Shanna Viarsa Darmawan melakukan kesalahan besar dengan menyerahkan kehormatannya pada Rivan Andrea Wiratama. Kepercayaannya yang begitu besar setelah tiga tahun berpacaran berakhir dengan pengkhianatan. Rivan meninggalkannya begitu saja, memaksa Shanna menanggung segalanya seorang diri. Namun, di balik luka itu, takdir justru mempertemukannya dengan Damian Alexander Wiratama—paman Rivan, adik kandung dari ibu Rivan, Mega Wiratama.
Di tengah keputusasaan, Damian menjadi satu-satunya harapan Shanna untuk menyelamatkan hidupnya. Tapi apa yang akan ia temui? Uluran tangan, atau justru penolakan yang semakin menghancurkannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Black moonlight, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bicara
"Oke deh, thanks, Wil. Gue usahain buat ngomong sama dia. Lo bisa balik ke ruangan lo," ucap Damian akhirnya.
Willy hanya mengangkat bahu, lalu beranjak pergi. Setelah itu, Damian kembali fokus pada pekerjaannya. Ia ingin menyelesaikan semuanya lebih cepat agar bisa pulang tepat waktu.
Biasanya, Damian adalah orang terakhir yang meninggalkan kantor. Namun, hari ini untuk pertama kalinya, ia memutuskan untuk pulang on time.
Saat hendak keluar dari ruangannya, suara seseorang menghentikan langkahnya.
"Damian," panggil Rendra.
"Iya, Yah?" Damian menoleh, sedikit terkejut.
"Kita sekantor, tapi sulit sekali ketemu kamu, Dam."
Damian tersenyum kecil. "Maaf, Yah. Tadi agak sibuk ngerjain beberapa hal biar bisa pulang on time."
Rendra mengangkat alisnya, tampak heran. "Tumben."
"Iya, Yah. Kasihan Shanna kalau sendirian terus di rumah," jawab Damian santai.
Sebuah senyum tipis muncul di wajah Rendra. "Ayah seperti melihat orang lain, Dam."
"Hah?"
"Kamu berubah."
Damian terkekeh kecil. "Ah, Ayah bisa aja. Gak ada yang berubah, kok. Cuma sekarang Damian punya prioritas lain."
Rendra mengangguk pelan, lalu menepuk bahu Damian dengan lembut. "Baguslah. Sana pulang, temani istrimu. Sampaikan salam dari Ayah."
Damian tersenyum. "Oke, Yah. Makasih."
Rendra hanya mengangguk, lalu berjalan pergi. Damian pun melangkah menuju mobilnya, dengan satu hal di kepalanya—Shanna.
Sesampainya di rumah, Damian menemukan Shanna sedang duduk di ruang santai, menonton drama Korea. Di sekitarnya, berbagai macam camilan berserakan—keripik, cokelat, permen, dan beberapa minuman manis dalam kemasan.
Damian mengerutkan dahi saat melihat tumpukan makanan ringan itu. Ia mengambil salah satu bungkus dan membaca komposisinya.
"Aduh, Shan, kamu dapat makanan kayak gini dari mana? Ini tuh gak sehat, lihat nih—lemak trans tinggi, pewarna buatan, pengawet, gula berlebihan… Ini bisa bikin kolesterol naik, gula darah gak stabil, dan bisa memicu tekanan darah tinggi!" ucap Damian sambil menatap Shanna.
Shanna mendengus. "Apaan sih? Datang-datang langsung cerewet."
"Shanna, saya tuh peduli, bukan cerewet," balas Damian tegas.
Shanna menatapnya sinis. "Mana ada orang peduli tapi ngehambat masa depan istrinya sendiri?"
Damian menghela napas panjang. "Mulai lagi, deh."
Tanpa berkata lagi, Shanna kembali fokus pada dramanya, seakan mengabaikan keberadaan Damian.
Kesal melihat sikapnya, Damian langsung merebut camilan yang sedang Shanna makan.
"Stop, Shanna," ucapnya tegas.
Shanna mendongak, menatap Damian dengan mata berkaca-kaca. "Kenapa sih, Mas? Ini gak boleh, itu gak boleh. Aku manusia, aku juga punya keinginan!"
Tiba-tiba saja, air mata Shanna tumpah. Ia menangis tersedu-sedu, bahkan nyaris meraung seperti seseorang yang baru saja kehilangan sesuatu yang berharga.
"Lah, Shan…" Damian terkejut dan langsung panik.
Ia mengusap tengkuknya dengan canggung, tak tahu harus melakukan apa. Lalu, dengan kikuk, ia menepuk pundak Shanna. "Ssst… jangan nangis, Shan."
Shanna terisak semakin keras. "Aku sadar aku harus hidup atas dasar keinginan kamu. Tapi bisa gak sih kasih aku ruang sedikit aja buat napas? Aku sesak, aku muak!"
Damian menatapnya dengan mata membulat. Seketika, rasa bersalah merayapi dadanya.
"Iya, Shanna… iya, maaf ya," ucapnya pelan.
Ia mengusap punggung Shanna dengan lembut, berusaha menenangkan istrinya yang masih terisak dalam tangisannya.
