini. Cuma gue nggak mau mematahkan semangat lo. Toh Ratu juga kelihatan tulus banget sama lo. Makanya gue diem aja. Gue mikir mungkin Ratu emang kepengen berubah. Atau barangkali dia beneran cinta sama lo. Tau-taunya sama aja. Beneran parah tuh cewek!"
Jadi selama ini aku cuma dimanfaatin sama Ratu?
Sulit rasanya bagi Syailendra memercayai hal tersebut. Syailendra yakin semua yang Ratu beri padanya itu tulus. Tidak mungkin gadis itu tega mempermainkannya setelah semua yang mereka lalui selama ini.
"Percaya sama gue. Lo boleh tanya sama semua cowok yang pernah Ratu deketin. Mereka nasibnya sama kayak lo," imbuh Heri, semakin mematik api yang membakar hati Syailendra.
"Nggak, aku harus tanya langsung ke Ratu. Nggak mungkin dia giniin aku. Dia pasti punya alasan sendiri."
Dan masih sempat-sempatnya Syailendra mencoba positif thinking. Bahkan lelaki itu berencana menyusul Ratu ke rumahnya untuk menanyakan semuanya.
Jalan Kenangan Nomor 12.
Itulah alamat rumah Ratu yang Syailendra dapatkan dari Heri. Kini lelaki itu berdiri di depan rumah mewah tersebut. Rumah yang tak kalah jauh mewah dari rumahnya.
Kamu nggak akan bisa lari dari aku lagi, Ratu. Aku masih kasih kamu kesempatan buat jelasin semuanya.
Memantapkan niatnya, Syailendra pun masuk ke dalam dan menemui security yang berjaga di luar.
"Permisi, Pak. Saya mau tanya, apa Ratu ada di dalam?"
"Kalau neng Ratu ada Mas. Emangnya Mas siapanya neng Ratu?"
"Saya itu temennya Pak. Nama saya Syailendra. Apa boleh saya menemui Ratu?"
"Iya silakan, Mas, masuk saja."
Security itu membuka pintu dan menyuruh Syailendra masuk. Setibanya di depan pintu, Syailendra pun menekan bel.
Pucuk dicinta ulam pun tiba, seolah alam memang merestui mereka untuk bertemu, kebetulan yang membuka pintu itu Ratu.
Gadis itu tampak tercengang, tak percaya Syailendra menyusulnya ke mari. Langsung ia tutup pintu tersebut, namun dengan cepat Syailendra menahan tangannya.
"Tunggu dulu Ratu. Ada yang mau aku bicarakan sama kamu."
"Nggak ada lagi yang mau di bicarakan Syailendra. Urusan kita udah selesai!"
"Berarti benar ada yang salah di sini, kan? Kamu ngejauhin aku bukan karena kamu sibuk ujian. Tapi memang karena kamu sebatas manfaatin aku aja. Karena kita nggak menang juara 1 kemarin, makanya kamu ngejauhin aku. Iya kan? Jujur aja!"
Ratu yang mendengar itu tampak tercengang, namun ekspresi hanya bertahan dua detik. Gadis itu terkekeh sambil berkata. "Nah itu kamu tahu sendiri. Aku emang sengaja maksa kamu dan sampai dekat kamu supaya aku bisa dapat juara di olimpiade itu. Tapi malah cuma dapat peringkat 3!"
Syailendra tertohok mendengarnya. Matanya sampai memerah dan berair. "Jadi bener apa yang dibilang sama orang-orang? Kamu cuma memanfaatkan semua cowok yang kamu dekatin?"
"Kalau iya memang kenapa? Apa itu masalah buat kamu? Kamu sendiri yang menaruh hati sama aku. Padahal dari awal kamu tau kita nggak ada komitmen apa-apa. Salah kamu, Syailendra. Aku nggak pernah ikat kamu selama kita bersama. Aku cuma fokus sama tujuanku di awal!"
Syailendra tersenyum miris. Rasanya sakit sekali seperti ditusuk belati tajam. Tak percaya kata-kata itu keluar dari gadis yang selama ini sangat ia cinta.
"Jadi menurut kamu semua yang kita lakukan selama ini nggak ada artinya? Sentuhan, bahkan ... ciuman, semua itu ... kamu anggap apa?"
"Hiburan," jawab Ratu singkat. "Sebatas hiburan, atau lebih tepatnya pengisi kekosongan waktu."
Syailendra merasakan sakit yang luar biasa hebatnya. Saking sakitnya ia tak mampu berkata apa-apa lagi.
"Oke kalau itu keputusan kamu. Makasih karena udah buang aku layaknya sampah yang nggak ada artinya," jawab Syailendra serak.
Ratu mengepalkan tangannya, menekukkan wajah sedalam mungkin karena tidak berani menatap mata Syailendra.
"Kita ... selesai, ya? Aku nggak akan lupain kebaikan kamu yang udah ngasih warna di hidup aku. Makasih karena kamu udah bikin aku maju sejauh ini. Tanpa kamu mungkin aku hanya akan jadi seorang pecundang sampai saat ini."
Syailendra tersenyum getir. Rasanya benar-benar sakit. Baru pertama kali percaya pada seseorang, ternyata orang itu tidak tulus padanya.
Hancur dunia Syailendra seketika.
"Aku nggak akan lupain kebaikan kamu, tapi juga nggak akan lupain pengkhianatan kamu. Akan aku ingat selamanya perbuatan kamu ini, Ratu. Semoga suatu hari kamu rasain apa yang aku rasain."
Dan setelah mengatakan itu, Syailendra pun pergi dari rumah Ratu tanpa pamit.
Yang mana, tanpa ia ketahui, Ratu menitikkan air mata memandangi kepergiannya.....