Setelah diadopsi Verio, kehidupan Ragna berubah. Apalagi saat mendapat ingatan masa lalunya sebagai putri penjahat yang mati akibat penghianatan.
Memanfaatkan masa lalunya, Ragna memutuskan menjadi yang terkuat, apalagi akhir-akhir ini, keadaan kota tidak lagi stabil. Bersama Verio, mereka memutuskan menuju puncak dalam kekacauan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Matatabi no Neko-chan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8
Beberapa tahun kemudian, Ragna tumbuh menjadi remaja dengan kecantikan luar biasa yang sulit diabaikan. Kulit kuning langsatnya bersinar terawat, rambut hitam legam tergerai indah, dan mata hijau gelapnya memancarkan pesona yang membius. Tak sedikit yang terpikat padanya. Namun, di balik wajah cantiknya, Ragna tumbuh menjadi pribadi yang berantakan dan penuh kejutan—sebuah kenyataan yang sering membuat Verio menggeleng tidak percaya.
Hari ini, contohnya.
Sebuah gang kecil dekat pasar malam berubah menjadi medan kekacauan. Ragna berdiri di tengahnya, mengenakan seragam sekolah yang sudah kusut dan robek di beberapa bagian. Tangan kanannya menggenggam tongkat kayu berlumur darah kering. Beberapa preman tergeletak di tanah, meringis kesakitan, sementara sisanya beringsut menjauh, takut menghadapi gadis kecil yang jelas lebih berbahaya daripada kelihatannya.
Langkah kaki terdengar dari kegelapan, dan Verio muncul dengan jaket hitam khasnya. Sorot matanya tajam, cukup untuk membuat beberapa penonton yang masih berdiri segera mematung.
“Kau bilang ini kegiatan ekstrakurikuler?” tanyanya dingin, kedua tangannya terselip di saku.
Ragna, yang baru saja mengelap keringat di dahi dengan punggung tangan, menatap Verio tanpa rasa bersalah. “Ekstrakurikuler? Bukan, Pa. Ini... pelatihan fisik. Penting untuk pertahanan diri.”
Verio mengangkat alis, menatap tongkat kayu di tangan Ragna yang mulai mengering dari bekas darah. “Pertahanan diri? Dari apa? Otakmu yang jelas tidak jalan atau mereka yang tidak tahu kapan harus menyerah?”
Ragna hanya tersenyum tipis, lalu melempar tongkatnya ke samping. “Mereka yang mulai duluan, Pa. Aku cuma... memberi pelajaran kecil.”
Verio melangkah mendekat, pandangannya berhenti pada goresan kecil di wajah Ragna. “Dan pelajaran apa yang kau dapat dari ini, huh? Kalau kau tidak mati, kau hanya membuat mereka punya alasan untuk membalas dendam.”
Ragna menyilangkan tangan di dadanya. “Pelajarannya? Jangan pernah remehkan anak perempuan, bahkan kalau dia terlihat manis dan berjalan sendirian. Bagaimana, Pa? Aku berbakat, kan?”
Verio memijat pelipisnya dengan frustrasi, tapi senyum tipis terbit di ujung bibirnya. “Kau benar-benar anak angkatku. Sama keras kepala dan gilanya seperti aku di umurmu.”
Ragna terkekeh, mengusap bekas kotoran di pipinya. “Tentu saja. Aku kan menjaga nama baik keluarga.”
Verio mengalihkan tatapan ke arah para preman yang masih meringkuk ketakutan di tanah. Dia menatap mereka dengan tajam, nadanya dingin ketika berbicara. “Pergi sebelum aku benar-benar mengajari kalian arti rasa sakit. Dan kalau aku lihat kalian mendekati dia lagi...”
Belum selesai dia berbicara, para preman itu sudah melarikan diri seperti angin. Verio menghela napas panjang, mengarahkan pandangannya ke Ragna.
“Sekarang pulang. Dan jangan lupa es krim yang kau janjikan tadi pagi.”
