Full Remake, New Edition 🔥🔥
Ini adalah perjalanan Iramura Tenzo, seorang pejuang yang dipanggil ke dunia baru sebagai seorang pahlawan untuk mengalahkan raja iblis.
Namun, dia gugur dalam suatu insiden yang memilukan dan dinyatakan sebagai pahlawan yang gugur sebelum selesai melaksanakan tugasnya.
Akan tetapi dia tidak sepenuhnya gugur.
Bertahun-tahun kemudian, ia kembali muncul, menginjak kembali daratan dengan membawa banyak misteri melebihi pedang dan sihir.
Ia memulai lagi perjalanan baru dengan sebuah identitas baru mengarungi daratan sekali lagi.
Akankah kali ini dia masih memegang sumpahnya sebagai seorang pahlawan atau mempunyai tujuan lain?
Ini adalah kisah tentang jatuhnya seorang pahlawan, bangkitnya seorang legenda, dan perang yang akan mengguncang dunia.
Cerita epik akan ditulis kembali dan dituangkan ke dalam kisah ini. Saksikan Petualangan dari Iramura Tenzo menuju ke jalur puncak dunia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wahyu Kusuma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26 Mengambil Misi
Gedung Serikat.
Tenzo dan Ramez berdiri di depan papan misi, mata mereka menelusuri lembaran-lembaran yang tertempel di sana. Serikat Guild pagi itu cukup ramai. Petualang dari berbagai ras memenuhi ruangan, beberapa bercanda di bar, sementara yang lain mendiskusikan strategi dengan rekan tim mereka. Suara dentingan gelas beradu, tawa keras, serta suara langkah-langkah berat bergema di seluruh ruangan.
"Tenzo, bagaimana kalau kita ambil yang ini?" Ramez menunjuk sebuah lembaran. "Penyelidikan di hutan utara, Harden. Ada laporan tentang gerak-gerik mencurigakan dari pasukan Goblin."
Tenzo melirik kertas itu dengan ekspresi datar. "Hanya menyelidiki?" Dia mendengus. "Kurasa ini kurang menantang."
Matanya kemudian menangkap lembaran lain yang menarik perhatiannya. "Nah, bagaimana kalau ini?" ujarnya, menunjuk pada Misi lain. "Memburu Giant Earth Snake di lembah Destrat. Aku tidak tahu di mana tempatnya, tapi kamu pasti tahu."
Ramez menatap Tenzo dengan wajah datar. "Coba lihat lagi. Misi ini hanya untuk petualang peringkat A ke atas. Mana bisa kita ambil? Lagi pula, ini diperuntukkan bagi party besar, sedangkan kita cuma berdua."
Tenzo menghela napas kecewa. "Heh, begitu rupanya."
Ramez kembali ke pilihan awalnya. "Jadi, kita ambil Misi goblin ini saja. Lumayan untuk menambah poin statusku. Kalau aku naik ke peringkat A, kita bisa ambil Misi yang lebih seru nanti."
"Baiklah, kalau begitu," jawab Tenzo tanpa banyak protes. Bagaimanapun, Ramez adalah pemimpin party mereka saat ini.
Mereka berjalan menuju meja administrasi, di mana seorang resepsionis muda bernama Eliana menyambut mereka dengan senyum ramah.
"Selamat pagi! Kalian ingin mengambil Misi yang mana?" tanyanya.
Ramez meletakkan lembaran Misi di atas meja. "Yang ini, penyelidikan pasukan Goblin di hutan Harden."
Eliana mengambil kertas itu, memeriksa sebentar, lalu men-stempelnya. "Baik, Misi ini sekarang resmi kalian ambil. Semoga berhasil!"
"Terima kasih!" jawab Ramez sambil melambai.
Tenzo hanya mengangguk, ikut melambaikan tangan sebelum mereka berdua berjalan keluar dari Guild.
***
Di Luar Gedung Serikat
Begitu mereka keluar, angin pagi yang sejuk menyambut mereka. Kota masih cukup sibuk, dengan pedagang yang mulai membuka lapak mereka dan para petualang yang bersiap berangkat menjalankan misi masing-masing.
"Kalau begitu, ayo kita langsung ke hutan Harden!" seru Ramez dengan semangat.
Mereka melangkah dengan penuh keyakinan, tidak menyadari bahwa sejak mereka keluar dari Guild, beberapa pasang mata telah mengawasi mereka dari kejauhan.
Di salah satu sudut gang yang remang-remang, sekelompok orang berdiri diam, memperhatikan Tenzo dengan intens. Salah satu dari mereka, seorang pria dengan luka panjang di pipi, mengepalkan tinjunya.
