Haii…
Jadi gini ya, gue tuh gay. Dari lahir. Udah bawaan orok, gitu lho. Tapi tenang, ini bukan drama sinetron yang harus disembuhin segala macem.
Soalnya menurut Mama gue—yang jujur aja lebih shining daripada lampu LED 12 watt—gue ini normal. Yup, normal kaya orang lainnya. Katanya, jadi gay itu bukan penyakit, bukan kutukan, bukan pula karma gara-gara lupa buang sampah pada tempatnya.
Mama bilang, gue itu istimewa. Bukan aneh. Bukan error sistem. Tapi emang beda aja. Beda yang bukan buat dihakimi, tapi buat dirayain.
So… yaudah. Inilah gue. Yang suka cowok. Yang suka ketawa ngakak pas nonton stand-up. Yang kadang galau, tapi juga bisa sayang sepenuh hati. Gue emang beda, tapi bukan salah.
Karena beda itu bukan dosa. Beda itu warna. Dan gue? Gue pelangi di langit hidup gue sendiri.
Kalau lo ngerasa kayak gue juga, peluk jauh dari gue. Lo gak sendirian. Dan yang pasti, lo gak salah.
Lo cuma... istimewa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zoe.vyhxx, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
kontrol
Sudah satu minggu ini kian tidak berangkat sekolah. Cedera kaki dan kepalanya sudah berangsur membaik. Dan rencananya nanti siang adalah waktunya ia kontrol kedokter ditemani om ganteng nya.
“Kenapa ga pernah dibales ya?” Gumamnya sambil menatap ponsel tanpa kedip. Raut wajahnya benar benar serius.
“ makan dulu ayok. Udah bisa jalan pelan pelan kan?” Tanya sang mama pelan.
“Iya ma. Bentar “
“Kakinya harus dipaksa gerak itu ki. Biar ga bengkak.”
“ gitu ya? Bukan gara gara kebanyakan gerak malah jadi bengkak ya ma?”
“Apa mau diurut aja?”
Kian segera menggelengkan kepalanya cepat. Ia tidak mau bertemu dengan nenek galak yang suka memijatnya keras. Bahkan dulu kian sampai menangis .
Setelah sampai dimeja makan. Anvita segera mengambilkan porsi makan untuk kian.” Kasih bandeng ga? “
“Kasih tapi gausah ada kepalanya ma”
Anvita mengangguk. “Ki.. lain kali kamu hati hati gitu lho. Pesen mama kan cuma satu. Jangan sakit. Itu aja” sambil meletakkan piring didepan kian.
Kian tahu mamanya khawatir dengan kondisinya. Bahkan tak jarang ia mendengar tangisan dimalam hari. Mungkin karena mereka hidup hanya berdua, jadi anvita takut kehilangan putra kesayangannya.
“ aku bentar lagi ada ujian ma” kata kian mengalihkan.
“ belajar yang bener, masalah hasil nilai mama gamasalah. Selama ga bikin kamu tertekan”
“ cita cita kamu apa gi?” Tanya mama penasaran.
“ apa ya ma. Kian juga gatau. Hidup bahagia sama mama. Udah” jawabnya spontan.
Anvita memaklumi pemikiran anak semata wayangnya yang begitu polos untuk ukuran anak seusianya. Ia lebih bahagia lagi ketika anaknya bahkan tidak terjerat pergaulan bebas, minuman keras, dan obat obatan.
Selama anaknya senang itu sudah cukup bagi anvita. Ia tidak meminta apapun lagi kepada sang anak tercinta.
“Kamu jangan aneh aneh lo ki. Kamu masih kecil” kata mama yang ikut makan.
“ aku udah besar lhoo.. kelas 11 “
“ ya sama aja. Bagi mama kamu itu masih anak kecilnya mama”
“ jadi gaboleh pacaran ya?”
“ boleh. Tapi jangan keblablasan.”
...Assiiikkk!!! ...
Kian jadi lebih leluasa menggoda jeevan karena sudah diberi sinyal oleh sang mama kalau boleh pacaran.
Anvita yang melihat semburat merah di pipi kian tersenyum “ tapi jangan maksain sama om ganteng mu itu lho ki. Takut dia risih”
Kian hanya terdiam. Darimana mamanya bisa tahu apa yang tengah ia bayangkan.
“ kenapa risih?”
Anvita hanya mengendikkan bahu. Otak polos anaknya tidak akan paham dengan hal seperti itu.
