Pada masa penjajahan Belanda, tanah Jawa dilanda penderitaan. Mela, gadis berdarah ningrat dari Kesultanan Demak, terpaksa hidup miskin dan berjualan jamu setelah ayahnya gugur dan ibunya sakit.
Saat menginjak remaja, tanah kelahirannya jatuh ke tangan Belanda. Di tengah prahara itu, ia bertemu Welsen, seorang tentara Belanda yang ambisius. Pertemuan Welsen, dan Mela ternyata membuat Welsen jatuh hati pada Mela.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RizkaHs, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
ꦝꦼꦭꦥꦤ꧀
Kasarèhan satunggal Kasarèhan sedaya.
"Nduk, pripun pawartosipun ibu saiki?"
"Alhamdulillah sampun wiwit sae, ibu ugi sampun saged lenggah," Mela memasukkan beberapa Jahe yang ia panen barusan ke dalam bakul yang sudah di persiapkannya.
"Alhamdulillah menawi mekaten. Oh, nggih, mbah putri titip sembah kanggo ibumu, nggih?"
"Inggih, Nek, badhé kula aturaken sembah panjenengan. Kula nyuwun pamit mulih rumiyin nggih."
"Tunggu, Nduk, sekedhap, wonten ingkang badhé kula aturaken."
Aku mengambil surat yang kutulis tadi malam untuk ibu Mela. Dalam surat itu, ada hal-hal penting yang harus kusampaikan kepadanya. Namun, karena aku tidak bisa langsung datang ke rumah mereka, aku memutuskan untuk menitipkan surat tersebut pada anaknya, Mela. Aku berharap, meskipun aku tidak bisa bertemu langsung, surat itu bisa sampai dan diterima dengan baik, agar pesan yang penting ini dapat sampai ke ibu Mela dengan segera.
Aku pun mengambil surat yang telah kutulis dengan hati-hati. Setelah memeriksa setiap kata yang tertera di dalamnya, aku merasa yakin bahwa pesan yang ingin kusampaikan sudah cukup jelas.
"Mboten kenging lali, Nduk, aturaken dhumateng ibumu, supados panjenenganipun mangertos."
"Inggih, Nek, kula pamit mulih rumiyin, mugi Gusti Allah paring keberkahan."
Mela pun akhirnya tiba di rumah setelah perjalanan yang cukup panjang. Langkah kakinya terasa berat, namun dia tahu bahwa pesan yang dibawanya sangat penting. Sesampainya di depan pintu rumah, dia berhenti sejenak dan menarik napas dalam-dalam. Tak lama, dia mengetuk pintu dengan perlahan, berharap ibunya ada di dalam.
Ketika pintu terbuka, tampaklah ibu Mela yang sedang duduk di atas tikar, mengenakan kain kebaya tua. Wajah ibu Mela yang lelah memandangnya dengan penuh kehangatan, namun ada sedikit kerutan kecemasan di dahi ibunya. Mela tersenyum dan segera menghampiri ibunya.
"Selamet sore, Bu," sapa Mela dengan lembut.
Ibu Mela tersenyum, meskipun tampak sedikit terkejut dengan kedatangannya yang lebih awal dari biasanya. "Oh, Mela, kok cepet banget pulangnya? Ada apa, Nak?"
Mela tidak langsung menjawab. Sebaliknya, dia mengeluarkan surat yang diberi oleh Nyai Ciliwa. Dengan hati-hati, dia menyerahkannya kepada ibunya.
"Ada sesuatu yang penting, Bu. Ini dari Nyai Ciliwa. Dia menitipkan pesan untuk ibu," kata Mela sambil menyerahkan surat itu dengan tangan yang sedikit gemetar.
Ibu Mela memandang surat itu dengan mata yang terkejut. Dengan hati-hati, dia membuka amplop yang sudah agak usang itu.
