Adinda Aisyah Zakirah adalah gadis berusia 19 tahun.
"Kakak Adinda menikahlah dengan papaku,"
tak ada angin tak ada hujan permintaan dari anak SMA yang kerapkali membeli barang jualannya membuatnya kebingungan sekaligus ingin tertawa karena menganggap itu adalah sebuah lelucon.
Tetapi, Kejadian yang tak terduga mengharuskannya mempertimbangkan permintaan Nadhira untuk menikah dengan papanya yang berusia 40 tahun.
Adinda dihadapkan dengan pilihan yang sangat sulit. Apakah Adinda menerima dengan mudah lamarannya ataukah Adinda akan menolak mentah-mentah keinginannya Nadhira untuk menikah dengan papanya yang seorang duda itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fania Mikaila AzZahrah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2
Adinda menolehkan kepalanya ke arah belakang setelah mendengar teriakan beberapa orang yang sampai ke telinganya saking ributnya orang-orang yang berteriak-teriak.
“Apa yang terjadi?” tanyanya yang keheranan melihat sekelilingnya karena orang-orang sudah berkerumun.
Matanya terbelalak melihat Nadhira sudah jatuh pingsan tak berdaya,dia langsung membuang barang dagangannya dan berlari ke arah Nadhira.
Adinda memangku Nadhira yang sudah tidak sadarkan diri, “Nadhira! Apa yang terjadi padamu dek?” Tanyanya Adinda yang mulai panik melihat darah yang keluar dari hidungnya Nadhira.
“Cepat cari pertolongan! adiknya kita harus bawa ke rumah sakit,” usulnya seorang bapak-bapak.
“Astaghfirullah kenapa dengan anak ini?”
“Dia tiba-tiba pingsan dan darah keluar dari hidungnya,” ucapnya seorang ibu-ibu.
“Cepat tolong kami! panggilkan mobil atau ambulan Pak!” Teriaknya Adinda sambil berusaha menyadarkan Nadhira.
"Dek jangan buat kakak takut, ayo bangun kamu dengarkan ucapanku?" Adinda menggosok tangannya Nadhira agar segera sadar.
"Kasihan sekali nasibnya, apa jangan-jangan anak itu menderita penyakit yang mematikan yah?" terka salah seorang ibu-ibu.
"Apa yang terjadi? Kenapa kalian berkerumun?" tanyanya seorang pria yang kemungkinannya adalah seorang guru.
Untungnya salah satu guru yang tanpa sengaja melewati jalan itu dan melihat salah satu siswanya yang membutuhkan pertolongannya.
“Bawa masuk ke mobilku! Dia ini murid saya, Bapak-bapak!” Perintah Pak Guru itu.
Berselang beberapa menit kemudian…
“Dek bertahanlah, kamu pasti segera sembuh,” lirihnya Adinda yang ketakutan melihat kondisinya Nadhira karena darah dari hidungnya semakin banyak.
“Tenanglah Dek, adiknya pasti akan sembuh. Tapi, coba hubungi kedua orang tua kalian untuk secepatnya datang ke sini,” pintanya suster itu.
“Saya bukan kakaknya Sus saya hanya temannya saja, rumahnya saja saya tidak tahu dimana,” jawabnya Nadhira apa adanya.
“Saya gurunya Sus, saya yang akan menghubungi kedua orang tuanya,” sahutnya seorang pria yang berpakaian ASN.
“Baiklah, tolong segera ditelpon karena kami butuh persetujuan wali pasien untuk menanganinya,”
“Baik Suster,”
Adinda duduk di salah satu kursi tunggu, dia mengusap wajahnya dengan gusar karena dia khawatir dengan kondisi Nadhira disisi lain dia juga m mencemaskan kondisi ibunya.
“Aku sebaiknya menemui Ibu dulu untuk melihat apa Tante Mayang sudah datang,” gumamnya.
Dia berjalan ke arah pria yang mengaku sebagai gurunya Nadhira.
“Pak, saya titip Nadhira yah soalnya saya harus pulang karena ibuku juga sedang sakit,” ucapnya Adinda.
“Oh iya Dek, makasih banyak kamu sudah berbaik hati menolong siswa kami,”
“Sama-sama Pak, assalamualaikum,” pamitnya Adinda.
Adinda yang tidak memiliki ponsel kesulitan untuk menghubungi tantenya karena, ketika ibunya butuh obat dia terpaksa menggadai ponselnya demi kesehatan dan kesembuhan ibunya.
Adinda berjalan cepat ke arah bagian paling belakang rumah sakit. Untungnya rumah sakit yang didatanginya adalah RS tempat ibunya dirawat.
