Maksud hati merayakan bridal shower sebagai pelepasan masa lajang bersama teman-temannya menjelang hari pernikahan, Aruni justru terjebak dalam jurang petaka.
Cita-citanya untuk menjalani mahligai impian bersama pria mapan dan dewasa yang telah dipilihkan kedua orang tuanya musnah pasca melewati malam panjang bersama Rajendra, calon adik ipar sekaligus presiden mahasiswa yang tak lebih dari sampah di matanya.
.
.
"Kamu boleh meminta apapun, kecuali perceraian, Aruni." ~ Rajendra Baihaqi
Follow Ig : desh_puspita
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 34 - Gadis yang Sama
"Aku tahu." Suara Dewangga terdengar datar, seolah mencoba untuk meredakan ketegangan yang semakin terasa di antara mereka.
"Kalau tahu, kenapa nyebutnya makhluk begitu?" Aruni menuntut penjelasan dengan nada yang tajam, tak ubahnya seperti anak kecil yang mempermasalahkan hal sepele, begitulah keadaan Aruni saat ini.
Suaranya sedikit meninggi, mencerminkan rasa tidak terima yang semakin membesar. Setiap kata yang diucapkannya seperti menuntut jawaban yang lebih dari sekadar alasan biasa.
Dewangga menatap Aruni sejenak, tertegun dengan sikapnya yang tiba-tiba saja berubah menjadi begitu tegas.
Tanpa sadar, tangannya terangkat dan mulai memijat pangkal hidungnya, tanda kebingungannya. Dewangga tidak tahu harus bersikap bagaimana menghadapi Aruni yang kini berbeda dari sebelumnya.
"Iya, masuklah ... sepertinya kalian terlihat lelah." Dewangga akhirnya mengalah, meskipun dengan jelas di wajahnya tergambar rasa bingung.
Dia sadar betul bahwa dirinya tidak menyangka Aruni akan begitu cepat berpihak pada Rajendra.
Beberapa hari yang lalu, pada hari pernikahan, dia melihat sendiri bagaimana kerasnya Aruni menolak kehadiran Rajendra dalam hidupnya.
Saat itu, Aruni terlihat begitu tegas dengan pendiriannya, bahkan seolah menutup mata terhadap kenyataan yang ada.
Dewangga juga mengingat betul bagaimana Aruni dengan berat hati merawat Rajendra ketika pria itu sakit. Aruni tampak seperti orang yang dipaksa menjaga pasien tipes, kelihatan enggan dan terpaksa.
Namun, hari ini segalanya berubah. Dewangga tidak menyangka melihat Aruni dengan jelas membela Rajendra ketika pria itu disebut makhluk.
Padahal, kata tersebut sebenarnya tidak terlalu serius. Tidak ada unsur penghinaan atau merendahkan, hanya sebuah sindiran biasa.
Akan tetapi, dari ekspresi Aruni yang tajam, Dewangga bisa melihat bahwa Aruni tidak suka dengan sebutan itu.
Menyadari perasaan Aruni yang begitu melawan, Dewangga tanpa sadar menaruh curiga pada Rajendra yang masih berdiri diam di tempatnya. Hatinya mulai dipenuhi tanda tanya, ada sesuatu yang tidak ia ketahui antara mereka.
Sementara Aruni sudah lebih dulu melangkah masuk ke dalam rumah, tubuhnya melenggok anggun saat ia berjalan, seolah ingin menunjukkan bahwa sikapnya yang keras bukan tanpa alasan.
Setiap langkahnya penuh dengan tujuan, langkah yang memantulkan ketegasan yang tidak pernah dia tunjukkan sebelumnya.
Kini, hanya Dewangga dan Rajendra yang tersisa di luar. Suasana semakin mencekam, dan keduanya saling memandang dengan tatapan yang tajam.
Tidak ada kata-kata yang terucap, namun ada gelombang ketegangan yang begitu terasa di udara.
Kedua pria itu saling menilai, seolah sedang mengukur kekuatan satu sama lain, menunggu siapa yang akan bergerak lebih dulu.
Perlahan, Dewangga mendekat. Langkahnya tenang, namun setiap langkahnya seolah mengarah pada ketegangan yang semakin menebal.
Dewangga berhenti tepat di sisi Rajendra, dan dalam keheningan yang seolah membekukan waktu, dia berbisik pelan, cukup hanya untuk didengar oleh Rajendra saja.
"Agaknya, kau sudah mendapatkan ruang di hati Aruni, ya?" Dewangga bertanya dengan nada yang terdengar seolah mencoba mencari kepastian.
Rajendra menatap Dewangga sejenak, seolah menimbang jawabannya. "Mungkin, aku harap juga begitu," jawab Rajendra dengan harapan yang tulus, meski ia tahu bahwa harapan itu terlalu ketinggian.
Dewangga menyeringai tipis, matanya menyiratkan ketegangan yang tidak bisa disembunyikan. "Dan kuharap kau tahu diri, Rajendra. Aruni tidak sama seperti gadis-gadismu itu."
Dewangga berucap dengan tegas, menekankan kata-katanya, seolah memberi peringatan pada Rajendra bahwa Aruni bukan sembarang wanita yang bisa diperlakukan dengan seenaknya.
Rajendra membalas tatapan Dewangga dengan ketenangan yang tidak tergoyahkan. "Kau tenang saja, aku sangat tahu diri, Dewangga," jawab Rajendra dengan keyakinan, meskipun dalam hatinya ia merasakan betapa dalamnya peringatan itu.
.
.
