HALIM
Di dunia yang dikuasai oleh kegelapan, Raja Iblis dan sepuluh jenderalnya telah lama menjadi ancaman bagi umat manusia. Banyak pahlawan telah mencoba menantang mereka, tetapi tidak ada yang pernah kembali untuk menceritakan kisahnya.
Namun, Halim bukanlah pahlawan biasa. Ia adalah seorang jenius dengan pemikiran kritis yang tajam, kreativitas tanpa batas, dan… kebiasaan ceroboh yang sering kali membuatnya berada dalam masalah. Dengan tekad baja, ia memulai perjalanan berbahaya untuk menantang sang Raja Iblis dan kesepuluh jenderalnya, berbekal kecerdikan serta sistem sihir yang hanya sedikit orang yang bisa pahami.
Di sepanjang petualangannya, Halim akan bertemu dengan berbagai ras, menghadapi rintangan aneh yang menguji logikanya, dan terlibat dalam situasi absurd yang membuatnya bertanya-tanya apakah ia benar-benar sedang menjalankan misi penyelamatan dunia atau justru menjadi bagian dari kekacauan itu sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ILBERGA214, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 35: Bayangan di Balik Hutan Kelam
Keesokan paginya, matahari mulai merangkak naik di langit, menyinari desa Orlen yang perlahan-lahan kembali hidup. Para penduduk memulai aktivitas mereka, seolah kekhawatiran tentang kekuatan gelap hanyalah bisikan samar yang ingin mereka lupakan.
Di penginapan Daun Maple, Halim dan Rian sudah bersiap melanjutkan perjalanan. Dengan bekal seadanya, mereka berdiri di depan pintu penginapan, menatap jalan yang membentang ke arah barat.
"Hutan Kelam..." gumam Rian dengan nada berat. "Dengar namanya aja udah bikin merinding."
"Justru itu," balas Halim sambil membenarkan tali ranselnya. "Kalau memang ada jejak kekuatan gelap di sana, kita harus tahu apa yang sebenarnya terjadi."
"Tapi, Kak..." Rian menelan ludah. "Kalau penyihir itu masih di sana, gimana?"
Halim terdiam sesaat, menatap lurus ke depan. "Kalau memang begitu, kita hadapi."
Tanpa menunggu lebih lama, mereka mulai melangkah meninggalkan desa. Di belakang mereka, pemilik penginapan hanya bisa mengawasi dengan tatapan cemas, seolah mengirimkan doa agar kedua petualang itu kembali dengan selamat.
Perjalanan menuju Hutan Kelam memakan waktu sekitar setengah hari. Jalan setapak yang mereka lewati dipenuhi dedaunan kering, diiringi angin sepoi-sepoi yang berbisik di antara pepohonan.
"Jadi, Kak," Rian membuka percakapan, "menurut Kakak, kenapa si penyihir itu memilih Hutan Kelam?"
"Hutan itu dulunya adalah tempat suci," jawab Halim. "Katanya, di sana ada reruntuhan kuil kuno yang menyimpan kekuatan besar. Kalau penyihir itu berhasil menguasainya..."
"Jangan-jangan dia mau bangkitin sesuatu yang berbahaya?"
"Mungkin saja," Halim mengangguk pelan. "Makanya kita nggak bisa membiarkan dia bertindak lebih jauh."
Langkah mereka terus berlanjut. Semakin mendekati hutan, suasana di sekitar perlahan berubah. Udara terasa lebih lembab, dan kabut tipis mulai menyelimuti tanah. Pepohonan besar menjulang tinggi, membentuk kanopi yang menghalangi cahaya matahari.
"Sesuai namanya, Hutan Kelam memang suram banget," komentar Rian sambil mengusap lengannya. "Udara di sini... berat."
"Tetap waspada," Halim memperingatkan. "Tempat seperti ini biasanya jadi sarang monster."
Baru saja Halim mengucapkan kata-kata itu, semak-semak di sisi jalan tiba-tiba bergerak. Rian langsung siaga, meraih belati di pinggangnya.
"Siap-siap, Kak!"
Namun, dari balik semak-semak, bukan monster yang muncul, melainkan seekor kelinci kecil berbulu abu-abu. Hewan itu menatap mereka sesaat, lalu melompat pergi.
"Astaga..." Rian menghela napas lega. "Aku kira itu monster."
"Jangan terlalu santai," Halim memperingatkan. "Kadang yang terlihat jinak bisa jadi umpan."
Mereka melanjutkan perjalanan dengan langkah hati-hati. Semakin dalam mereka masuk ke hutan, semakin tebal kabut yang menyelimuti.
Setelah beberapa jam berjalan, Halim tiba-tiba menghentikan langkahnya.
"Tunggu."
"Ada apa, Kak?"
Halim berjongkok, memperhatikan tanah dengan saksama. Jejak kaki besar dengan cakar tajam terpatri di tanah berlumpur. Aroma busuk samar tercium di udara.
"Ini..."
"Jejak monster?" tanya Rian.
"Bukan sembarang monster." Halim menyentuh jejak itu. "Ini jejak milik serigala iblis. Sama seperti yang kita lawan di hutan sebelumnya."
Rian bergidik ngeri. "Kalau mereka ada di sini, berarti kita benar-benar di jalur yang tepat."
