Entah dari mana harus kumulai cerita ini. semuanya berlangsung begitu cepat. hanya dalam kurun waktu satu tahun, keluargaku sudah hancur berantakan.
Nama aku Novita, anak pertama dari seorang pengusaha Mabel di timur pulau Jawa. sejak kecil hidupku selalu berkecukupan. walaupun ada satu yang kurang, yaitu kasih sayang seorang ibu.
ibu meninggal sesaat setelah aku dilahirkan. selang dua tahun kemudian, ayah menikah dengan seorang wanita. wanita yang kini ku sebut bunda.
walaupun aku bukan anak kandungnya, bunda tetap menguruku dengan sangat baik.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alin26, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 14
Aku tidak bisa mencerna ucapannya itu. Apa yang dia maksud dengan korban. Lalu, siapa yang datang?
"Kenapa kamu tidak usir wanita itu?" tanyanya. Namun, aku tidak bisa menjawabnya. Untuk menggerakan jari pun tidak bisa.
Wanita Berambut Panjang itu menghadapkan wajahnya kepadaku. Wajah yang jauh berbeda dengan terakhir kali kulihat. Seperti manusia tapi sangat pucat.
"Aku harap kamu selamat," ucapnya lirih, dengan wajah sedih.
Tak lama, dia menghilang. Seluruh tubuhku pun bisa kembali digerakan. Namun, badanku terasa sangat lemas. Hingga jatuh terduduk di lantai.
Aku berusaha berdiri, walaupun kaki masih gemetar. Berjalan perlahan untuk menggapai tembok. Sampai di kamar, langsung kukunci pintu. Lalu, duduk di atas tempat tidur.
Tangis pun pecah. Teror ini semakin sering terjadi dan mulai mengganggu hidupku. Rasanya ingin kembali ke Jerman. Namun, ada sebuah harapan di dalam hati, untuk melihat bunda kembali sadar.
*
Tok!
Tok!
Terdengar suara ketukan pintu.
Saatku membuka mata, perih sekali. Kepala pun pusing, dengan badan sedikit demam. Kulihat ke arah jendela, sepertinya sudah pagi.
"Non Novita," panggil Mbok Wati. Ingin membalas panggilan itu, tapi tenggorokanku terasa sakit.
Aku bangkit, berjalan mendekati pintu. Dengan langkah agak sempoyongan.
"Non?" Mbok Wati terus memanggilku.
Krek!
Kubuka pintu. Mbok Wati tampak kaget melihatku.
"Non Novita gak apa-apa?" tanyanya. Kubalas dengan gelengan kepala.
"Non pucet banget, lagi sakit?" tanyanya lagi.
"M-bok, min-ta minum," balasku lemah, dengan suara serak.
"Panas. Non tiduran dulu aja di kasur." Mbok Wati menyentuh dahiku. Kemudian, memapahku ke tempat tidur.
"Mbok, ambilin makan sama obat dulu ya, Non." Aku mengangguk pelan. Mbok Wati ke luar kamar.
Kuambil ponsel di atas nakas. Ternyata sudah pukul delapan pagi. Aku sampai tak sadar, kapan mulai tertidur.
Beberapa menit kemudian, Mbok Wati kembali membawa segelas air.
"Minum dulu, Non." Dengan cepat kuhabiskan segelas air itu.
"Mbok buatin bubur ya, Non?" tanya Mbok Wati.
"Iya, Mbok."
Mbok Wati pergi ke dapur. Tak lama sudah kembali lagi dengan membawa semangkuk bubur dan ayam rebus. Di dekatnya ada satu butir obat.
"Makan dulu, Non. Terus minum obatnya," ucap Mbok Wati seraya duduk di unjung tempat tidur.
"Non Novita, kenapa?" tanya Mbok Wati sambil memijat-mijat kakiku.
"Gak apa-apa, Mbok," balasku, lalu kembali menyantap bubur.
Entah kenapa aku sedang malas bercerita dengan Mbok Wati. Apalagi sejak tadi aku terus memikirkan siapa wanita yang dimaksud si Wanita Berambut Panjang. Apakah itu Mbok Wati?
Tindak-tanduknya kemarin membuatku sedikit curiga padanya. Paginya membakar kemenyan, malamnya Wanita itu datang menerorku. Ah, sudahlah! Biar nanti aku yang mencari tau sendiri.
Selesai makan dan minum obat, aku memilih untuk beristirahat.
"Jangan lupa tutup pintunya ya, Mbok," perintahku.
"Iya, Non," balasnya seraya pergi meninggalkan kamar.
