NovelToon NovelToon
Adharma

Adharma

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Horror Thriller-Horror / Kriminal dan Bidadari
Popularitas:2.1k
Nilai: 5
Nama Author: Saepudin Nurahim

Di Kota Sentral Raya, kejahatan bukan lagi bayangan yang bersembunyi—ia adalah penguasa. Polisi, aparat, hingga pemerintah berlutut pada satu orang: Wali Kota Sentral Raya, dalang di balik bisnis ilegal, korupsi, dan kekacauan yang membelenggu kota ini.

Namun, ada satu sosok yang tidak tunduk. Adharma—pria yang telah kehilangan segalanya. Orang tua, istri, dan anaknya dibantai tanpa belas kasihan oleh rezim korup demi mempertahankan kekuasaan. Dihantui rasa sakit dan dendam, ia kembali bukan sebagai korban, tetapi sebagai algojo.

Dengan dua cerulit berlumuran darah dan shotgun di punggungnya, Adharma tidak mengenal ampun. Setiap luka yang ia terima hanya membuatnya semakin kuat, mengubahnya menjadi monster yang bahkan kriminal pun takut sebut namanya.

Di balik topeng tengkorak yang menyembunyikan wajahnya, ia memiliki satu tujuan: Menumbangkan Damar Kusuma dan membakar sistem busuk yang telah merenggut segalanya darinya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Saepudin Nurahim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Kehangatan Rumah

Suasana rumah yang semula tenang tiba-tiba dipecahkan oleh teriakan keras. Darma terbangun dengan napas memburu, keringat dingin mengalir di pelipisnya. Tubuhnya terasa kaku, seolah masih terjebak dalam mimpi buruk itu—mimpi yang sama, berulang kali.

Darah. Jeritan. Sinta dan Dwi. Kepala mereka ditembak tepat di depan matanya. Ia ingin berlari, ingin meraih mereka, tetapi tubuhnya selalu terasa berat. Seakan ada rantai yang mengikatnya, memaksanya menyaksikan semuanya tanpa bisa berbuat apa-apa.

Darma mencengkeram rambutnya, menggeram pelan, berusaha mengendalikan detak jantungnya yang berdegup begitu cepat. Tapi semuanya terasa begitu nyata.

Langkah tergesa terdengar dari kamar sebelah. Rini muncul dengan wajah panik, mengenakan kaus tidur dan celana pendek. “Darma!” panggilnya, setengah berlari mendekat.

Saat melihat Darma terduduk di sofa dengan wajah penuh penderitaan, Rini langsung berjongkok di hadapannya.

“Kau mimpi buruk lagi?” tanyanya, suaranya lembut namun penuh kekhawatiran.

Darma tidak menjawab. Tangannya masih mencengkeram rambutnya, tubuhnya sedikit gemetar. Nafasnya masih berat.

Rini tidak berkata apa-apa lagi. Ia hanya mengangkat tangannya perlahan, lalu menyentuh wajah Darma dengan lembut, mengusap keringat dingin yang membasahi dahinya.

“Darma, tarik napas pelan-pelan,” bisiknya.

Darma mencoba, meskipun sulit. Dadanya terasa sesak. Rasa sakit itu masih ada, masih menusuk begitu dalam.

Rini melihatnya dengan mata berkaca-kaca. Ia tahu mimpi seperti ini bukan sekadar bunga tidur. Ini adalah trauma yang terus menggerogoti Darma dari dalam.

Tanpa berpikir panjang, ia menarik tubuh Darma ke dalam pelukannya.

Darma sedikit tersentak, tidak menyangka akan dipeluk seperti ini. Tubuh Rini terasa hangat, berbeda dengan dinginnya malam yang menusuk kulitnya.

“Sinta pasti ingin kau bertahan,” bisik Rini di telinganya. “Dwi juga. Mereka ingin kau hidup, Darma.”

