Sosok mayat perempuan ditemukan di sebelah kandang kambing.
Saksi mata pertama yang melihatnya pergi menemui kepala desa untuk memberitahukannya.
Kepala desa melaporkan kejadian menghebohkan ini ke kantor polisi.
Serangkaian penyelidikan dilakukan oleh petugas untuk mengetahui identitas mayat perempuan dan siapa pelaku yang membunuhnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon David Purnama, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
NYASAR, Harusnya Belok Kanan
Hampir setengah jam berlalu. Ini terlalu lama.
Jaka dan Anita tidak kunjung menemukan sekolah dan perkampungan warga yang dimaksud. Mereka berdua pun sepakat jika mereka telah salah belok dan tersesat.
Harusnya belok kanan bukan belok kiri.
Kini mereka telah lumayan jauh berkendara ke kawasan persawahan. Sama sekali tidak mereka jumpai rumah-rumah penduduk. Kiri kanan mereka adalah padi dan padi.
Satu-satunya rumah yang mereka temukan adalah rumah hewan ternak yang berada di kanan jalan berdiri sendiri di area persawahan. Telah mereka lewati beberapa menit yang lalu.
Motor sudah mentok. Tidak bisa melaju lagi karena jalan di sawah itu semakin menyempit dan tidak ada jalan lain. Satu-satunya jalan untuk sepeda motor adalah putar balik.
Tapi karena suasana yang sepi sama sekali tidak ada saksi mata yang lain. Keduanya sama-sama ingin memanfaatkan momen ini.
Mungkin sudah jalannya semesta membawa mereka tersesat ke tempat yang asri dengan pemandangan dan udara yang sejuk ini. Bisikan pihak yang ketiga adalah setan. Nafsu pun sepakat.
Jaka dan Anita sama-sama turun dari motor yang sudah dimatikan suaranya. Keduanya saling pandang.
Mereka berdua pun mengangguk.
Jaka menggenggam tangan Anita. Laki-laki itu menuntun perempuannya. Berjalan melewati jalan setapak sawah yang basah.
Kemana dua sejoli itu mau pergi?
Mereka ingin berduaan memadu kisah romantis. Di bawah pohon besar nan rindang yang mereka lihat saat di sana.
Pohon besar yang seakan mengundang mereka berdua untuk datang itu letaknya tidak jauh dari jalan utama persawahan.
Sampailah Jaka dan Anita di pohon besar itu. Mereka berdua sama-sama tersenyum dan tertawa karena kegirangan. Bercanda dengan mesra. Sungguh perfect momen.
Dari tempat mereka sekarang berada juga terdengar musik.
Nada suara alami perpaduan dari bunyi aliran arus sungai yang tidak jauh dari sana. Serta suara angin yang dawaikan daun-daun, vocal burung-burung, dan juga acapella rupa-rupa serangga.
Jaka dan Anita langsung mengambil posisi. Anita duduk bersandar di pohon besar itu. Sementara Jaka berbaring dengan menidurkan kepalanya di pangkuan paha Anita.
Selanjutnya mereka berdua tidak lagi banyak bicara. Jaka dan Anita sama-sama aktif bergerak.
Di tengah-tengah perbuatan yang memacu adrenalin dan menguras stamina tapi menyenangkan itu Anita sempat mengeluh.
“Aduh sakit”,
“Ah”, kata Anita sambil memegang bagian belakang kepalanya yang masih tertutup hijab.
“Kenapa sayang?”, tanya Jaka.
Jaka pun memegang bagian belakang kepala Anita sambil mengelusnya pelan.
Jaka mengira Anita secara tidak sengaja membenturkan kepalanya ke pohon.
Meski begitu mereka berdua tetap lanjut. Mereka baru akan berhenti jika keduanya sudah lelah dan buah dari perbuatan itu sudah bisa dirasakan kepuasannya.
“Ah sakit”,
Untuk kedua kalinya Anita mengeluh demikian, bahkan kali ini ia seperti ingin menangis. Jaka berpikir pasti kepala Anita terbentur pohon lagi.
Walau begitu mereka berdua tidak terlalu menghiraukannya. Suara desahan mereka mengalahkan suara yang apa pun.
Mereka berdua benar-benar sedang fokus pada apa yang mereka perbuat.
Kalau sudah terjadi demikian, tidak ada yang bisa menunda atau pun menghentikannya. Malu juga tidak bisa ditemukan saat mereka hanya berdua tidak terlihat oleh orang siapa pun.
Seperti kuda yang pakai kacamata. Lurus terus sampai cambuk atau tarikan menghentikannya.
“Langsung ke kos saja ya”, pinta Anita.
Sepertinya Anita sekarang menjadi begitu lemas dan lemah. Senada dengan apa yang disampaikannya pagi hari tadi sebelum berangkat bahwasanya ia memang sedang kurang prima.