Shanna masih terisak, sesekali mengusap wajahnya yang basah dengan punggung tangan. Damian hanya bisa duduk di sampingnya, tangannya tetap di punggung Shanna, berusaha menawarkan sedikit kenyamanan.
Butuh waktu beberapa menit sebelum isakan Shanna mulai mereda. Napasnya masih tersengal, tapi setidaknya ia sudah lebih tenang.
Damian menatapnya dengan ragu, lalu berkata pelan, "Saya gak pernah maksud nyakitin kamu, Shan. Saya cuma… khawatir."
Shanna menghela napas panjang, matanya masih sembab. "Aku ngerti, Mas. Aku ngerti banget. Tapi caramu itu, caramu membatasi aku, rasanya… aku gak bisa bernapas."
Damian terdiam. Ini pertama kalinya Shanna berbicara dengan suara selembut ini, tapi di saat yang sama, kata-katanya menusuk.
"Aku gak keberatan sama pernikahan ini," lanjut Shanna, "Aku juga gak nyesel. Tapi, Mas, aku masih muda. Aku punya mimpi, punya cita-cita, punya kehidupan yang masih ingin aku jalani. Jangan paksa aku buat ninggalin semuanya begitu aja."
Damian mengusap wajahnya, lalu bersandar ke sofa. "Jadi menurut kamu, saya harus gimana?"
Shanna menoleh, menatap Damian dengan mata yang masih berkaca-kaca. "Dengerin aku. Itu aja."
Damian terdiam cukup lama sebelum akhirnya mengangguk pelan. "Oke, kita bicara. Tapi nanti, ya? Sekarang kamu tenangin diri dulu."
Shanna mengangguk kecil, lalu mengambil tisu untuk menghapus sisa air matanya.
Shanna tampak sudah lebih tenang, meski suaranya masih terbata-bata.
"Maaf, Mas, kalau aku cengeng," ucapnya lirih.
Damian menghela napas, lalu menatapnya dengan lembut.
"Aku terbiasa apa-apa ada Ayah," lanjut Shanna, matanya menerawang, mengenang kehidupannya sebelum ini.
"Hari pertama aku kuliah, Ayah yang nganterin. Ikut olimpiade, Ayah yang nemenin. Berantem sama siapa pun, bahkan sama Rivan sekalipun, aku pasti pulang cerita ke Ayah. Selama ini, semua yang aku butuhin, Ayah yang siapin, yang urusin. Makanya, aku selalu berpikir kalau semua cowok harusnya seperti Ayah."
Damian tetap diam, membiarkan Shanna mengungkapkan isi hatinya.
"Ayah gak pernah bentak aku, gak pernah ngomong pakai nada tinggi. Dia gak pernah melarang apa pun yang aku suka, selama itu baik. Justru Ayah yang selalu nyemangatin aku buat terus berprestasi di kampus. Aku sedih kalau harus mundur, Mas... Aku inget semua perjuangan mereka buat aku," suara Shanna bergetar, lalu ia terisak kembali.
Damian menelan ludah, merasakan kepedihan dalam suara istrinya.
"Terus dalam sebulan, hidup aku tiba-tiba berubah. Kamu nikahin aku, bawa aku ke sini. Dan di sini, gak ada yang dukung aku kayak dulu. Aku pulang, tapi aku ngerasa asing."
Damian diam, membiarkan kata-kata itu tenggelam di kepalanya. Ia mulai memahami betapa kesepiannya Shanna selama ini. Ya, mereka memang sama-sama beradaptasi, tapi Shanna sedang hamil—hatinya jauh lebih sensitif.
Dan untuk pertama kalinya, Damian bertanya-tanya... apakah selama ini dia benar-benar memahami perasaan istrinya?
Damian menatap Shanna yang masih terisak pelan, lalu menggeser tubuhnya mendekat.
"Shan…" Damian memanggilnya dengan suara yang lebih lembut dari biasanya.
Shanna menoleh perlahan, matanya sembab dan hidungnya memerah.
"Saya gak pernah maksud nyakitin kamu."
Shanna diam.
"Saya ngerti kamu lagi berusaha beradaptasi. Saya juga. Kita sama-sama masih nyari cara buat ngejalanin semua ini."
Shanna masih diam, tapi ekspresinya sedikit melunak.
Damian menarik napas sebelum melanjutkan, "Saya gak bisa janji bakal selalu ngerti kamu, tapi Saya mau belajar. Bisa gak kamu bantu saya buat ngerti apa yang kamu butuhin?"
Mata Shanna berkaca-kaca lagi.
"Aku cuma pengen kamu dengerin aku, Mas. Aku cuma pengen kita ngobrol dulu sebelum kamu mutusin sesuatu buat aku," suaranya terdengar lirih tapi penuh harap.
Damian terdiam sejenak, lalu mengangguk.
"Oke," katanya mantap. "Mulai sekarang, kita obrolin semuanya bareng-bareng."
Shanna menatapnya dengan ragu. "Janji?"
Damian mengangguk yakin "Janji."
Shanna tersenyum tipis, meski matanya masih basah.