Kian terkenal sebagai anak yang polos, ceplas ceplos, dan cengeng.
Ia bukan tipikal orang introvert. Kian suka berbaur dan berinteraksi dengan siapa saja, bahkan temannya juga banyak. Dan mulutnya yang suka nyablak memang tidak sedikit yang tidak suka berteman dengan kian. Namun itu tidak membuat kian berkecil hati. Cukup ada mama , dan orang sekitar yang menyayanginya dapat membuatnya bahagia. Selebihnya ia bodoamat dengan perkataan orang lain.
Sesimpel itu hidup bagi kian.
“ selamat siang” sapa jeevan sopan
“ halo om ganteng” sapa kian ramah
Jeevan yang tipikal cuek hanya menanggapi dengan anggukan. Kian yang sudah siap duduk disofa berusaha berdiri.
“Om duduk. Gue buatin minum dulu”
“Jangan banyak gerak.” Cegah jeevan.
Akhirnya kian terduduk kembali.
“ mama lagi kewarung beliin hansaplast.”
“Katanya siku kian luka”
Jeevan hanya terdiam mendengarkan.
“Om udah sarapan belum ? “ tanya kian berusaha mengajak bicara jeevan. Namun jeevan tetap diam dan memainkan hp.
“Apa om ganteng boring ya?” Batin kian.
Kian Mencoba berdiri. Menyalakan tv. Ia tidak mau suasana rumah menjadi hening.
“Om mau nonton apa? Kartun? Film? Apa bilang aja. Tv kian bisa disalurin internet. Dengerin lagu dari youtube bisa. Mama kadang nonton drakor juga di netflix. “
“ mama kamu masih lama?” Tanya jeevan tiba tiba.
“Mmm.. gatau om. Biasanya cepet kalo gaada bestienya.”
Jeevan melingak melingukkan badan karena pegal.
“Kalo kita berangkat sekarang aja gimana? Nungguin mama lama” kata kian mematikan tvnya.
“Oke”
Jeevan memapah kian pelan menuju mobil.
.
......................
.
.
Mobil mulai jalan pelan keluar dari gang rumah. Di dalam mobil, suasananya sempat hening beberapa menit. Kian sesekali melirik Jeevan yang fokus menyetir.
" Om. Om kok ga pernah balas chat ? Dibuka tapi gadibales. "
“Om… kalo gue gak sekolah seminggu, temen temen gue kangen gak?” tanya Kian tiba-tiba, suaranya pelan tapi jelas.
" Terus. Om juga kangen gak?"
Jeevan ngelirik sekilas, lalu balik fokus ke jalan. “Kamu pikir semua orang bakal kangen?”
Kian manyun. “Ya siapa tau aja, Mungkin… sepi gitu?”
“ iya, mungkin,” jawab Jeevan datar.
“HAH! Jadi om kangen ya?”
“Gak segitunya juga,” jawab Jeevan cepet.
.
......................
.
"Nomor dua puluh tiga, atas nama Kian"
Kian langsung nengok ke arah suara perawat. Jeevan berdiri terlebih dahulu membantu Kian bangun pelan-pelan dari kursi tunggu.
“Om ikut masuk ya,” kata Kian sambil pegangan, jalannya masih agak pincang.
Mereka masuk ke ruang periksa. Dokternya senyum ramah waktu liat Kian masuk dengan langkah pelan sambil dipapah Jeevan.
“Wah, udah mendingan kayaknya. Gimana kabarnya, Kian?”
“Lumayan, dok. Tapi kalo jalan masih kaya bebek nyerimpet kabel,” jawab Kian, ngelawak sambil senyum kecil.
Dokternya ketawa pelan. “Coba duduk sini. Kita cek ya.”
Setelah beberapa cek ringan di kepala dan pergelangan kakinya, dokter mulai mencatat hasil pemeriksaan di file Kian.
" Lebam di kepala udah mulai kempes, tapi pastikan jangan kena benturan lagi ya. Kaki juga udah gak terlalu bengkak. Tapi tetep, jangan dipaksa jalan jauh dulu.”
“Jadi boleh masuk sekolah, dok?” tanya Kian, penuh harap.
“Boleh, asal gak terlalu banyak aktivitas fisik. Jangan lari-larian, jangan ikut ekskul yang bikin kamu capek, apalagi olahraga.”
Jeevan hanya mengangguk. Tapi Kian sempet ngelirik ke arah om gantengnya dan sadar kalau Jeevan dapat membuat ekspresi serius seperti itu.
