NovelToon NovelToon
Cinta Yang Terbalaskan Oleh Takdir

Cinta Yang Terbalaskan Oleh Takdir

Status: tamat
Genre:Tamat / Cintapertama / Percintaan Konglomerat / Kehidupan di Sekolah/Kampus / Karir / Persahabatan / Romansa
Popularitas:377
Nilai: 5
Nama Author: Rumah pena

Ini adalah kisah antara Andrean Pratama putra dan Angel Luiana Crystalia.

kisah romance yang dipadukan dengan perwujudan impian Andrean yang selama ini ia inginkan,

bagaimana kelanjutan kisahnya apakah impian Andrean dan apakah akan ada benis benih cinta yang lahir dari keduanya?

Mari simak ceritanya, dan gas baca, jangan lupa like dan vote ya biar tambah semangat.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rumah pena, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 14: Rumah yang Ditemukan, Luka yang Dikenang

Jakarta, satu tahun setelah pernikahan.

Subuh masih menggantung di langit Jakarta. Suasana di apartemen Andrean dan Kayla tenang. Lampu-lampu kota mulai meredup, digantikan cahaya pagi yang samar. Andrean terbangun lebih dulu. Pelan-pelan, ia bangkit dari ranjang, menatap Kayla yang masih tertidur dengan Reyhan di pelukannya. Anak laki-laki itu baru berusia enam bulan, mungil, dengan tarikan napas yang teratur. Pemandangan itu membuat Andrean diam sejenak, menyimpan rasa syukur yang dalam di dadanya.

Ia beranjak ke ruang tamu, duduk di kursi kayu kecil di sudut yang biasa ia gunakan untuk menulis. Laptopnya sudah terbuka, layar putih yang kosong menunggu diisi. Judul di bagian atas file itu: "Laut Tanpa Peta". Sebuah cerita yang sebenarnya tentang dirinya sendiri—tentang kehilangan arah, tentang mencari rumah.

Jari-jarinya mengetik pelan, kata demi kata mengalir seperti bisikan hati yang perlahan-lahan menemukan ritmenya.

Kayla muncul dari balik pintu dapur sekitar pukul tujuh pagi. Masih mengenakan piyama, rambut acak-acakan, namun senyumnya tetap sama hangat seperti pertama kali Andrean mengenalnya. Ia menyodorkan secangkir kopi hangat.

“Dari jam berapa ngetik?” tanyanya sambil duduk di samping Andrean.

Andrean menerima kopi itu dengan senyuman kecil. “Dari subuh.”

Kayla mengangguk, matanya memperhatikan halaman kosong di layar. “Kamu nulis apa sekarang?”

“Cerita tentang orang yang nyasar jauh banget, tapi akhirnya nemuin arah pulang,” jawab Andrean.

Kayla terdiam sesaat. Lalu, ia berkata pelan, “Aku harap... aku rumah itu.”

Andrean menoleh padanya, menatap dalam. “Kamu lebih dari itu, Kay. Kamu yang bikin gue berhenti nyasar.”

Mereka saling bertatapan dalam diam yang tenang. Di balik senyum Kayla, Andrean tahu, masih ada rasa ragu. Tentang Angel. Tentang masa lalu yang kadang suka datang tanpa permisi.

 

Dua Minggu Kemudian.

Kabar dari penerbit masuk ke email Andrean. Novel “Rumah yang Lain” resmi menjadi best-seller nasional. Undangan untuk tampil di talkshow televisi nasional datang tak lama setelah itu.

Kayla yang pertama kali membaca email itu. Ia tertawa kecil, lalu mencubit pipi Andrean sambil berkata, “Akhirnya penulis favoritku diundang TV.”

Andrean tersenyum, tapi dalam hatinya ada perasaan yang susah dijelaskan. Sebuah keraguan kecil yang tak mau benar-benar pergi. Ia ingat, dulu Angel sering bilang, “Suatu hari, semua orang bakal baca ceritamu, Dre.”

Kini, hari itu datang, tapi Angel sudah jauh, dan yang ada di sampingnya sekarang adalah Kayla—wanita yang memilih tinggal, meskipun jalan mereka nggak selalu mulus.

 

Malam Sebelum Wawancara.

Andrean duduk di balkon apartemen. Rokok di tangannya perlahan habis, asap tipis melayang ke langit malam Jakarta. Ponselnya bergetar. Notifikasi dari Instagram muncul.

Angel posted a new photo.

Jari Andrean otomatis membuka. Foto itu menunjukkan Angel sedang duduk bersama anak-anak di Kenya, mengajarkan mereka membaca. Ada kehangatan di senyumnya, tapi juga kelelahan yang jelas terlihat.

Caption-nya singkat, tapi menohok.

"Kadang rumah bukan tempat, tapi cerita yang kita tulis buat orang lain."