Ragna menyeringai nakal. “Tunggu dulu, Pa. Aku bilang kalau aku menang tawuran. Jadi sekarang, siapa yang harus traktir siapa?”
Verio menghela napas lagi, kali ini lebih berat. “Aku pasti sudah gila memutuskan membesarkanmu.”
“Tapi kau nggak menyesal, kan?” Ragna menatap Verio dengan senyum liciknya.
Pria itu hanya mengacak rambut Ragna dengan lembut. “Belum. Tapi jangan terlalu percaya diri, Nak.”
Verio dan Ragna berjalan keluar dari gang kecil itu, meninggalkan jejak kekacauan di belakang mereka. Langkah Verio tetap tenang, tapi di dalam pikirannya berkecamuk banyak hal. Ragna, di sisi lain, melangkah dengan ringan seolah baru saja menyelesaikan permainan.
“Pa, aku yakin kau bangga punya anak sehebat aku, kan?” Ragna memecah keheningan dengan nada santai, tangannya dimasukkan ke dalam saku seragam yang robek.
Verio menoleh sekilas, menatapnya dengan tatapan datar. “Bangganya di mana? Melihat anakku jadi biang kerok di gang sempit?”
“Yah, setidaknya aku menang, kan?” Ragna menjawab dengan tawa kecil, tapi tatapannya tetap penuh percaya diri.
“Menang?” Verio menghentikan langkahnya, membuat Ragna juga berhenti. Dia menatap gadis itu serius. “Ragna, dengar. Dunia ini bukan cuma tentang menang atau kalah. Orang-orang yang kau lawan itu mungkin tidak akan lupa. Mereka akan kembali dengan dendam, dan kau harus lebih hati-hati. Kau masih punya masa depan, mengerti?”
Ragna terdiam sejenak, tapi senyum kecil tetap tergurat di wajahnya. “Aku tahu, Pa. Tapi aku juga tidak akan biarkan orang lain menginjak-injakku. Aku bukan anak kecil lemah seperti dulu.”
Mendengar itu, Verio teringat masa lalu Ragna. Gadis kecil yang dulu ditemukan dalam kondisi memprihatinkan, dengan bekas luka yang masih membekas di tubuh dan mentalnya. Kini, dia berdiri di hadapannya, menjadi seseorang yang berani melawan apa pun yang menghalanginya.
“Aku tahu kau kuat,” Verio akhirnya berkata, suaranya lebih lembut. “Tapi tidak semua masalah harus diselesaikan dengan kekerasan. Kau bisa menggunakan otakmu, bukan hanya ototmu.”
“Baiklah, aku akan coba.” Ragna menjawab santai, lalu melanjutkan, “Tapi kalau gagal, aku bisa kembali pakai cara ini, kan?”
Verio menghela napas panjang, menahan senyum di balik wajah seriusnya. “Kau benar-benar anakku.”
Ketika mereka tiba di sebuah kedai es krim, Ragna langsung menyeret Verio masuk. “Ayo, Pa! Kau janji es krim tadi!”
“Yang janji itu kau,” Verio mengoreksi, tapi membiarkan dirinya ditarik masuk.
Setelah memesan es krim, mereka duduk di sebuah meja kecil. Ragna menikmati es krimnya dengan antusias, sementara Verio hanya mengamati, senyumnya tipis tapi penuh makna.
“Pa, kalau aku jadi kepala geng suatu hari nanti, kau akan tetap mendukungku, kan?” Ragna bertanya tiba-tiba.
Verio terbatuk, hampir menyemburkan minumannya. “Kepala geng? Kau serius?”
“Kenapa tidak? Aku sudah punya bakat alami untuk memimpin, kan?” Ragna menjawab dengan nada serius yang bercampur canda.
Verio menatapnya dengan ekspresi campuran antara bingung dan tidak percaya. “Aku nggak tahu harus bangga atau khawatir.”
