Empat tahun berlalu, Jagat Hartadi masih larut dalam perasaan cinta tak berbalas. Dia memilih menjalani hidup sendiri, hingga suatu malam dirinya membantu seorang wanita yang pingsan di pinggir jalan.
Jenna, itulah nama wanita tersebut. Siapa sangka, dia memiliki kisah kelam menyedihkan, yang membuat Jagat iba.
Dari sana, timbul niat Jagat untuk menikahi Jenna, meskipun belum mengenal baik wanita itu. Pernikahan tanpa dilandasi cinta akhirnya terjadi.
Akankah pernikahan yang berawal dari rasa kasihan, bisa menjadi surga dunia bagi Jenna dan Jagat?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Komalasari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 8 : Seperti Mimpi
Jenna membuka sedikit matanya, mengintip Jagat yang berdiri membelakangi. Pria itu hanya mengenakan celana tidur, membiarkan punggung kokohnya terekspos sempurna.
Jagat sendiri tidak menyadari apa yang Jenna lakukan karena mengira wanita itu sudah tidur. Padahal, kenyataannya dia tengah jadi tontonan sang istri.
Ketika Jagat sudah merebahkan tubuh dan terlelap, Jenna berhenti berpura-pura tidur karena Jagat tak akan mengetahui apa yang dilakukannya. Senyuman kecil tersungging di bibir wanita muda itu. Ada rasa tak percaya telah diperistri seorang jagat Hartadi, meskipun pernikahan mereka sekadar formalitas.
“Pria itu akan menjadi ayahmu, Nak,” ucap Jenna teramat pelan, seraya mengusap lembut perutnya. “Dia pria yang baik. Aku bisa merasakannya,” ucap wanita itu lagi, seraya terus memperhatikan Jagat yang sudah terbang ke alam mimpi.
Jenna bangkit, lalu duduk bersandar pada kepala tempat tidur. Tatapannya menerawang jauh menembus dinding pembatas ruangan. Jenna termenung seorang diri, mengabaikan rasa lelah dan kantuk yang perlahan memudar karena melihat Jagat bertelanjang dada.
Entah apa yang Jenna pikirkan saat itu. Wanita muda yang tengah mengandung empat bulan tersebut seperti menyimpan keresahan terpendam dan sengaja disembunyikan.
Detik terus berlalu. Jam digital di meja sebelah tempat tidur sudah menunjukkan angka 05.30., ketika Jagat membuka mata. Seperti biasa, dia selalu bangun pagi.
Jagat duduk beberapa saat untuk mengumpulkan segenap kesadaran, lalu menyugar rambut yang sedikit acak-acakan. Ditatapnya Jenna yang masih terlelap dengan posisi menyamping, menghadap ke arahnya. Senyum tipis terlukis di sudut bibir Jagat. Sekian tahun berlalu, menghadirkan banyak cerita antara dirinya dengan wanita-wanita yang pergi meninggalkan luka tak berdarah.
Jagat meraih T-shirt dari sandaran sofa, kemudian berdiri. Dia masuk ke kamar mandi untuk membasuh wajah. Rencananya, hari ini Jagat dan Jenna akan meninggalkan hotel.
“Selamat pagi,” sapa Jagat, setelah keluar dari kamar mandi. “Kupikir, kamu belum bangun.”
“Selamat pagi,” balas Jenna, dengan suara agak parau. “Anda bangun pagi sekali.”
“Aku terbiasa bangun pada jam seperti ini, lalu berolahraga.” Jagat duduk di sofa, memeriksa beberapa pesan dan email yang masuk. “Kita akan pulang siang ini.”
Jenna mengangguk, diiringi senyum lembut. “Aku akan mandi dulu,” ucapnya, seraya beranjak dari tempat tidur. Sebelum masuk ke kamar mandi, Jenna tertegun, lalu menoleh.
“Setelah mandi, kita sarapan di bawah,” ucap Jagat, seraya menatap Jenna.
Jenna kembali mengangguk. “Aku tidak akan lama,” ucapnya, kemudian berbalik masuk ke kamar mandi.
Selagi Jenna berada di kamar mandi, Jagat segera berganti pakaian. Seperti biasa, dia selalu tampil rapi dengan kemeja putih dan celana chino panjang. Itu sudah jadi ciri khas dari seorang Jagat Hartadi.
Beberapa saat kemudian, Jenna keluar dari kamar mandi dengan hanya mengenakan bathrobe. “Aku akan berpakaian di kamar mandi,” ucapnya, seraya mengambil baju dari dalam tas. Dia bermaksud kembali ke kamar mandi.
“Tidak usah. Di sini saja. Aku akan menunggumu di luar,” cegah Jagat, seraya meraih telepon genggam, kemudian berlalu keluar kamar.
Sepeninggal Jagat, Jenna tidak segera berpakaian. Dia justru terpaku sambil menatap pintu yang tertutup rapat. Jenna yakin, Jagat tak akan mengintip.