Sejenak meninggalkan mereka yang kini tengah bicara, Aruni terus melanjutkan langkah untuk masuk ke dalam rumah dengan perasaan ganjil.
Dia merasa ada yang aneh dengan sikap Dewangga dan Rajendra. Sejak awal, keduanya tampak tidak begitu akrab, bahkan ada ketegangan yang jelas terasa di udara.
Namun, Aruni berusaha mengabaikan perasaan itu, lebih memilih untuk berjalan ke ruang tengah dan mencoba menenangkan pikirannya.
Akan tetapi, setelah beberapa detik, kegelisahannya membuat langkah Aruni berhenti sejenak. Dewangga dan Rajendra masih berada di luar, berbincang dengan serius.
Suara mereka tidak terlalu keras, tapi cukup untuk membuat Aruni merasa tidak enak.
Ada sesuatu dalam nada bicara mereka yang membuat Aruni curiga. Entah kenapa, ada perasaan yang aneh di dadanya, perasaan yang seperti menuntutnya untuk bertindak segera.
Tanpa berpikir panjang, Aruni membalikkan badan dan menuju ke pintu depan lagi. Pandangannya tajam, matanya tertuju pada kedua pria itu yang masih tampak berbicara, mungkin lebih dari yang seharusnya.
Ada ketegangan yang semakin mengisi ruang di antara mereka, dan Aruni bisa merasakannya.
Dengan langkah cepat, Aruni mendekati Dewangga dan Rajendra yang masih terlibat dalam pembicaraan mereka dan langsung meraih lengan Rajendra, menariknya dengan lembut namun tegas. "Kak."
Suaranya terdengar sedikit memerintah, tapi lebih karena perasaan tidak nyaman yang tak tertahankan. "Ayo masuk," tambah Aruni lagi, matanya menatap Dewangga sejenak sebelum kembali beralih pada Rajendra.
Rajendra tampak terkejut sejenak, tapi saat matanya bertemu dengan mata Aruni, dia langsung mengerti dan mengangguk pelan.
Tak selesai di sana, Rajendra juga segera mengikuti Aruni masuk ke dalam rumah.
Meninggalkan Dewangga yang melihat Aruni menarik Rajendra, hanya diam, meski ada sedikit senyum yang tampak di sudut bibirnya, seolah tidak terlalu terkejut dengan tindakan Aruni.
Di sisi lain, begitu masuk Aruni langsung menutup pintu dengan hati-hati. Ruang dalam rumah terasa jauh lebih tenang dibandingkan dengan ketegangan yang tadi melingkupi mereka di luar.
Meski sudah masuk, ternyata tetap saja ada sesuatu yang terus mengganggu pikiran Aruni.
Selama perjalanan mereka ke rumah, ada banyak hal yang dipendam, dan sekarang, setelah melihat interaksi antara Dewangga dan Rajendra, perasaan curiga Aruni semakin kuat.
Dia menoleh ke arah Rajendra, yang berjalan di sampingnya. Meskipun wajahnya tenang, Aruni bisa merasakan ada ketegangan yang tak terucapkan di antara mereka berdua.
Sampai akhirnya, Aruni berhenti di ruang tamu, menatap Rajendra dengan tatapan yang lebih serius.
"Kak Rajendra." Suara Aruni terdengar lebih dalam, penuh penekanan. Dia menarik napas sejenak, mencoba menenangkan hatinya yang mulai berdebar.
"Apa?"
"Boleh aku tanya sesuatu?"
"Boleh, tanya apa memangnya?"
"Jawab jujur ... sebenarnya, apa yang terjadi antara kamu dan Om Dewa?" tanya Aruni, suaranya teredam sedikit, tapi cukup jelas bagi Rajendra untuk menangkap kerisauan yang ada.
Tak segera menjawab, Rajendra terdiam beberapa detik, menatap Aruni dengan ekspresi yang seolah menunjukkan bahwa pertanyaan itu bukan hal yang mudah untuk dijawab.
Sampai pada akhirnya, dia menghela napas pelan dan berjalan beberapa langkah mendekat. "Tidak ada yang penting," jawab Rajendra dengan suara datar, meskipun jelas ada ketegangan yang masih tersisa dalam nada bicaranya. "Hanya beda pendapat saja, tidak ada yang perlu dikhawatirkan."
Begitu jelas Rajendra dan Aruni menatapnya lebih dalam, mencoba membaca ekspresi wajah Rajendra yang tampak begitu terkendali, tapi ada sesuatu yang sulit disembunyikan. "Bohong."
"Serius."
"Aku tahu kamu bohong, jawab jujur ada masalah apa kalian sebenarnya?" Aruni mendesak kejujuran Rajendra, dia tahu betul bahwa pria itu berbohong.
Tak bisa mengelak, Rajendra merasa percuma karena Aruni sepertinya bukan tipe seseorang yang mudah percaya begitu saja dan dia tidak akan berhenti bertanya sebelum sesuai dengan kehendaknya.
"Ehm sebenarnya, masalah kami simple."
"Oh iya? Apa itu?"
Sejenak, Rajendra menarik napas dalam-dalam sebelum kemudian dia embuskan perlahan. "Aku dan Dewangga menyukai gadis yang sama."
Pengakuan Rajendra seketika membuat Aruni memutar bola matanya malas, sungguh masalah yang amat sangat basi. "Hadeuh ... aku pikir apa, perkara receh saja sampai berantem. Emang siapa sih orangnya? Jadi penasaran secantik apa sampai bikin hubungan kalian yang seingatku baik-baik saja jadi retak begitu? Hah?"
.
.
- To Be Continued -