“Semoga Tante Mayang sudah datang, kasihan Ibu kalau hanya sendirian dan tidak orang menjaganya,” gumamnya.
Adinda menenteng tas jualannya, untungnya tersisa sedikit jadi tidak membuatnya kerepotan untuk mengangkat dan menentengnya kemanapun dia pergi.
Adinda melangkahkan kakinya ketika melihat kondisi kamar bangsal ibunya yang nampak ramai padahal pagi tadi, hanya ibunya yang dirawat di dalam kamar itu.
“Apa yang terjadi, kenapa banyak banget orang-orang yang keluar masuk?” cicitnya.
Adinda mempercepat langkahnya yang tadi berhenti sejenak, rasa takut dan khawatir mulai bermunculan dibenaknya.
“Bismillahirrahmanirrahim semoga ibu baik-baik saja, mungkin ada pasien baru yang dirawat di bangsal yang sama dengan ibu,” gumamnya yang masih berfikir positif.
Adinda berjalan cepat ke arah dalam dan betapa terkejutnya melihat kondisi ibunya yang sudah ditutupi kain putih.
“Tidak!! Ibu jangan tinggalkan Adinda!” Teriaknya Adinda yang berhamburan memeluk tubuh dingin ibunya yang sudah tidak bernafas lagi.
Adinda meraung histeris melihat orang satu-satunya yang dimilikinya di dunia ini telah terbujur kaku. Sedangkan satupun tidak memiliki sanak saudara yang tinggal di daerahnya itu.
“Ibu, kenapa ibu tega banget meninggalkan Adinda seorang diri. Katanya Ibu akan selalu bersamaku tidak akan meninggalkan Adinda,” ratapnya Adinda.
Bu Mayang sebagai tetangganya yang selama ini selalu membantunya menjaga ibunya tak sanggup melihat kesedihan dan kerapuhan Adinda.
“Nak, ikhlaskan Ibumu, jangan seperti ini kasihan beliau jika kamu harus menangis meraung dan meratapi kepergiannya. Ibumu sudah tenang dan tidak perlu merasakan kesakitan lagi,” bujuk Bu Mayang sambil memeluk tubuh Adinda yang terus menangis histeris.
“Tante, tadi pagi ibu masih baik-baik saja, aku suapin bubur dan tersenyum manis padaku, katanya dia tidak akan meninggalkan Adinda seorang diri tapi buktinya ibuk begitu tega meninggalkanku,” Adinda tak henti-hentinya menangis.
“Allah SWT lebih menyayangi ibumu Nak, dia sudah tenang jangan bebani kepergian ibumu ke alam sana dengan terus kamu ratapi kepergiannya yang sudah menjadi ketentuan Allah SWT,”
“Innalillahi wa Inna ilaihi raji'un,” ucapan itu terucap dari semua orang yang mengetahui kabar duka berpulangnya ke Rahmatullah Bu Mariana di usianya yang ke 55 tahun.
Sore harinya…
Segala prosesi pemakaman ibu Mariana telah dilaksanakan baik dari pemulangan jenazah ke rumah duka, dimandikan, dikafani dan disholatkan sudah dilaksanakan.
Para tetangga bahu membahu membantu semua proses pemakaman Bu Mariana wanita paruh baya yang terkenal baik hati itu dengan sukarela.
Adinda bersimpuh di hadapan pusara makam ibunya yang tanahnya masih basah. Adinda menabur bunga ke atas pusara yang nisannya bertuliskan nama Mariana binti Zubair.
“Ibu, maafin Adinda belum bisa membalas kebaikan ibu yang telah melahirkan dan membesarkan Adinda, maafin Adinda karena gara-gara Adinda lah yang tidak sanggup belikan obatnya Ibu sehingga ibu harus meninggal dunia,” sesalnya yang selalu menyalahkan dirinya sendiri.
“Nak ayo kita pulang sudah mau masuk waktu magrib,” ajaknya Bu Mayang.
“Kakak yang sabar yah, masih ada Lutfi, bebek sama ayam jagonya kakak,” ucapnya Lutfi anak kecil yang menjadi temannya.
Adinda mengusap wajahnya dengan kasar sambil bangkit dari posisi duduknya. Keduanya pulang meninggalkan pemakaman umum yang tidak jauh letaknya dari rumahnya.
Adinda menatap sendu ke makam ibunya,” ibu maafkan anakmu ini yang belum sanggup berbakti. Makasih banyak atas pengorbanan yang telah kamu lakukan demi Adinda bisa hidup dengan baik dan bisa juga sekolah seperti anak-anak lainnya.”
Acara tahlilan selama tujuh hari terus diadakan di rumah duka sederhana milik Bu Mariana seorang janda yang ditinggal pergi oleh suaminya tanpa kabar apapun hingga dia meninggal dunia pun suaminya tak pernah kembali lagi.