“Pria yang sangat baik,” ucap Jenna, diiringi senyum kecil.
Beberapa saat kemudian, Jenna sudah selesai berpakaian. Dia sengaja tidak memakai riasan. Meski begitu, Jenna tetap menata rapi rambut panjangnya.
“Maaf membuatmu menunggu lama, Pak,” ucap Jenna, seraya menghampiri Jagat yang berdiri di luar kamar.
Jagat yang awalnya bersandar sambil memasukkan kedua tangan ke saku celana panjang, langsung menegakkan tubuh. Dia tersenyum kalem, lalu mengarahkan tangan ke depan.
Betapa sopan sikap yang Jagat perlihatkan di depan Jenna. Itu membuat Jenna tersanjung. Dia merasa begitu dihargai.
Setibanya di restoran dengan konsep prasmanan, Jagat mengajak Jenna memilih menu sarapan yang diinginkan.
Seorang petugas melayani mereka dengan sangat baik. Setelah itu, memberikan nomor meja kepada Jagat.
“Terima kasih,” ucap Jagat, kemudian mengarahkan Jenna menuju meja yang disiapkan untuk mereka.
“Apa Anda selalu bersikap seperti ini kepada semua wanita?” tanya Jenna, ketika Jagat memundurkan satu kursi untuknya, lalu mempersilakan duduk.
“Kata ‘semua wanita’ membuatku terintimidasi. Aku seperti seseorang yang dekat dengan banyak wanita,” protes Jagat tenang, seraya duduk di kursi yang berhadapan dengan Jenna.
“Mustahil jika Anda tidak memiliki banyak wanita. Anda mempunyai segalanya. Ketampanan, kekayaan, kekuasaan. Wanita mana yang tidak akan tertarik pada pria seperti Anda,” ujar Jenna.
Namun, Jagat segera menggeleng, membantah ucapan Jenna. “Sejujurnya, memang tidak ada. Aku tidak pandai menarik perhatian lawan jenis.”
“Itu tidak mungkin. Kecuali, jika Anda memang tidak tertarik … ah, maaf. Aku tidak bermaksud ….”
Jagat kembali menggeleng. “Tidak apa-apa. Bukan hanya kamu yang berpikir seperti itu.”
Perbincangan ringan itu terjeda, ketika seorang pelayan datang menghampiri, untuk menyajikan makanan yang sudah dipilih tadi. “Silakan. Selamat menikmati. Bila ada hal lain yang dibutuhkan, tekan saja tombol hijau ini.”
“Oh, iya. Terima kasih.”
Sepeninggal pelayan itu, Jagat memulai santap pagi bersama Jenna.
Sungguh merupakan sesuatu yang berbeda bagi Jagat. Dia akan menikmati momen kebersamaan itu, meskipun entah seperti apa pernikahan yang dijalaninya bersama Jenna.
“Ini seperti mimpi bagiku,” ucap Jenna. “Terima kasih banyak.”
“Aku juga masih belum percaya karena menyandang status baru. Kita coba saja jalani pernikahan ini sampai kamu melahirkan nanti.”
Jenna terdiam sejenak, sebelum memasukkan suapan berikutnya. Raut wajah wanita cantik dengan tinggi 167 cm itu tak seceria tadi, sebelum Jagat menyebutkan kata ‘melahirkan’.
“Bagaimana jika suatu saat nanti, aku merindukan anakku?” tanya Jenna pelan.
“Tidak akan ada batasan bagimu. Jangan mengkhawatirkan hal itu,” jawab Jagat tenang.
Jenna tersenyum kecil. “Syukurlah.” Jenna kembali menyantap sisa makanan di piring hingga habis. Dia sudah benar-benar kenyang.
Begitu juga dengan Jagat. Setelah selesai bersantap pagi, mereka meninggalkan tempat itu. Keduanya hendak kembali ke kamar hotel, lalu pulang.
“Kita bisa membeli sesuatu di perjalanan. Camilan, buah, atau apa pun yang kamu inginkan,” ucap Jagat, setelah tiba di dekat lift.
“Anda terlalu perhatian, Pak.” Jenna merasa tak enak, meskipun statusnya kini sudah jadi istri sah Jagat.
“Aku bingung bagaimana caranya menghabiskan uang,” kelakar Jagat, berhasil membuat Jenna tertawa renyah, meskipun hanya sebentar. Jenna tak melanjutkan tawanya, berhubung pintu lift sudah terbuka.
Dari dalam lift muncul beberapa orang. Salah satunya adalah seorang wanita cantik dengan rentang usia tak jauh dari Jenna. Wanita itu menatap lekat, sebelum meraih pergelangan tangan istri Jagat tersebut. “Jenna? Kenapa ada di sini? Di mana Om Tio?” tanyanya.
Jenna menoleh. "Maaf?"