Seorang wanita yang hilang secara misterius, meninggalkan jejak berupa dokumen-dokumen penting dan sebuah jurnal yang penuh rahasia, Kinanti merasa terikat untuk mengungkap kebenaran di balik hilangnya wanita itu.
Namun, pencariannya tidak semudah yang dibayangkan. Setiap halaman jurnal yang ia baca membawanya lebih dalam ke dalam labirin sejarah yang kelam, sampai hubungan antara keluarganya dengan keluarga Reza yang tak terduga. Apa yang sebenarnya terjadi di masa lalu? Di mana setiap jawaban justru menimbulkan lebih banyak pertanyaan.
Setiap langkah membawanya lebih dekat pada rahasia yang telah lama terpendam, dan di mana masa lalu tak pernah benar-benar hilang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aaraa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Simbol Tersembunyi
"Jadi setiap simbol ini punya makna khusus?" tanya Kinanti, matanya terpaku pada peta yang terbentang di meja perpustakaan Prof. Handoko.
Sudah dua hari berlalu sejak pertemuan mereka dengan Kolonel Pratama di bunker. Kini mereka kembali berkumpul, hanya kurang Bu Ratna yang baru saja mengirim pesan mengundurkan diri sementara dari pencarian ini.
"Bu Ratna bilang dia harus pergi ke Belanda," Nadia membaca ulang pesan di ponselnya. "Ada beberapa dokumen warisan kakeknya yang harus dia urus di sana. Sepertinya urgent sekali."
Reza mengangguk pelan. Sebagai guru Bahasa Indonesia mereka sekaligus cucu salah satu anggota jaringan komunikasi Kartika, Bu Ratna telah banyak membantu dalam penelitian ini. "Mungkin memang lebih aman begini. Setelah kejadian di pertemuan veteran waktu itu..."
Ia tidak melanjutkan kalimatnya, teringat bagaimana pertemuan rahasia di ruang bawah tanah museum berakhir dengan kepanikan. Ayahnya dan ayah Kartika beserta para veteran lainnya terpaksa berpencar ketika ada yang mencoba menyusup ke pertemuan mereka.
"Ya, lebih baik Bu Ratna fokus mengamankan dokumen-dokumen itu di Belanda," Arya menimpali. Sebagai mahasiswa semester 3, ia lebih memahami pentingnya preservasi dokumen sejarah.
Prof. Handoko berdeham, mengembalikan fokus mereka pada peta di hadapan mereka. "Mari kita kembali ke simbol-simbol ini. Para pejuang dulu mengembangkan sistem pengkodean yang sangat cermat."
Ia menunjuk sebuah simbol berbentuk seperti bunga dengan empat kelopak. "Ini menandakan lokasi dokumen tertulis, seperti surat, jurnal, atau catatan penting." Jarinya beralih ke simbol lain yang menyerupai mata. "Yang ini untuk foto atau bukti visual."
"Dan yang berbentuk seperti kunci?" tanya Dimas.
"Ah, itu untuk artefak fisik, seperti benda-benda yang menjadi bukti sejarah," jawab Prof. Handoko. "Tapi lihat bagaimana beberapa simbol memiliki titik-titik tambahan di sekitarnya? Itu menandakan tingkat keamanan."
Kinanti mencatat setiap penjelasan dengan teliti. "Jadi semakin banyak titiknya..."
"Semakin ketat pengamanannya," Pak Darmawan tiba-tiba muncul di ambang pintu perpustakaan, membuat mereka semua terlonjak kaget.
"Ayah!" Kinanti berseru. "Kenapa tidak bilang mau kemari?"
Pak Darmawan tersenyum tipis, melangkah masuk diikuti Pak Hendro, ayah Reza. "Ada yang harus kami sampaikan setelah... kejadian di pertemuan veteran kemarin."
"Mereka semakin dekat," Pak Hendro menambahkan, raut wajahnya serius. "Dan mereka tahu kalian sudah menemukan tiga kunci."
Prof. Handoko mengangguk seolah sudah menduga hal ini. "Karena itulah kita harus bergerak lebih cepat. Anak-anak, lihat simbol-simbol ini." Ia menunjuk dua lokasi di peta yang ditandai dengan simbol rumit. "Dua kunci terakhir ada di sini."
"Tapi simbol-simbolnya berbeda dari yang lain," Arya mengamati dengan seksama.
"Karena Kartika merancang sistem pengamanan khusus untuk keduanya," Pak Darmawan menjelaskan. "Kartika... dia tahu betapa pentingnya dokumen-dokumen yang akan dibuka dengan lima kunci itu."
Reza melirik ayahnya. "Ayah dan Pak Darmawan... kalian tahu isi dokumen itu?"
Kedua pria paruh baya itu saling pandang sebelum Pak Hendro menjawab. "Kami hanya tahu sebagian. Kartika memecah informasinya menjadi bagian-bagian kecil. Tidak ada yang tahu keseluruhan ceritanya kecuali dia sendiri."