"Tapi itu juga berarti bahaya mengintai di sekitar kita."
Tanpa membuang waktu, mereka mempercepat langkah. Suasana di sekitar semakin mencekam, disertai suara samar yang terdengar seperti bisikan angin.
Namun, semakin jauh mereka melangkah, semakin jelas Halim merasakan sesuatu yang aneh. Seolah ada tatapan tak terlihat yang mengawasi mereka dari kegelapan.
"Rian," panggil Halim pelan. "Kamu merasakan sesuatu?"
"Iya, Kak. Rasanya seperti..."
Sebelum Rian bisa menyelesaikan kalimatnya, suara gemuruh tiba-tiba menggema. Dari balik pepohonan, dua sosok besar muncul dengan mata merah menyala — dua ekor serigala iblis yang menggeram ganas.
"Siap bertarung!" seru Halim sambil menarik pedangnya.
Rian menghunus belatinya, bersiap menghadapi ancaman di depan mereka.
Serigala iblis itu langsung melompat ke arah Halim dengan kecepatan luar biasa. Namun, Halim sigap menghindar, pedangnya berputar memotong udara. Kilatan logam bertemu dengan cakar tajam, menciptakan percikan api singkat.
"Rian, jaga jarak!" teriak Halim.
"Tapi Kak—"
"Percayakan yang ini padaku!"
Halim terus bertarung, mengimbangi kekuatan serigala iblis yang jauh lebih besar. Gerakannya cepat dan penuh perhitungan, memanfaatkan celah sekecil apapun untuk menyerang balik.
Sementara itu, serigala kedua mengincar Rian. Namun, Rian tak gentar. Dengan gesit, dia memanfaatkan kecepatan dan kelincahannya untuk menghindari serangan demi serangan.
"Dasar monster!" geram Rian sambil melemparkan belatinya tepat ke mata serigala.
Serigala itu meraung kesakitan, memberikan Rian kesempatan untuk menyerang balik. Dengan satu ayunan kuat, dia berhasil menusukkan belati keduanya ke leher monster itu.
"Rian!" teriak Halim. "Bagus!"
Namun, pertempuran belum berakhir. Serigala iblis yang dilawan Halim masih berdiri tegak, matanya memancarkan kebencian. Dengan satu lompatan besar, monster itu mencoba menerkam Halim.
"Jangan pikir aku bakal kalah," desis Halim.
Dia memusatkan kekuatan, lalu menebaskan pedangnya dengan gerakan cepat. Cahaya putih samar berkilat, membelah udara dan menghantam tubuh serigala iblis. Monster itu meraung keras sebelum akhirnya terjatuh, tak bergerak lagi.
Halim menghela napas berat. "Selesai."
"Astaga, Kak... itu tadi gila banget," ujar Rian sambil terduduk kelelahan.
"Dan ini baru permulaan."
Setelah memastikan kedua serigala benar-benar tak bernyawa, Halim dan Rian melanjutkan perjalanan. Namun, perasaan aneh itu masih terus mengganggu Halim.
Saat mereka tiba di sebuah area yang lebih terbuka, di tengah rerimbunan hutan, suara berbisik mulai terdengar semakin jelas.
"Mengapa kalian terus maju...? Apa yang kalian cari...?"
Halim dan Rian saling pandang, memastikan mereka sama-sama mendengar suara itu.
"Siapa di sana?" seru Halim, menghunus pedangnya.
Namun, tak ada jawaban. Hanya kabut yang bergerak pelan, seolah menyembunyikan sosok yang tak terlihat.
"Kalian tak bisa lari dari kegelapan."
Tiba-tiba, dari dalam kabut, sosok berjubah hitam muncul. Wajahnya tersembunyi di balik tudung, namun aura gelap yang memancar darinya terasa begitu kuat.
"Kau..." Halim mempererat cengkramannya pada pedang.
"Pertemuan ini tak bisa dihindari," suara sosok itu terdengar dingin. "Semakin dekat kalian pada kebenaran, semakin cepat kegelapan akan menelan kalian."
"Kami tidak takut!" balas Rian dengan suara gemetar.
Sosok itu tersenyum samar. "Kita lihat saja."
Dan dalam sekejap, kabut menelan sosok tersebut, meninggalkan Halim dan Rian yang berdiri tertegun.
"Kak..." bisik Rian. "Apa... itu tadi?"
"Aku nggak tahu." Halim menggeleng. "Tapi yang pasti, kita belum selesai. Kita harus terus maju."
Dengan tekad yang semakin membara, mereka melanjutkan langkah. Namun di lubuk hatinya, Halim tahu bahwa bayangan kegelapan itu belum benar-benar pergi. Dan suatu saat, mereka pasti akan berhadapan lagi.
sekarang semakin banyak yang mengedit dengan chat GPT tanpa revisi membuat tulisan kurang hidup. saya tahu karena saya juga pakai 2 jam sehari untuk belajar menulis. Saya sangat afal dengan pola tulisan AI yang sering pakai majas-majas 'seolah' di akhir kalimat secara berlebihan dengan struktur khas yang rapih.
ya saya harap bisa diedit agar lebih natural.
Udah baca eps 1 ini, ceritanya lumayan menarik. Kapan² gue kesini lagi ya kalau ada waktu, Semangat.