Amira kira setelah menikah hidupnya akan bahagia tapi ternyata semua itu tak sesuai harapan. Ibu mertuanya tidak menyukai Amira, bukan hanya itu setiap hari Amira hanya dijadikan pembantu oleh mertua serta adik iparnya. Bahkan saat hamil Amira di tuduh selingkuh oleh mertuanya sendiri tidak hanya itu setelah melahirkan anak Amira pun dijual oleh ibu mertuanya kepada seorang pria kaya raya yang tidak memiliki istri. Perjuangan Amira begitu besar demi merebut kembali anaknya. Akankah Amira berhasil mengambil kembali anaknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Non Mey, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tidak Ada Perubahan
Pagi itu, suasana di rumah Ratna sedikit berbeda. Ratna tampak sangat lega setelah Loli ditemukan. Bahkan, ia tidak bisa menahan air matanya saat memeluk putri bungsunya dengan erat.
"Syukurlah kamu kembali, Loli. Ibu sangat khawatir. Jangan pernah kabur lagi, ya," ucap Ratna sambil mencium pipi Loli berulang kali.
Loli hanya diam, tetapi dalam hatinya ia merasa sedikit bersalah karena telah membuat ibunya begitu cemas.
Amira berdiri di sudut ruangan, mengamati momen hangat antara Ratna dan Loli. Ia tidak bisa menahan rasa iri yang perlahan merayap di hatinya. Andai saja Ibu Ratna bisa memelukku seperti itu, memanggilku dengan kasih sayang seperti memanggil Loli, pasti hidupku akan jauh lebih bahagia, pikir Amira. Namun, ia tahu bahwa kasih sayang seperti itu tidak akan pernah ia dapatkan.
Ketika suasana mulai tenang, Ratna beralih pada Amira. "Amira, Ibu ingin bicara."
Amira mengangguk pelan. "Iya, Bu. Ada apa?"
Ratna menarik napas panjang sebelum berbicara. "Ibu minta kamu berhenti bekerja sementara waktu. Berikan ruang untuk Loli belajar melakukan pekerjaan rumah. Dia perlu waktu untuk terbiasa, dan kalau kamu terus bekerja, Loli tidak akan pernah mau bergerak."
Mendengar permintaan itu, Amira merasa dadanya sesak. Pekerjaan di laundry Bu Sari adalah satu-satunya cara baginya untuk membantu Angga secara finansial. Jika ia harus berhenti, berarti ia harus kembali terkurung dalam rutinitas rumah yang penuh tekanan.
Namun, sebelum ia sempat menjawab, Angga yang mendengar pembicaraan itu mendekat. "Bu, Amira bekerja bukan hanya untuk dirinya sendiri. Dia bekerja untuk membantu keluarga ini."
Ratna menggeleng dengan tegas. "Angga, kalau kamu terus membela Amira, kapan Loli akan belajar? Kamu tidak lihat, dia butuh waktu untuk berubah. Kalau Amira ada di rumah, pekerjaan rumah otomatis dia yang kerjakan. Loli tidak akan pernah merasa bertanggung jawab."
Amira menundukkan kepala, tidak ingin memperpanjang perdebatan. Tapi hatinya merasa berat. Pekerjaan itu bukan hanya tentang uang, tapi juga pelarian dari rasa tertekan di rumah ini.
Malam itu, setelah semuanya tidur, Amira duduk di kamar bersama Angga. Ia tampak gelisah, memainkan ujung jilbabnya tanpa sadar.
"Mas, apa saya harus berhenti bekerja?" tanyanya dengan suara pelan.
Angga menatap istrinya dengan penuh pengertian. "Mira, aku tahu ini berat untukmu. Aku tahu pekerjaan di laundry itu penting, bukan cuma untuk uang, tapi juga untuk dirimu sendiri."
Amira mengangguk pelan. "Saya hanya ingin membantu, Mas. Kalau saya berhenti, kita tidak punya tabungan lagi. Apalagi setiap bulan sebagian besar gajimu habis untuk Loli dan Ibu."
Angga menghela napas panjang, merasa bersalah. "Aku tahu, Mira. Tapi mungkin Ibu benar. Loli butuh waktu untuk berubah. Kalau kamu berhenti sementara, mungkin itu bisa memaksa Loli untuk lebih bertanggung jawab."
Amira terdiam, hatinya bergulat antara ingin tetap bekerja atau mengikuti permintaan mertuanya.
"Aku akan dukung apa pun keputusanmu," lanjut Angga. "Tapi kalau kamu memutuskan berhenti, itu bukan berarti kamu menyerah. Kita akan cari cara lain untuk menabung dan keluar dari rumah ini."
Amira akhirnya mengangguk. "Baiklah, Mas. Saya akan berhenti sementara waktu. Semoga ini bisa membuat keadaan di rumah lebih baik."
Angga memegang tangan Amira erat, memberikan kekuatan. "Kamu kuat, Mira. Aku selalu ada di sampingmu."
Hari pertama Amira berhenti bekerja terasa begitu berat. Ia terbangun lebih pagi dari biasanya untuk menyelesaikan pekerjaan rumah sebelum Ratna atau Loli bangun.
Ketika Ratna melihat Amira sibuk mencuci piring di dapur, ia hanya memberi komentar singkat. "Bagus, Amira. Jangan lupa, setelah ini bersihkan ruang tamu dan jemur pakaian."
Amira hanya mengangguk, menahan perasaan yang bercampur aduk. Ia tahu ini adalah konsekuensi dari keputusannya.
Sementara itu, Loli yang baru bangun hanya duduk di ruang tamu sambil memainkan ponselnya. Amira berharap Loli mau mulai membantu, tapi sayangnya Loli masih belum menunjukkan tanda-tanda perubahan.
Ketika siang tiba, Ratna mulai menyuruh Loli untuk menyapu lantai dan mencuci pakaian. Namun, Loli hanya mengeluh.
"Kenapa aku harus melakukannya, Bu? Kan ada Amira di rumah," katanya dengan nada malas.
Ratna mendesah kesal. "Loli, Ibu sudah bilang, ini waktunya kamu belajar. Kalau bukan sekarang, kapan lagi?"
Namun, Loli tetap tidak bergerak, dan akhirnya Amira yang kembali mengambil alih pekerjaan itu.
Malam harinya, Amira duduk di teras rumah, menatap langit malam yang gelap. Ia merasa semua usahanya sia-sia. Ia berhenti bekerja untuk memberi ruang pada Loli, tapi ternyata Loli tetap saja malas dan tidak mau berubah.
Angga keluar dan duduk di sampingnya. "Kamu kenapa, Mira? Kelihatannya sedih."
Amira tersenyum tipis. "Saya cuma berpikir, apakah keputusan saya berhenti bekerja ini benar? Loli masih seperti dulu, Mas. Tidak ada perubahan."
Angga menghela napas. "Kamu sudah melakukan yang terbaik, Mira. Tapi memang mengubah seseorang itu tidak mudah, apalagi Loli. Aku akan bicara lagi dengan Ibu tentang ini."
Amira hanya mengangguk, meskipun dalam hatinya ia tidak yakin pembicaraan itu akan membawa perubahan. Ia hanya berharap suatu saat, semuanya akan membaik, dan ia bisa merasakan kebahagiaan sejati di rumah ini.