ꦱꦭꦩ꧀ ꦲꦸꦠꦸꦩ꧀, ꦥꦸꦠꦿꦶ ꦕꦺꦃꦪ, ꦏꦼꦠꦸꦤꦤꦶꦒꦼꦫꦺ ꦢꦼꦩꦏ. ꦧꦏꦩ꧀ ꦏꦧꦫꦩ꧀ꦸꦤꦄꦃ? ꦄꦏꦸ ꦲꦸꦧꦶꦤꦸꦁ ꦏꦸꦩꦸ ꦱꦸꦭꦭꦸ ꦤꦸꦠꦺꦴꦱꦏꦸ, ꦔꦸꦁ ꦲꦩ꧀ꦤꦩ꧀ꦸꦤ꧀ ꦱꦼꦏꦶꦱꦸ, ꦗꦶꦗꦮꦺ ꦏꦸꦪꦸꦢꦲ ꦱꦸꦭꦭꦸ ꦒꦸꦱꦸꦤꦔꦸ.
ꦏꦭꦺꦒꦸ ꦄꦏꦸ ꦤꦶꦣꦶꦏ꧀ ꦥꦼꦱꦏꦼꦤ ꦲꦤꦔꦸꦱꦶ ꦱꦗꦸꦤꦶꦗꦶ ꦩꦼꦭꦏ. ꦱꦼꦩꦸ ꦥꦼꦱꦏꦼꦤ ꦲꦤꦔꦸꦱꦶ ꦱꦮꦩꦸ ꦥꦱꦺꦴꦤ꧀ꦤꦸꦁ ꦕꦸꦢꦸꦩꦸ ꦲꦸꦤꦺꦴꦏꦼ.
ꦗꦶꦏꦸꦤꦸ, ꦔꦸꦁ ꦏꦸꦩꦸ Nyai Ciliwa, ꦥꦼꦭꦛꦶꦱꦠꦶꦤꦸ ꦤꦏꦶꦩꦸꦤꦸ. ꦱꦼꦏꦶꦣꦤꦶ, ꦱꦸꦤꦶꦠꦾ ꦱꦷꦤꦁ, ꦲꦤꦶꦲꦶ ꦢꦸꦩꦶꦱꦤꦶꦒꦼ ꦭꦺꦧꦼꦣ ꦱꦤꦮꦩꦸꦤꦸ ꦧꦫꦣꦤꦸ ꦣꦶꦤꦔꦸꦁ.
ꦲꦤꦸꦩ꧀, ꦱꦦꦤꦸ ꦯꦸꦤꦏꦼ, ꦲꦤꦶꦏꦼ, ꦏꦾꦤꦶ ꦒꦸꦱꦸ ꦱꦭꦸ, ꦄꦩꦶ ꦗꦶꦶꦮꦺ ꦲꦸꦱꦭꦁ ꦷꦾ ꦗꦤꦺꦙꦷꦣꦸ.
Membaca surat itu, air mata ibu Mela perlahan menetes. Hatinya terasa begitu pilu, seperti ada kenangan lama yang kembali mengingatkannya pada masa-masa indah yang sudah lama terlupakan. Dia memegang surat itu erat-erat, seakan takut surat itu hilang begitu saja.
Sudah bertahun-tahun rasanya ia tidak bertemu dengan Nyai Ciliwa, pelatih tari yang sangat dihormatinya. Dulu, ketika ibu Mela masih muda, ia adalah seorang penari di sebuah sanggar seni yang terkenal. Di sanalah ia pertama kali bertemu Nyai Ciliwa, seorang wanita bijak yang bukan hanya mengajarinya tari, tetapi juga banyak hal tentang kehidupan.
Ibu Mela adalah murid kesayangan Nyai Ciliwa. Pelatihannya yang keras, namun penuh kasih sayang, membuat ibu Mela tumbuh menjadi penari yang sangat berbakat. Nyai Ciliwa tidak hanya mengajarkan gerakan-gerakan tari yang indah, tetapi juga cara menghargai seni dan budaya. Ibu Mela masih ingat betul bagaimana Nyai Ciliwa selalu mengingatkan agar selalu menjaga tradisi dan adat istiadat dengan baik.