Aku mulai memejamkan mata. Tidur.
*
Terasa sebuah sentuhan halus di atas kepaka. Kubuka mata, ternyata bunda sedang mengelus-elus rambutku. Duduk di sampingku dengan senyuman mengembang.
"Eh udah bangun, anak bunda," ucapnya pelan.
"Bu-n-da." Kupeluk tumbuhnya.
"Aku kangen bunda," ucapku terisak.
"Bunda juga kangen Novita."
Bunda bangkit dan menarik tanganku.
"Mau ke mana, Bun?" tanyaku seraya bangkit dari tempat tidur.
"Sini, ikut bunda."
Kami berjalan ke luar kamar, menuju ruang tengah. Bunda menghentikan langkah, berdiri menghadapku.
"Novita, kamu harus kuat," ucap Bunda sambil memegang kedua pundakku.
*terdengar suara gamelan*
Suara gamelan yang sama saat aku dikejar Wanita Ular itu.
"Bunda ...," ucapku sambil memeluknya erat.
"Kamu jangan takut." Bunda berusaha menenangkanku.
Hahahaha!
Wanita Ular itu datang. Kini menggunakan wujud setengah ular. Ada sebuah mahkota emas di atas kepalanya. Dengan berlian berwarna hitam di tengahnya.
"Sekarang giliran kamu!" ucapnya sambil mengibaskan ekor ke arah kami berdua. Kibasannya yang kuat, membuat pelukanku terlepas. Aku terduduk di lantai, begitu pula bunda.
"Bunda!" teriakku saat melihat Wanita Ular itu mulai melilit tubuh bunda. Dia menarik tubuh bunda, hingga menghilang di kegelapan.
"Bunda!" teriakku.
*
"Bunda!" Aku terbangun, dengan keringat bercucuran.
"Ini ayah, Novita," ucap Ayah yang sudah ada di hadapanku.
"Kamu dari tadi nyebut nama bunda. Abis mimpiin bunda, Ya?" tanya Ayah.
Aku mengangguk pelan.
Ayah menyentuh dahiku.
"Panasnya masih belum turun juga. Mbok Wati udah ngasih obat?"
"Udah."
Tubuhku mulai terasa gatal.
"Ayah, gatel," ucapku seraya menggaruk-garuk tangan dan leher.
Ayah menyingkapkan baju lengang panjangku.
"Ya ampun, Novita. Kenapa kulitnya merah-merah."
"Gak tau, Ayah. Gatel." Rasa gatalnya mulai menyebar ke seluruh tubuh.
"Kita ke rumah sakit sekarang!" Bergegas ayah mengangkat tubuhku. Membawaku ke mobil.
"Ada apa, Pak," ucap Mbok Wati panik.
"Ini Mbok, badan Novita jadi bentol-bentol merah," balas Ayah.
"Ya ampun, Non." Mbok Wati pun terlihat panik. Ikut berlari ke arah mobil.
Dadaku terasa panas. Nafas pun mulai memendek.
"Ayah, sesak," ucapku lemah.
Ayah sudah mendudukanku di bangku depan mobil. Tak lama mobil pun sudah melaju ke arah rumah sakit.
"Novita, jangan tidur, Sayang!" perintah Ayah. Aku bisa mendengar dengan jelas kepanikan di suaranya.
"Tahan! Sebentar lagi."
Air mataku mulai menetes, tidak kuat merasakan sakit di dada.
Tut!
Tut!
Bunyi klakson terus terdengar. Beberapa kali ayah berteriak pada pengguna jalan lain untuk minggir.
Lima belas menit perjalanan ke rumah sakit, merupakan pengalaman terberat dalam hidupku. Antara hidup dan mati.
Aku disiksa dengan rasa sakit yang teramat. Rasa gatal yang terus menjalar di seluruh tubuhku. Badan yang panas, serta nafas yang sesak.
Mobil berhenti di depan ruang IGD. Ayah kembali berteriak memanggil petugas medis, sambil mengangkat tubuhku. Tak lama tubuhku sudah dibaringkan di atas brankar. Dibawa ke dalam ruangan IGD.
Pendengaranku mulai berkurang. Sayup-sayup terdengar ayah yang terus menyemangatiku. Serta suara dokter dan suster yang memeriksaku.
Beberapa kali aku bisa merasakan ada jarum suntik yang menebus kulitku. Namun rasa sakitnya tidak seberapa, dibandingkan sakit yang sekarang kurasakan. Tak lama, mata ini mulai terasa berat.
"Aku tidak mau mati sekarang," ucapku dalam hati seraya menutup mata.