“Terserah, Pa. Yang penting aku tahu kau akan selalu ada buatku.” Ragna tersenyum lebar, lalu kembali menikmati es krimnya.
Verio hanya menggeleng, tapi hatinya hangat. Dia tahu, di balik semua kenakalan dan kekacauan yang diciptakan Ragna, gadis itu tetaplah seseorang yang berharga baginya—anak yang dia pilih untuk menjadi bagian dari hidupnya.
🐾
"Jadi, kau yang bernama Verio?" Suara seorang pria mengganggu konsentrasi Verio. Dia menoleh dan melihat seorang pria berbaju jas mahal yang menatapnya dengan pandangan meremehkan.
"Aku tidak tahu kalau kau yang merawat putriku," pria itu melanjutkan dengan nada mengancam.
Verio, yang sedang berada di bengkel, meletakkan peralatan di tangan karyawannya dan memandang pria itu dengan ekspresi datar. "Ada masalah apa?" tanyanya tanpa banyak perasaan.
"Aku Stevan Bima Pradana, CEO perusahaan G&L," pria itu menyombongkan diri, seolah ingin menunjukkan siapa dirinya.
Verio mengenali nama itu. G&L, sebuah perusahaan yang hampir bangkrut sebelum dibeli oleh seorang investor misterius dan kini berkembang pesat di bidang teknologi dan pengobatan, dengan cabang-cabang yang tersebar di beberapa kota besar.
"Oh," jawab Verio santai, seolah tidak terkesan dengan kebanggaan yang dipamerkan pria itu.
"Aku peringatkan, jauhi putriku," Stevan melanjutkan dengan nada keras, membuat Verio mengangkat sebelah alisnya.
"Putrimu? Yang mana? Aku tidak sedang dekat dengan seorang gadis kecil," jawab Verio tanpa rasa khawatir, namun saat itu, pintu bengkel terbuka dan seorang gadis memasuki ruangan dengan senyum ceria di wajahnya.
"Papa~" Ragna memanggil dengan suara manja, namun begitu melihat Stevan di sana, senyumnya menghilang dan digantikan dengan ekspresi dingin.
Verio menatap Ragna, merasa ada yang tidak beres. "Ada apa?" tanyanya, waspada dengan perubahan mendadak pada wajah Ragna.
Ragna melirik Stevan dengan tatapan tajam, lalu beralih pada Verio dengan senyum nakal. "Ehehe... Pa, Papa tampan~" serunya dengan nada manja yang sudah sangat dikenal oleh para karyawan di bengkel. Mereka sudah terbiasa dengan interaksi antara Verio dan Ragna yang sering berujung pada perdebatan sarkastis.
"Ah, aku tadi bertemu dengan pria tua ini," lanjut Ragna dengan wajah kesal. "Dia menangis, loh. Katanya dia menyesal telah membuangku ke laut." Ragna mendengus, merasa kesal dengan keberadaan Stevan di sana.
Lalu, dengan cepat dia berpindah topik, "Jadi, bolehkan aku pinjam motor Papa yang seksi itu? Aku mau berkeliling sebentar," ujarnya dengan gaya manja, membuat beberapa karyawan menoleh ke arah mereka, sudah terbiasa dengan tingkah Ragna yang cenderung tak terduga.
Verio menatap Ragna sejenak, menilai apakah gadis itu serius atau hanya ingin mengalihkan perhatian. "Kamu mau pinjam motor, ya?" Verio bertanya sambil mengernyitkan dahi, namun senyumnya yang tipis menunjukkan dia sudah tidak terkejut lagi dengan permintaan Ragna yang kerap datang begitu saja.
Stevan, yang semula berniat mengancam, kini justru merasa kesal dengan sikap Ragna yang tidak menunjukkan rasa hormat sedikit pun padanya. Tapi, Verio tidak terlalu peduli dengan reaksi pria itu. Baginya, yang terpenting adalah memastikan Ragna tetap dalam keadaan aman, meski dengan caranya sendiri yang kadang membingungkan.