Setiap kali tampil di panggung, ibu Mela merasa seolah-olah ada semangat Nyai Ciliwa yang menyertainya. Namun, setelah berlalunya waktu, sanggar seni itu mulai ditinggalkan, dan ibu Mela pun memilih untuk mengurus keluarganya. Sejak itu, hubungan mereka semakin renggang, hingga akhirnya tidak ada lagi kabar dari Nyai Ciliwa.
Kini, setelah bertahun-tahun berlalu, membaca surat itu membuat ibu Mela teringat kembali pada sosok Nyai Ciliwa yang telah banyak memberikan arti dalam hidupnya. Dia merindukan hari-hari indah itu, dan entah mengapa, air mata yang menetes itu terasa begitu berat untuk ditahan.
"Mela, ngomong-ngomong, bagaimana kau bisa bertemu dengan Nyai Ciliwa?" Ibu Mela akhirnya bertanya dengan penuh rasa ingin tahu. Suara ibunya terdengar sedikit cemas, seolah masih belum sepenuhnya percaya dengan kenyataan yang baru saja terungkap. Ia terdiam sejenak, merenung, mencoba memahami perasaan yang bercampur aduk.
Mela menatap ibunya dengan lembut, lalu menjelaskan, "Aku bertemu dia di ladang, Bu," kata Mela perlahan, suaranya hampir berbisik. "Ternyata dia tinggal di gubuk kita, di sana, di balik hutan yang biasa kita lewati. Aku tak menyangka, dia ternyata memakai tempat itu sebagai tempat tinggalnya."
Ibu Mela terdiam, matanya menatap kosong, seakan mencari jawaban dari dalam hati. "Apa?" ujarnya, suara yang terdengar serak, mencoba memproses apa yang baru saja didengarnya.
Mela melanjutkan dengan hati-hati, mencoba meyakinkan ibunya bahwa semuanya benar adanya. "Aku baru tahu kalau selama ini bekal dan jamu yang sering ku sisihkan, yang sering ibu anggap untuk orang lain, ternyata itu untuk dia, Nyai Ciliwa." Mela menunduk, merasa agak canggung mengungkapkan kenyataan yang tak pernah ia duga sebelumnya.
Ibu Mela menatap Mela dengan tatapan yang sulit dibaca. Sesaat, ibu Mela menutup matanya, mengingat masa lalu yang begitu jauh, masa yang penuh dengan kenangan tentang dirinya sebagai seorang penari. Dia pernah mengorbankan banyak hal demi seni, dan salah satunya adalah ketika dia menjadi murid kesayangan Nyai Ciliwa, pelatih tari yang bijak dan penuh kasih.
Mela melanjutkan, "Aku juga baru tahu kalau dia adalah seorang pelatih menari yang terkenal, Bu. Selama ini, aku hanya mengira dia seorang perempuan tua yang sebatang kara, tapi ternyata dia adalah orang yang sangat berperan dalam dunia tari."
Ibunya terdiam lagi. "Oh, iya, Bu, dulu ibu penari ya?" tanya Mela dengan sedikit terkejut, seolah baru menyadari hal itu.
Ibu Mela menghela napas panjang, kemudian mengangguk pelan. "Iya, Nduk," jawabnya pelan. "Dulu aku seorang penari di sanggar seni, dan Nyai Ciliwa adalah guru yang mengajarkanku segalanya. Aku belajar banyak darinya—tentang tari, tentang seni, tentang hidup. Dia yang membentuk aku menjadi penari yang seperti ini."
Mela mendengarkan dengan seksama, matanya tak lepas dari wajah ibunya. Semua mulai terasa masuk akal, dan pelan-pelan, banyak misteri yang terungkap. Ibu Mela akhirnya bercerita tentang perjalanan hidupnya, tentang bagaimana seni tari membentuk dirinya menjadi wanita yang tegar. Namun, tak ada yang lebih membekas dalam ingatannya selain ajaran-ajaran yang diberikan oleh Nyai Ciliwa.
"Aku tak tahu, Mela," ibu Mela melanjutkan. "Kenapa dia datang lagi setelah sekian lama. Mungkin ada sesuatu yang perlu disampaikan. Sesuatu yang penting."