“Tidak jadi lihat sekolahan?”, tanya Jaka.
“Tidak perlu sekarang, sudah tahu jalannya, besok saja aku sendiri sekalian berangkat”, jawab Anita.
Saat itu Anita ingin sampai di kamar kos barunya untuk segera tidur beristirahat karena ia sudah terlalu lelah.
“Pelan-pelan saja ya, aku sudah mulai mengantuk”, kata Anita ketika motor Jaka mulai melaju.
“Kamu pegangan”, kata Jaka.
Baru juga sebentar berjalan. Bibir juga masih belum kering dari ucapan yang terakhir. Pohon besar itu juga masih kelihatan.
Tiba-tiba tanpa pemberitahuan Anita terjatuh dari motor. Untung jalannya pelan sehingga Anita tidak terluka.
Tapi yang ada perempuan itu justru pingsan tidak sadarkan diri.
Bingung. Itulah yang dirasakan Jaka sekarang.
“Bangun sayang”,
“Anita bangun”, Jaka tentu saja panik.
Ia memeriksa tanda-tanda vital kekasihnya. Anita masih hidup. Calon guru baru di SD Janjiwan itu masih bernafas dan denyut nadinya masih terasa meski lemah.
“Tolong”,
“Tolong”,
Jaka berteriak minta bantuan. Sayangnya sama sekali tidak ada orang di sana. Di hari yang sudah sore menjelang magrib itu sawah benar-benar sepi.
Melihat Anita yang sudah berubah menjadi pucat. Jaka semakin panik dan mulai dilanda ketakutan. Ia tidak ingin sesuatu yang buruk menimpa orang yang paling dicintainya itu.
Jaka berpikir ia harus segera mencari pertolongan.
Ia melihat arah langit. Jaka pun menjadi ikut muram karena langit sudah mulai mendung tidak secerah di kala siang. Apalagi di bulan ini sudah terbiasa kalau malam turun hujan.
Jaka teringat dengan sebuah kandang ternak yang dilaluinya tadi di kanan jalan saat ia masuk jalan persawahan ini.
Ia pun berinisiatif untuk memindahkan Anita yang masih juga belum sadar ke tempat itu. Setelahnya baru ia akan pergi untuk mencari bantuan ke perkampungan warga.
Jaka pun melakukannya. Tapi ternyata tidak semudah itu.
Jaka yang berperawakan kurus cukup kesulitan untuk membopong Anita yang tidak sadarkan diri.
Namun dengan kegigihannya ia sampai juga membawa Anita di samping kandang kambing.
Sampai di tempat itu pun Anita masih belum juga menunjukkan tanda-tanda kebaikan untuk siuman. Justru terlihat wajah Anita yang semakin pucat.
Sepatu Anita dua-duanya sempat lepas saat di bopong oleh Jaka tadi. Jaka pun mengambil kembali sepatu-sepatu berwarna merah maroon yang jatuh tidak berjauhan di jalan yang tadi ia lalui.
Sepatu itu adalah hadiah dari Jaka untuk Anita di ulang tahunnya bulan lalu.
Jaka kehilangan hijab berwarna kuning yang dipakai Anita. Ia sudah mencarinya di jalan yang tadi ia lalui. Entah dimana jatuh lepasnya kerudung itu.
Ia kembali dengan sepasang sepatu untuk ia taruh di dekat Anita yang masih pingsan.
Sebelum pergi mencari orang untuk menolongnya Jaka terlebih dahulu memeriksa tanda-tanda vital Anita lagi.
Tapi kali ini hasilnya tidak sama.
Suara nafas Anita sudah tidak ada. Denyut nadinya tidak lagi terasa. Jaka mencoba mendengarkan detak jantung Anita, tapi jantung perempuan itu sudah tidak lagi berdenyut.
Jaka melakukan nafas buatan untuk Anita.
Jaka dan Anita kembali beradu bibir. Tapi situasinya sungguh berbeda. Tidak seperti beberapa saat yang lalu di bawah pohon besar nan rindang.
Di samping kandang kambing itu upaya Jaka melakukannya gagal tidak berbuah hasil seperti apa yang ia harapkan.
Mengetahui Anita yang sudah tidak lagi bernyawa Jaka bertambah panik dan semakin takut.
Ia pun meninggalkan kekasihnya itu untuk pulang ke Riyak.
*
Begitulah keterangan dan kesaksian dari Jaka Rahmadi selaku laki-laki teman dekat Anita yang di hari minggu itu menjadi orang yang terkahir kali bersama dengan korban.
Sosok perempuan yang ditemukan sudah meninggal dunia di sebelah kandang kambing keesokan paginya di hari senin.
“Demi Allah pak, saya tidak membunuh Anita”, kata Jaka Rahmadi bersumpah.