Darma memejamkan mata, membiarkan dirinya tenggelam dalam pelukan itu. Ia menggigit bibirnya kuat-kuat, menahan sesuatu yang selama ini ia pendam. Tapi akhirnya, perlahan-lahan, tangannya terangkat dan membalas pelukan itu dengan erat.

Dada Rini basah. Air mata Darma jatuh tanpa bisa ia kendalikan.

Selama ini, ia selalu berpikir bahwa ia sudah mati bersama keluarganya. Bahwa ia bukan manusia lagi—hanya sekadar mesin pembunuh yang digerakkan oleh dendam. Tapi sekarang, untuk pertama kalinya, ia merasa rapuh.

Rini mengusap punggungnya perlahan, membiarkannya menangis sepuasnya. “Kau tidak sendiri,” bisiknya. “Aku di sini.”

Mereka terdiam cukup lama. Hanya suara napas Darma yang masih tersengal dan detak jantung Rini yang terasa begitu dekat.

Setelah beberapa menit, Darma akhirnya melepas pelukan itu. Ia mengusap wajahnya, mencoba menghapus jejak air mata yang masih tersisa.

“Aku... aku tidak ingin tidur lagi,” gumamnya. Suaranya terdengar parau.

Rini mengangguk. “Aku akan menemanimu.”

Darma menatapnya, sedikit ragu. “Bukankah kau seharusnya tidur?”

Rini tersenyum tipis. “Kau pikir aku bisa tidur setelah mendengar teriakanmu tadi?”

Darma menghela napas, lalu akhirnya tersenyum samar. “Maaf.”

“Tidak perlu minta maaf.” Rini bangkit, mengambil selimut yang tadi digunakan Darma, lalu duduk di sampingnya. “Ayo, kita duduk di sini sampai matahari terbit.”

Darma menatapnya sejenak, lalu mengangguk pelan.

Malam itu, ia tidak tidur lagi. Tapi untuk pertama kalinya, ia tidak merasa sendirian dalam kegelapan.

BAB SELANJUTNYA

Cahaya matahari mulai menyelinap melalui jendela, menerangi ruangan kecil itu dengan sinar keemasan. Aroma tanah yang masih basah setelah embun pagi terasa samar di udara.

Darma baru saja membuka matanya. Ia menghela napas dalam, tubuhnya terasa sedikit lebih ringan dibandingkan tadi malam. Matanya sedikit sembab karena kurang tidur, tapi pikirannya lebih tenang.

Di dapur kecil, terdengar suara panci yang beradu pelan. Rini sedang sibuk menyiapkan sarapan. Wangi nasi goreng yang bercampur dengan aroma telur mulai menyebar ke seluruh ruangan.

Darma bangkit dari sofa, meregangkan tubuhnya sebentar sebelum berjalan ke dapur. Ia melihat Rini dengan celemek lusuhnya, mengaduk nasi goreng dengan penuh konsentrasi.

"Kau bangun juga akhirnya," ucap Rini tanpa menoleh. "Bagaimana perasaanmu?"

Darma menyandarkan tubuhnya di ambang pintu dapur, menatap punggung Rini sejenak sebelum menjawab, "Lebih baik dari tadi malam."

Rini tersenyum kecil, meski tidak menoleh. "Syukurlah."

Tiba-tiba, terdengar langkah kaki kecil yang berlari mendekat.

"Om Darma!"

Darma menoleh dan melihat Bima sudah berdiri di depannya dengan mata berbinar. Bocah itu masih mengenakan piyama bergambar superhero, rambutnya sedikit berantakan karena baru bangun tidur.

"Om nginap di sini ya?" tanyanya polos.

Darma mengangguk, sedikit tersenyum. "Iya."

Bima mendekat, lalu tanpa ragu langsung meraih tangan Darma dan menggenggamnya erat. "Om tidur nyenyak?"

Darma terdiam sebentar, lalu mengangguk lagi. "Lumayan."

Bima tersenyum lebar. "Kalau Om mimpi buruk lagi, aku bisa nemenin Om!"