"Dan sekarang semuanya ada dalam kotak yang membutuhkan lima kunci itu," Kinanti menyimpulkan.
"Tepat," Prof. Handoko mengonfirmasi. "Tapi untuk mendapatkan dua kunci terakhir, kalian harus memahami cara kerja simbol-simbol ini."
Ia mengeluarkan sebuah buku catatan usang. "Ini adalah kunci untuk memahami sistem pengkodean para pejuang. Mereka menggunakannya untuk menandai lokasi-lokasi penting tanpa menarik perhatian."
"Seperti yang mereka lakukan dengan buku resep dan artikel koran itu?" tanya Nadia.
"Persis. Setiap simbol tidak hanya menunjukkan jenis artefak, tapi juga cara mengaksesnya," jelas Prof. Handoko. "Lihat bagaimana garis-garis ini tersambung? Itu menunjukkan rute yang harus ditempuh. Dan pola titik-titik ini? Itu adalah kode waktu."
"Kode waktu?" Dimas mengerutkan kening.
"Beberapa lokasi hanya bisa diakses pada waktu-waktu tertentu," Pak Darmawan menjelaskan. "Kartika memperhitungkan semuanya, mulai dari posisi matahari, bayangan bangunan, bahkan pasang surut air di beberapa lokasi."
"Dan itulah yang membuat sistem ini begitu brilian," Pak Hendro menambahkan.
"Bahkan jika seseorang menemukan petanya, tanpa memahami sistem pengkodean ini, mereka tidak akan bisa mengakses lokasi-lokasi tersebut."
"Tapi orang-orang yang mengejar kita..." Kinanti tidak menyelesaikan kalimatnya.
"Mereka mungkin sudah memahami sebagian sistem ini," Prof. Handoko mengakui. "Itulah kenapa kita harus bergerak cepat. Tapi hati-hati."
"Dan ingat," Pak Darmawan menatap mereka satu per satu, "kalian bukan hanya mencari kunci fisik. Setiap lokasi menyimpan potongan informasi yang akan membantu memahami dokumen utama nantinya."
Mereka menghabiskan dua jam berikutnya mempelajari sistem pengkodean tersebut. Prof. Handoko menjelaskan bagaimana cara membaca arah dari lengkungan simbol, bagaimana menghitung interval waktu dari jarak antar titik, dan bagaimana memahami petunjuk tersembunyi dalam setiap pola.
"Ada satu hal lagi," Pak Hendro berkata saat mereka bersiap pulang. "Mulai sekarang, kalian harus lebih berhati-hati dalam berkomunikasi. Gunakan sistem kode yang sudah kami ajarkan, dan selalu waspada dengan lingkungan sekitar."
"Dan jangan terlalu sering berkumpul di tempat yang sama," tambah Pak Darmawan. "Mereka mengawasi."
Saat berjalan pulang, kelima remaja itu merasakan beban tanggung jawab yang semakin berat. Bukan hanya tentang menemukan kunci-kunci tersebut, tapi juga tentang menjaga warisan sejarah yang telah dipercayakan pada mereka.
"Aku masih kepikiran Bu Ratna," kata Nadia pelan. "Apa kalian pikir kepergiannya ke Belanda benar-benar hanya untuk mengurus dokumen?"
"Mungkin ada alasan lain," Arya menjawab hati-hati. "Tapi seperti kata Pak Darmawan tadi, kita harus percaya setiap orang punya perannya masing-masing dalam menjaga rahasia ini."
Kinanti mengangguk setuju, tangannya menggenggam erat buku catatan berisi kunci pengkodean yang dipinjamkan Prof. Handoko. Di sampingnya, Reza berjalan dalam diam, pikirannya dipenuhi bayangan pertemuan veteran yang berakhir kacau itu. Bagaimana ayahnya dan Pak Darmawan harus menyelinap keluar melalui terowongan rahasia, bagaimana mereka semua harus berpencar untuk menghindari pengejaran.
"Besok," Reza akhirnya bersuara, "kita mulai mencari kunci keempat?"
"Ya," jawab Kinanti. "Tapi kali ini kita harus lebih pintar. Mereka mungkin sudah mengawasi tempat-tempat yang sering kita kunjungi."
"Setidaknya sekarang kita punya sistem pengkodean ini," Dimas menghibur. "Kita bisa membaca peta dengan lebih baik."
Mereka berpisah di persimpangan dengan kesepakatan untuk berkomunikasi menggunakan kode yang baru mereka pelajari. Malam itu, di kamar masing-masing, kelima remaja itu menghabiskan waktu mempelajari ulang setiap detail sistem pengkodean tersebut, memahami bahwa pengetahuan ini mungkin menjadi kunci keselamatan mereka dalam pencarian yang semakin berbahaya ini.