Dua minggu kemudian…
Bu Mayang berteriak sambil berlari ke arah pekarangan belakang rumahnya Adinda.
“Nak Adinda kamu di mana?” Teriak lantang Bu Mayang sambil mengangkat ujung dasternya yang menghalangi pergerakannya.
Adinda yang sedang berada di atas pohon sedang memetik buah mangga terkejut dengan suara khas cempreng milik tetangga rasa ibunya itu.
“Ada apa Tante, kenapa meski teriak-teriak segala!?” Kesalnya Adinda karena hampir saja terjatuh gara-gara terkejut.
Bu Mayang reflek mengarahkan pandangannya ke atas pohon mangga besar yang berbuah lebat itu.
“Itu di depan ada seorang polisi yang mencari kamu,” jawabnya Bu Mayang.
Saking kagetnya hampir saja tangannya yang berpijak pada dahan pohon terlepas, untungnya dia cepat bergerak untuk berpegangan sehingga masih terselamatkan.
Kedua kelopak matanya melebar mendengar perkataan dari Bu Mayang,” apa! Polisi! Kenapa bisa ada polisi? Saya tidak melakukan kesalahan apapun apalagi kejahatan Tante.”
Bu Mayang mendongak ke atas melihat Adinda yang bergelantungan seperti seekor kera sakti saja, “Tidak perlu banyak bicara lagi! Cepatlah turun daripada kamu di atas terus pasti penasaran juga, jadi cepatlah nanti dilanjutkan metik mangganya lagian Pak Kadir belum pulang untuk mengambil manggamu!”
Adinda pun menuruti perintah dari Bu Mayang dan berjalan ke arah depan rumahnya setelah membersihkan tubuhnya dan menepuk-nepuk tangannya yang sedikit terkena debu.
Adinda kembali dibuat panas dingin melihat seorang Pria berpakaian polisi membelakanginya.
“Ya Allah seumur-umur baru kali ini ada polisi yang mendatangi rumahku yang kecil ini,” gumamnya Adinda.
“Maaf Pak, ini gadis yang bapak cari,” ucapnya Bu Mayang.
“Lah kenapa Bapak mencari saya? Saya tidak pernah melakukan kesalahan apalagi kejahatan Pak,” protes Adinda.
Pria yang berpakaian seragam itu berbalik badan dan tatapan matanya langsung menatap tajam ke arah Adinda.
Sedangkan Adinda malah tertunduk karena takut dan tidak nyaman ditatap seperti seorang tersangka maling ayam saja.
Orang-orang yang kebetulan melewati rumahnya Adinda berhenti karena melihat ada mobil polisi yang berhenti tepat di jalan masuk rumahnya Adinda. Bahkan tetangga satu RT sudah berkumpul di sekitar pagar kayu rumahnya Adinda.
“Apa kamu yang namanya Adinda Aisyah Zakirah?”
Adinda mengangguk lemah karena masih shock melihat polisi itu,” iya Pak Saya Adinda. Maaf ada apa yah?” Tangannya sampai tremor saling berpegangan dengan tangan satunya.
“Silahkan Kamu ikut saya! Karena kamu harus menjelaskan apa yang sudah kamu lakukan!" ucapnya polisi itu tanpa senyuman.
“Sa-ya ti-dak bersalah Pak,” cicitnya Adinda.
“Jelaskan semuanya setelah kita sampai! yang jelasnya kamu tetap ikut saya!” tegas pria yang masih muda tapi penuh kharisma itu.
Adinda pun menyerah dan pasrah,” Tante aku titip rumahku yah, buah mangga yang ku petik tolong di jual."
Seolah itu adalah pesan terakhirnya karena akan di penjara. Adinda sedih sekaligus bingung dengan kejadian yang sedang terjadi.
“Pak Adinda bukan seorang kriminal kenapa meski ditangkap?”
“Dia itu anak yatim piatu Pak, tolong kasihani Adinda,”
“Astaghfirullahaladzim Adinda itu anak yang baik Pak jadi tidak mungkin melakukan kesalahan,"
Satu persatu para tetangga membujuk polisi itu untuk tidak membawa Adinda pergi. Tapi, semua ucapan mereka tak ada yang digubris oleh polisi itu.
"Maafkan aku yah bapak-bapak ibu-ibu kalau selama ini aku sudah banyak salah, sudah seringkali merepotkan kalian," ucapnya sendu Adinda sebelum naik ke mobil.
Lutfi sampai mengejar mobil polisi itu hingga dia terjatuh ke atas aspal.
"Kakak Adinda! Pak polisi tolong jangan bawa pergi kakakku Pak!"