Selesai periksa, mereka keluar dari ruangan. Kian mengeluarkan kertas resep dari mapnya sambil bertanya, “Om, abis ini pulang atau cari cilok?”.."Gue bosen dirumah om. Muter muter dulu yuk!" Ajak kian semangat.
....
...POV JEEVAN ....
.
.
"bian. Tunda meeting kita sampai besok pagi. Saya mau keluar sebentar"
"Baik pak. "
Jeevan melirik ponsel yang selalu bergetar tiada habis. Notifikasi yang terlalu banyak hanya dari satu orang. Benar benar susah untuk di artikan..
Ketika Jeevan sempat membaca chat dari awal yang terkadang cerita random soal temennya, soal cilok, soal drama Korea yang bahkan Jeevan gak ngerti. Semuanya diceritakan
Entah kenapa ia mulai terbiasa dengan suara bising orang yang tanpa sengaja masuk kedalam dunianya yang penuh kehampaan.
Sesampainya dirumah kian. Ternyata mamanya sudah hilang entah kemana.
"Anak iini banyak omong, gak pernah diem, dan selalu punya cara bikin gue ngeluarin suara meskipun aslinya males banget ngobrol" .batinnya
Tadi pas kian bilang, “Om udah kangen belum?”
Jeevan cuma bisa jawab, “Kamu pikir semua orang bakal kangen?”
Jeevan ingat ekspresi mukanya waktu dia meringis naik ke mobil. Masih sakit pasti. Tapi masih bisa tersenyum. Hebat juga sih anak itu, bisa ketawa-ketawa padahal baru seminggu lalu lebam satu badan.
Waktu di ruang tunggu tadi, kian menonton TV sambil memegangi lengan, ngajak ngobrol, nyari topik apapun biar suasananya gak kaku. Jeevan hanya terdiam, bukannya karena gak mau jawab, tapi kadang... Jeevan gak ngerti harus jawab apa.
Jeevan bukan tipe yang ekspresif. Tapi bukan berarti gak ngerasa juga. Yahh betterlah.
Mungkin karena perbedaan umur yang terpaut cukup jauh. Jeevan agak kesulitan menyamai mood anak zaman sekarang.
......................
.
.
...Taman dekat komplek perumahan kian. ...
Angin sore menyapu pelan dedaunan yang mulai gugur. Matahari sudah tak sepanas kala siang, namun masih cukup terang untuk melihat senyum Kian yang tiada rasa lelah.
Dia duduk di bangku taman bersama om gantengnya. Wajahnya bahkan keliatan lebih cerah dibanding seminggu lalu. gak ada lebam, gak ada tatapan takut.
"Om "
"Kita nikah yuk" ajak kian tiba tiba.
"Lulus dulu. Baru kerja " jawab Jeevan to the point
"Terus nikahnya kapan?"
Entah apa yang membuat Jeevan menatap lama wajah kian sore itu. Terpaan angin dengan semburat matahari sore benar benar membuat indra penglihatannya menangkap wajah yang cantik. "Kalau udah sukses. Baru nikah" katanya
" Lagian kamu masih kecil kian"
" Oke. Kian tinggal lulus, kerja, sukses. Gitu kan?" Simpel
"Iya"
"Oke. Habis itu kita nikah ya om"
"Saya sudah tua. "
" Gapapa. Gue suka. Serius"
"tunggu gue ya om." Ungkap kian serius. Sorot matanya benar benar berbinar.
Entah apa yang Jeevan pikirkan tentang percakapan sore ini. Tentang kata-kata yang meluncur pelan dari bibir Kian, seperti angin yang menyapu dedaunan yang gugur secara perlahan, tapi terasa. Yang jelas, sorot mata Kian tak sedang bercanda. Tak ada celoteh khas, tak ada senyum jahil seperti biasanya.
Jeevan tidak menjawab panjang. Hanya satu kalimat, sederhana "saya gak bisa janjiin kamu apa apa kian "
Hal itu cukup untuk membuat dada Kian sesak oleh rasa syukur yang sunyi.
Di balik ketegasannya, Jeevan sedang belajar peduli. Dan Kian merasakannya. Ia tak butuh janji. Ia tak minta kata cinta. Cukup keberadaan Jeevan di sampingnya sore itu, membuat dunia terasa sedikit lebih bersahabat.
Bahkan kian berpikir " om gantengnya udah mulai nyaman ngomong ".
.
.
.
...****************...