"Hari ini aku akan membalaskan dendamku," gumamnya dengan suara rendah, penuh kebencian.
Aura membunuhnya mulai merembes ke udara, seperti kabut hitam tak kasat mata yang menyelimuti sekitarnya.
Tenzo tiba-tiba berhenti melangkah. Seperti ada sesuatu yang menusuk punggungnya.
Ramez yang berjalan di sampingnya mengernyit heran. "Kenapa, Tenzo?"
Tenzo tidak menjawab. Matanya perlahan menyipit, tubuhnya menegang. Dia bisa merasakan hawa mematikan yang diarahkan padanya—dan itu bukan ancaman biasa.
Seseorang mengincarnya.
***
Di hutan Harden
Tenzo dan Ramez berdiri di depan gerbang alami hutan Harden, di mana pepohonan raksasa menjulang tinggi, menciptakan bayangan pekat yang menutupi sebagian besar jalan setapak. Udara di sana terasa lebih lembap, bercampur dengan aroma tanah basah dan dedaunan yang mulai membusuk.
Tanpa ragu, mereka melangkah masuk ke dalam kegelapan rimbun tersebut. Cahaya matahari hanya sesekali berhasil menembus celah-celah dedaunan, menciptakan kilauan samar di antara pepohonan. Hutan itu terasa hidup, dengan suara burung liar, serangga, dan gemerisik ranting yang sesekali patah di kejauhan.
"Hmm, sekarang kita mulai dari mana, ya?" Ramez menghentikan langkahnya, menatap sekeliling dengan alis mengernyit.
Tenzo yang berada sedikit di belakangnya juga mengamati sekitar, tetapi pikirannya tidak hanya terfokus pada apa yang terlihat.
[Coba aku lacak dulu keberadaan para Goblin.]
Tenzo mengaktifkan kemampuannya—pendeteksi hawa keberadaan makhluk hidup. Ini adalah teknik yang telah ia kembangkan dari naluri bertahan hidupnya selama bertahun-tahun. Secara perlahan, kesadarannya merambat keluar seperti riak air di permukaan danau yang tenang.
Gelombang tak kasat mata itu menyebar melewati pepohonan dan semak-semak, menangkap keberadaan berbagai makhluk. Ada tupai yang meloncat dari satu cabang ke cabang lainnya, ada kawanan rusa yang bersembunyi di balik semak, serta beberapa makhluk kecil lainnya yang tak begitu penting.
Tetapi bukan itu yang ia cari.
Tenzo memperluas area deteksinya. Dan akhirnya, dia menemukannya—gugusan aura Goblin yang tersebar di seluruh penjuru hutan. Beberapa bergerombol dalam kelompok kecil, sementara yang lain berkeliaran sendirian. Namun, di antara sekian banyak hawa keberadaan itu, satu titik mencolok membuatnya mengernyit.
Sebuah aura manusia.
Orang itu sedang dikepung oleh sekelompok besar Goblin.
"Kenapa ada manusia di tengah hutan ini?"
Tenzo menghentikan langkahnya seketika.
Ramez yang berjalan di depan, baru menyadari bahwa Tenzo tidak lagi mengikutinya. Dia berbalik dan menatap Tenzo dengan bingung. "Oi, Tenzo, kenapa kamu diam saja di situ?"
Tanpa menoleh, Tenzo menunjuk lurus ke arah aura manusia yang ia rasakan. "Sekitar kurang dari 100 meter dari sini, ada seseorang yang sedang dikepung oleh Goblin. Kamu harus segera menyelamatkannya."
"Hah?" Ramez menatapnya ragu. "Bagaimana kamu bisa tahu? Jarak segitu masih terlalu jauh untuk dilihat."
"Sudahlah, tidak ada waktu untuk menjelaskan." Tenzo menoleh dengan ekspresi serius. "Pergilah sekarang sebelum terlambat."
Ramez masih agak bingung, tetapi tatapan tajam Tenzo meyakinkannya bahwa ini bukan lelucon. Dengan cepat, dia mengangguk. "Baiklah!"
Dalam sekejap, tubuh Ramez melesat bagai angin, menghilang di antara pepohonan.
Tenzo, yang kini sendirian, menurunkan tangannya ke gagang pedangnya. Dia tetap berdiri diam, seolah-olah menunggu sesuatu.
Kemudian, dia memproyeksikan dirinya ke depan. Dalam benaknya, ia sudah bergerak lebih dulu, menembus dedaunan dan ranting yang menjulur, sampai akhirnya tiba di tempat kejadian dan mengayunkan pedangnya dengan cepat.
Beberapa Goblin roboh tanpa sempat menyadari apa yang terjadi.