Stevan merasa kesal melihat sikap Ragna yang terlalu santai dan penuh dengan keberanian. Dia menatap Ragna dengan tatapan tajam, seolah menilai apakah gadis itu layak diperlakukan dengan tegas.
"Apa yang kau lakukan di sini?" Stevan berkata dengan suara yang lebih keras, berusaha menunjukkan dominasi. "Apakah Verio membiarkanmu melakukan hal semaumu? Kau tahu apa yang aku maksud, kan?"
Ragna hanya tertawa pelan, matanya yang hijau gelap menatap Stevan dengan tajam. "Kau tidak tahu apa-apa tentang aku," jawabnya santai. "Papa tidak perlu memberiku izin untuk melakukan apa yang aku inginkan. Kalau aku mau pinjam motor, aku cukup minta."
Verio yang mendengarkan percakapan itu hanya mengangkat bahunya. "Dia benar, Stevan. Ragna tidak perlu izin siapa pun untuk melakukan apa yang dia suka." Verio berkata dengan suara datar, menandakan dia sudah terbiasa dengan sikap Ragna yang berani dan tidak pernah ragu untuk berbicara jujur.
Stevan menatap Verio dengan mata penuh kebencian. "Jadi, kau memang membiarkan anak itu tumbuh dengan sikap seperti itu? Kau pikir itu bisa diterima? Bagaimana kalau dia menjadi orang yang tidak tahu aturan?" suara Stevan semakin keras, mencoba menggoyahkan ketenangan Verio.
Verio, yang tak tergoyahkan, menatap Stevan dengan tatapan penuh kebosanan. "Jika kau ingin mengajari Ragna cara hidup, mungkin sebaiknya kau cari orang lain yang lebih bisa dia dengar. Karena aku yang membesarkannya, dan aku tahu persis apa yang dia butuhkan."
Ragna yang mendengar kata-kata Verio hanya mengangguk, senyum sombong menghiasi wajahnya. "Betul, Pa. Aku butuh kebebasan untuk hidup dengan cara ku sendiri. Aku tidak akan jadi orang yang kau harapkan, Stevan."
Stevan mengernyitkan dahi, tampak frustasi dengan sikap Ragna yang tidak memberi ruang untuk perdebatan. Dia jelas merasa terhina, tapi Verio tetap tenang, menunjukkan bahwa dia bukan orang yang bisa ditekan oleh omongan manis atau ancaman.
"Kalau begitu, aku akan pergi. Tapi ingat, Verio, aku tidak akan tinggal diam. Kau mungkin tidak peduli sekarang, tapi suatu hari nanti, apa yang kau lakukan sekarang akan berbalik padamu," ancam Stevan sebelum berbalik dan meninggalkan bengkel dengan langkah cepat.
Verio hanya mengangguk pelan, tidak terlalu terganggu dengan ancaman itu. "Dia akan belajar," katanya dengan santai. "Tapi, sekarang... bagaimana dengan motor yang ingin kau pinjam?"
Ragna melirik Verio dengan senyum nakal. "Terima kasih, Pa! Aku janji akan hati-hati," ujarnya sambil bergegas menuju pintu bengkel, tak sabar untuk memulai petualangan barunya.
Verio hanya menggelengkan kepala, merasa sedikit frustasi namun tetap bangga dengan keberanian dan keuletan anak angkatnya itu. "Aku benar-benar gila membesarkanmu," gumamnya dengan senyum tipis, tetapi hatinya dipenuhi rasa sayang yang dalam untuk gadis itu.
Kehidupan mereka berdua penuh dengan tantangan, tetapi mereka sudah terbiasa dengan kekacauan yang terjadi. Bagi Verio, tidak ada yang lebih penting daripada melindungi Ragna dan memberikan kebebasan yang dia butuhkan.
Semangat author...jangan lupa mampir 💜