Darma menatap bocah itu dengan perasaan yang sulit dijelaskan. Ada sesuatu dalam kepolosan Bima yang membuat hatinya terasa hangat, meskipun luka dalam dirinya masih ada.

Rini menoleh sebentar dan melihat mereka, tersenyum tipis. "Bima, bantu ibu siapkan meja, ya?"

"Siap, Bu!" Bima berlari kecil ke ruang makan, mengambil piring-piring dengan tangan mungilnya.

Darma masih menatap bocah itu dengan perasaan yang campur aduk. Ia tahu Bima masih kecil, tapi di balik kepolosannya, ada luka yang sama—kehilangan seorang ayah yang seharusnya masih ada di sisinya.

Rini menyadari tatapan Darma, lalu berkata dengan suara pelan, "Bima selalu merindukan ayahnya. Dia sering bertanya apakah ayahnya ada di surga."

Darma mengalihkan pandangannya ke Rini.

"Dia butuh figur seorang pria di hidupnya," lanjut Rini. "Meskipun aku selalu ada untuknya, tetap saja, ada bagian yang tidak bisa aku isi."

Darma mengangguk pelan. Ia tahu maksud Rini.

Mereka tidak berkata apa-apa lagi. Hanya suara piring yang ditaruh di meja, aroma nasi goreng yang semakin menguat, dan sinar matahari yang masuk perlahan ke dalam rumah kecil itu.

Untuk sesaat, Darma merasakan sesuatu yang hampir ia lupakan sejak lama—kehangatan rumah.

Darma duduk di meja makan, menatap piring nasi goreng di depannya. Asapnya masih mengepul, wangi bawang putih dan kecap menguar lembut ke udara. Di seberangnya, Rini sedang menyuapi Bima yang ceria, bocah itu tertawa kecil sambil mengunyah makanannya.

Namun, bagi Darma, semua itu seolah berubah.

Di tempat Rini, ia melihat sosok Sinta. Senyumnya lembut seperti biasa, menyendokkan nasi ke piring Dwi Handayani yang duduk di sampingnya. Dwi kecil, dengan pipinya yang bulat dan mata polosnya, tertawa riang setiap kali ibunya mengajaknya berbicara.

"Dwi, jangan main sendok. Makan yang benar, sayang," suara lembut Sinta menggema di benaknya.

"Aku suka makan bareng ayah!" Dwi menimpali dengan ceria, menggoyangkan kakinya di kursi.

Darma terpaku. Bayangan itu terasa nyata. Seakan-akan, jika ia mengulurkan tangan, ia bisa menyentuh mereka.

Namun, semua itu hanya ilusi.

Saat ia mengedipkan mata, semuanya kembali ke kenyataan. Di seberangnya, Rini menatapnya dengan cemas.

"Darma?" panggil Rini pelan.

Darma menghela napas dalam. Tangannya yang mengepal di atas meja mulai gemetar sedikit.

"Om Darma kenapa?" Bima menatapnya polos, mengunyah makanannya dengan penuh rasa ingin tahu.

Darma mencoba tersenyum tipis, meskipun terasa berat. "Nggak apa-apa."

Rini diam sejenak, lalu kembali menyuapi Bima. Tapi dari tatapannya, ia tahu ada sesuatu yang mengganggu Darma.

Darma menatap kembali piringnya. Meskipun ia lapar, makanan itu terasa hambar. Bukan karena rasa nasi gorengnya, tapi karena ada sesuatu yang hilang—kehangatan yang dulu pernah ia rasakan setiap pagi, yang kini telah lenyap selamanya.

1
NBU NOVEL
jadi baper ya wkwkwkk
Xratala
keluarga Cemara ini mah /Smirk/
NBU NOVEL: wkwkwkwk versi dark ny
NBU NOVEL: wkwkwkwk versi dark ny
total 3 replies
Xratala
waduh ngena banget /Chuckle/
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!