menceritakan tentang kisah dyah suhita, yang ketika neneknya meninggal tidak ada satupun warga yang mau membantu memakamkannya.
hingga akhirnya dyah rela memakamkan jasad neneknya itu sendirian, menggendong, mengkafani, hingga menguburkan neneknya dyah melakukan itu semua seorang diri.
tidak lama setelah kematian neneknya dyah yaitu nenek saroh, kematian satu persatu warga desa dengan teror nenek minta gendong pun terjadi!
semua warga menuduh dyah pelakunya, namun dyah sendiri tidak pernah mengakui perbuatannya.
"sudah berapa kali aku bilang, bukan aku yang membunuh mereka!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Abdul Rizqi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
sumpah!
"Sabar nek, sebentar lagi kita akan sampai!"
Seorang gadis muda tengah menggendong neneknya yang sedang sakit parah sejak 1 tahun belakangan ini.
Di tengah hujan gerimis yang tengah membasahi bumi. Kilatan petir yang menyambar, menjadi satu-satunya penerangan yang dia punya. Gadis itu tanpa gemetar terus berjalan di tengah kegelapan malam.
Nama gadis itu adalah dyah suhita...
Malam yang sunyi, dengan jalanan becek dan berlumpur akibat hujan yang terus mengguyur desa itu.
Desa wanara, adalah satu-satunya desa pedalaman yang ada di kota itu. Desa yang sangar jauh dengan hiruk pikuk kota.
Sudah sangat lama, dyah menggendong neneknya yang bahkan sudah tidak bergerak sama sekali.
Harapannya setelah tiba di puskesmas, neneknya akan mendapatkan perawatan dan sembuh. Tetapi fakta berkata lain, nenek yang dia harapkan sembuh itu, sudah tidak bernyawa.
"Nek, bangun nek. Kita sudak akan sampai! Nenek pasti kedinginan yah?" Tanya dyah sambil mengguncang-guncangkan tubuhnya neneknya menggunakan pundaknya.
Sayangnya neneknya itu sudah sama sekali tidak merespon. Bahkan hembusan nafas di hidung sudah tidak terasa di tengkuk dyah.
Mata dyah tertuju di pos kampling samping jalan, kakinya melangkah dengan begitu cepatnya, membawa tubuh neneknya yang sudah lemas terkulai.
Dyah menidurkan neneknya, di papan lantai pos ronda. Dyah berusaha sekuat tenaga membangunkan neneknya, tetapi sama sekali tidak ada pergerakan.
"nek bangun, nek! Tolong jangan bercanda!" Pekik dyah dengan air mata yang sudah membasahi pipi. Tubuhnya yag basah akibat air hujan, tetap tidak membuat wajah ayunya menghilang.
Karena neneknya tidak kunjung bergerak dyah memberanikan diri menempelkan jarinya ke lubang hidung neneknya.
"Aaaa! Nenek! Jangan tinggalin dyah, nek. Dyah tinggal dengan siapa kalau nenek pergi?" Teriak dyah yang memecahkan tangis hingga menembus rintikan hujan malam ini. Ia memeluk erat tubuh neneknya yang hanya tertinggal tulang, kehilangan daging sejak sakit yang ia derita.
Dengan hati yang begitu hancur dyah kembali menggendong tubuh neneknya itu. Kembali membawa ke desa dan akan meminta bantuan ke warga untuk membantu memakamkannya.
Di sepanjang perjalanan yang sepi dengan kanan kiri hutan dan perkebunan yang masih asri. Dyah mengusap air mata seolah tidak memiliki jalan untuk berhenti.
Setibannya di salah satu rumah warga dyah memberanikan diri mengetuk pintunya.
Tok... tok... tok...
Dengan isakan yang terus keluar dari bibir tipisnya, dyah berharap ada warga yang akan membantunya.
Kriieeeett!!
Pintu yang terbuat dari papan kayu hutan itu terbuka, engselnya yang sudah berkarat membuat pintu itu berderit ketika di buka.