Andrean memandangi layar ponselnya lama. Ia tidak mengetik komentar apa-apa. Tidak ada like. Hanya diam, lalu menghela napas panjang, mematikan layar ponselnya, dan kembali ke dalam kamar. Kayla sedang menidurkan Reyhan yang mulai rewel.

Tanpa banyak kata, Andrean memeluk mereka berdua. Hangat. Nyaman. Rumah.

 

Hari Wawancara.

Di studio televisi, Andrean duduk dengan tenang, wajahnya terlihat percaya diri. Pertanyaan demi pertanyaan mengalir, tentang perjalanan kariernya, tentang masa-masa sulit, hingga momen ketika akhirnya karyanya diakui banyak orang.

Namun, satu pertanyaan dari pembawa acara membuat Andrean terdiam.

“Kalau bisa kembali ke masa lalu, apa yang ingin kamu ubah?”

Andrean memandang jauh, pikirannya melayang ke masa-masa bersama Angel, ke stasiun di Tokyo, ke ruang tamu kecil di rumah ibunya, ke malam-malam ia dan Kayla makan di warung tenda sehabis lelah bekerja.

Akhirnya ia menjawab, pelan namun pasti, “Nggak ada. Semua salah, semua sakit, semua kehilangan... itu yang bikin gue jadi diri gue sekarang.”

Tepuk tangan terdengar di studio, tapi dalam hati Andrean, ada keheningan panjang. Ia sadar, jika Angel tidak pernah pergi, ia mungkin tidak akan pernah sampai di titik ini.

 

Dua Bulan Kemudian.

Email dari Angel tiba di inbox Andrean.

 

From: Angel Clarista

To: Andrean Pratama Putra

Subject: Untuk Terakhir Kali

Isi pesannya:

*Dre,

Gue nonton wawancara lo. Gue bangga. Lo akhirnya jadi orang yang dulu gue percaya. Lebih dari itu, lo jadi orang yang lo sendiri pilih buat jadi.

Gue nggak bakal ganggu lo lagi. Ini terakhir kalinya gue hubungi lo. Gue cuma mau lo tenang, nggak usah lihat ke belakang.

Terima kasih karena pernah jadi bagian dari cerita gue. Jaga Kayla baik-baik. Dia pantas buat lo. Lo beruntung punya dia.

Selamat tinggal, Dre.*

 

Andrean membaca email itu berkali-kali. Lama. Sampai akhirnya Kayla datang membawakan teh hangat, menatap Andrean dengan pandangan yang ia kenal—lembut, sabar, dan tenang.

“Angel?” tanya Kayla pelan.

Andrean hanya mengangguk. Ia menatap Kayla, lalu berkata, “Dia pamit.”

Kayla diam sejenak. “Kamu udah siap buat benar-benar nutup cerita itu?”

Andrean menarik napas dalam, lalu mengangguk. “Udah.”

“Kalau gitu, hapus email-nya,” kata Kayla, tenang namun pasti.

Andrean tersenyum kecil, lalu mengarahkan kursor ke tombol delete.

“Done,” katanya, seraya menatap mata Kayla.

Kayla tersenyum kembali. Mereka saling berpelukan, kali ini lebih erat, lebih dalam. Andrean merasa sesuatu di dadanya akhirnya lepas. Lega. Selesai.

 

Tiga Tahun Kemudian.

Andrean dan Kayla kini tinggal di rumah kecil di pinggiran Bogor. Anak kedua mereka, Anelia, baru berusia satu tahun. Rumah itu sederhana, dengan taman kecil di belakang tempat Andrean biasa menulis di pagi hari sambil menyeruput kopi.

Angel? Ia masih di Kenya. Kadang wajahnya muncul di berita sebagai penerima penghargaan kemanusiaan. Namun, sejak email terakhir itu, tidak ada lagi kabar langsung antara mereka.

Suatu hari, Kayla duduk di kursi taman, membaca novel baru Andrean, “Laut Tanpa Peta.” Ia berhenti di halaman persembahan.

"Untuk orang-orang yang mengajarkan gue tentang kehilangan, dan tentang arti rumah. Salah satunya, Angel."

Kayla membaca kalimat itu pelan, lalu mengangguk. Ia mengerti. Bukan lagi tentang cemburu, bukan tentang rasa takut. Tapi tentang memahami bahwa semua kisah itu bagian dari siapa Andrean sekarang.

Ia menutup buku itu, menatap Andrean yang sedang bermain bersama Reyhan dan Anelia di halaman. Di detik itu, Kayla tahu, Andrean sudah benar-benar pulang.

 

Penutup Chapter 14:

Hidup tidak selalu tentang siapa yang kita cintai paling dalam. Kadang, hidup tentang siapa yang bertahan, siapa yang memilih tinggal, siapa yang mau jalan bareng kita, meskipun jalannya nggak selalu lurus.

Dan buat Andrean, rumah bukan hanya tentang tempat, tapi tentang Kayla. Tentang tangan yang selalu menariknya kembali pulang.

 

BERSAMBUNG.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!