"Setidaknya ini bisa memberinya sedikit waktu."
Namun, sebelum Tenzo sempat bergerak lebih jauh, ia merasakan sesuatu yang lain.
Sebuah kehadiran asing.
Ia berbalik perlahan.
Di antara bayangan pepohonan, beberapa sosok berdiri mengawasinya. Mereka bukan Goblin, tetapi terdapat Aura niat membunuh yang seakan mereka coba tekan.
Namun ini adalah Tenzo. Dia tidak mudah dikecohkan dengan hal begitu. Setipis apapun mereka mencoba menyembunyikannya, akan tetap ia rasakan.
***
Di Tempat Lain di Hutan Harden
Di tengah kerapatan hutan, sekelompok Goblin telah mengepung dua orang anak remaja—seorang kakak dan adiknya.
Anak yang lebih kecil menggigil ketakutan, memegangi lengan kakaknya erat-erat. "Kak, aku takut... aku tidak mau mati di sini..." suaranya nyaris bergetar.
Sang kakak, meskipun sama takutnya, tetap berusaha terlihat kuat. Ia menggenggam pisau kecil—senjata satu-satunya yang mereka miliki. "Tenanglah... Aku tidak akan membiarkan mereka menyentuhmu," ujarnya dengan suara tegang.
Goblin-goblin itu semakin mendekat, menyeringai dengan tatapan lapar. Mereka mengeluarkan suara parau, bercampur dengan tawa kasar.
Salah satu dari mereka mengeluarkan pekikan nyaring, lalu melompat menerjang.
Sang kakak menguatkan tekadnya, bersiap melindungi adiknya. Namun sesuatu yang tidak terduga terjadi.
Tiba-tiba, Goblin yang menerjang terhenti di udara, matanya melebar seolah terkejut, sebelum tubuhnya jatuh keras ke tanah—tak bergerak lagi.
Sontak, para Goblin lain berhenti, memandang sekeliling dengan kebingungan.
"Eh...? Apa yang terjadi?"
Sang kakak juga tercengang. Dia belum sempat mengayunkan pisaunya, tapi musuh sudah tumbang.
Lalu, di atas kepala mereka, terdengar suara siulan tajam. Dari antara cabang-cabang pohon, dua pedang pendek hitam melesat turun, diselimuti kilatan petir kuning!
Dalam sekejap, senjata itu menusuk tubuh beberapa Goblin sekaligus, membuat mereka berjatuhan dengan jeritan menyakitkan.
Di kejauhan, terdengar suara teriakan lantang.
"Kalian, cepat bersembunyi!!"
Sang kakak segera menarik adiknya ke balik pohon besar, bersembunyi di balik batangnya yang kokoh.
Dari antara pepohonan, Ramez muncul, melesat dengan kecepatan tinggi. Begitu mencapai tengah-tengah kerumunan Goblin, dia menarik pedangnya yang menancap di tubuh mereka, lalu berdiri tegak sambil memutar senjatanya dengan gaya khasnya.
Wajahnya dipenuhi senyum tipis yang penuh percaya diri. "Nah, sekarang... pilihan ada di tangan kalian."
Goblin-goblin yang tersisa menegang, ragu sejenak.
"Tinggal kalian melarikan diri..." Ramez menarik napas dalam. Lalu, matanya menyala dengan semangat bertarung. "...atau mati di tanganku."
Suasana hening sejenak.
Namun, alih-alih melarikan diri, para Goblin malah menggeram dan mulai menyerangnya.
Ramez hanya tertawa pelan. "Hah... Seperti yang kuduga."
Dalam satu gerakan cepat, ia melompat ke tengah-tengah mereka, mengayunkan pedangnya dengan kilatan petir yang menyambar di udara. Goblin-goblin mulai tumbang satu per satu, tanpa sempat memberikan perlawanan berarti.
Hanya dalam beberapa menit, pertarungan telah usai.
Saat semuanya kembali hening, Ramez menoleh ke arah dua remaja yang masih bersembunyi. "Oi, kalian bisa keluar sekarang. Sudah aman."
Perlahan, mereka muncul dari balik pohon, wajah mereka masih dipenuhi keterkejutan.
"Te-terima kasih...!"
Ramez hanya mengangguk. "Sama-sama." Lalu, ekspresinya berubah serius. "Sekarang, jelaskan. Kenapa kalian bisa ada di tempat berbahaya seperti ini?"
Namun, sebelum mereka sempat menjawab, suara auman keras mengguncang seluruh hutan.
"AAAUUUUUUUUUU!!!!"
Burung-burung beterbangan, dan wajah Ramez langsung menegang.
Suara itu...
Berasal dari tempat Tenzo berada.