"Dyah!" Pekik si pemilik rumah dengan mata melotot tajam melihat dyah yang tengah menggendong neneknya, di pundak belakangnya.
"Ngapain kamu kesini?" Tanyanya ketus.
"Tolong saya! Nenek saya meninggal, saya tidak bisa memakamkannya." Lirih dyah di selingi isakan.
"Tidak! Jangan kotori rumah saya dengan wanita penyembah iblis ini! Pergi!" Serunya. Warga itu sama sekali tidak mengasihani wajah dyah yang sudah basah dengan air mata dan air hujan.
"Tolong wak, uwak adalah petua desa. Kemana lagi saya akan meminta pertolongan?" Ucap dyah dengan wajah memelas.
Warga yang di panggil uwak oleh dyah menatap sinis dyah, kemudian berucap, "kamu dengan ya. Yang mencuri hewan ternak di desa ini dan mengganggu ketentraman warga, itu sudah jelas nenekmu! Baguslah kalua dia sekarang mati!" Ucapnya yang langsung membuat hati dyah sakit.
Dyah terdiam seribu bahasa, hingga akhirnya pintu kayu itu tertutup begitu kencang di hadapannya.
Dyah kembali kerumahnya dengan air mata yang bercucuran. Hatinya hancur, hidupnya seolah tidak punya pondasi.
Kebetulan di pos ronda yang tak jauh dari rumahnya ada beberapa bapak-bapak yang sedang berjaga. Bibir dyah mengukur senyuman, sembari berjalan mendekati kerumunan bapak-bapak itu.
"Mas, pak! Tolong saya. Nenek saya meninggal, tolong bantu saya untuk mengurus jenazahnya!" Ucap dyah sambil mendekati kerumunan bapak-bapak itu.
Mendengar ucapan dyah semua laki-laki di pos ronda itu saling tatap. Kemudian salah satu bapak-bapak berucap, "maaf dyah, kami tidak bisa membantu kamu. Nenekmu itu pengabdi setan! Kami tidak ingin tertular sial jika membantumu!" Jawab salah satu dari mereka.
"Halah, kenapa harus pakai maaf maaf segala! Itu memang benar adanya. Biarkan saja jasadnya membusuk di makan belatung, tidak perlu di makamkan!" Timpal warga lainnya. Mereka semua lekas meninggalkan dyah yang hanya bisa terdiam.
Tangannya yang menopang jasad neneknya terkepal hebat. Bibirnya yang tadi tercebik karena menahan isakan tangis, kini berubah menekuk menahan amarah.
"Heyyy... kalian! Aku dyah suhita, bersumpah desa wanara ini tidak akan pernah mendapatkan ketenangan! Dan akan mendapatkan bala yang jauh lebih menyeramkan hingga mengambil satu persatu dari kalian semua! Selama kalian masih berfikir nenekku penyembah setan. Dan kalian tidak mau bersujud dan meminta maaf di makam nenekku, maka desa ini akan berubah menjadi desa mati!" Teriak dyah dengan sangat lantang, kilat petir menyambar dengan terangnya, menimbul percikan api di belakang dyah karena telah menyambar salah satu pohon.
Para laki-laki baik bapak-bapak dan para remaja langsung berbalik dan terdiam. Tanpa mereka sadari kaki dan tangan mereka menggigil, melihat sumpah dyah yang seolah di saksikan oleh alam.
Mereka bergegas lari tunggang langgang, hingga beberapa kali terjatuh. Tetapi meski pun begitu mereka sama sekali tidak memiliki niat, untuk mencabut ucapan dan menolong dyah.
Dengan amarah yang masih membara dyah kembali berjalan dengan membawa tubuh neneknya yang sudah tidak lagi bernyawa di gendongan belakangnya.
Malam ini adalah malam kepergian seorang nenek-nenek tua yang di tuduh pengabdi setan, air hujan dan pohon-pohon rindang menjadi saksi bisu atas peristiwa memilukan ini.