Liu Wei, sang kultivator bayangan, bangkit dari abu klannya yang dibantai dengan Pedang Penyerap Jiwa di tangannya. Dibimbing oleh dendam dan ambisi akan kekuatan absolut, dia mengarungi dunia kultivasi yang kejam untuk mengungkap konspirasi di balik pembantaian keluarganya. Teknik-teknik terlarang yang dia kuasai memberinya kekuatan tak terbayangkan, namun dengan harga kemanusiaannya sendiri. Di tengah pertarungan antara takdir dan ambisi, Liu Wei harus memilih: apakah membalas dendam dan mencapai keabadian lebih penting daripada mempertahankan sisa-sisa jiwa manusianya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon pralam, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jejak Keabadian
Kabut keemasan masih mengambang di udara Lembah Bulan Berdarah, sisa-sisa dari ledakan spiritual yang telah mengubah takdir dunia kultivasi selamanya. Di tengah reruntuhan formasi kuno, Liu Wei berlutut, Pedang Penyerap Jiwa yang kini retak tergeletak di sampingnya.
Tubuh ibunya telah lenyap menjadi serpihan cahaya, tapi Liu Wei masih bisa merasakan kehangatan sentuhan terakhirnya. Di tangannya, secarik kain - bagian dari lengan jubah ibunya - adalah satu-satunya bukti fisik bahwa semua ini bukan mimpi.
"Kau memang anak yang keras kepala," sebuah suara lemah terdengar. Lao Tianwei, yang tubuhnya kini setengah transparan, bersandar pada sebongkah batu. "Seperti ibumu."
Liu Wei tidak menjawab. Lima belas tahun membenci pria ini, dan kini... dia bahkan tidak yakin apa yang dia rasakan.
"Kau tahu," Lao Tianwei terbatuk, darah spiritual mengalir dari sudut bibirnya, "aku selalu bertanya-tanya... kenapa Mei Xue memilihmu. Dari semua kultivator muda di Klan Liu... kenapa harus kau?"
Angin dingin bertiup, membawa aroma akar teratai hitam yang hanya tumbuh di lembah ini. Liu Wei mengangkat kepalanya, menatap bulan yang perlahan kembali ke warna normalnya.
"Karena aku lemah," Liu Wei akhirnya berkata. "Karena di antara semua kultivator muda, hanya aku yang tidak memiliki bakat istimewa. Yang ibu lihat bukan potensi... tapi determinasi."
Lao Tianwei tertawa pelan, tawa yang berubah menjadi batuk. "Dan lihat sekarang... kau telah melampaui mereka semua." Dia menatap Liu Wei dengan tatapan yang sulit dibaca. "Kau tahu apa yang menunggumu setelah ini, bukan?"
Liu Wei mengangguk. Dengan hancurnya Formasi Pembalik Takdir, segel yang menahan para tetua Sekte Awan Hitam telah lepas. Dan mereka... tidak akan senang mengetahui rencana ribuan tahun mereka telah gagal.
"Mereka akan memburu--" kalimat Lao Tianwei terpotong oleh batuk darah yang lebih parah.
"Aku tahu," Liu Wei berdiri, mengambil Pedang Penyerap Jiwa yang retak. Meski ribuan jiwa di dalamnya telah dilepaskan oleh formasi, pedang ini masih beresonansi dengan jiwanya sendiri. "Tapi kali ini... aku tidak sendirian."
Dari balik jubahnya, Liu Wei mengeluarkan sebuah buku tipis - buku yang diam-diam diselipkan ibunya ke dalam kalung jade, tersembunyi di balik diagram formasi. Sampulnya yang usang bertuliskan: "Teknik Kultivasi Bayangan Sejati".
"Itu..." mata Lao Tianwei melebar. "Mustahil... teknik itu telah hilang sejak..."
"Sejak Perang Spiritual Besar," Liu Wei menyelesaikan kalimatnya. "Ibu menyimpannya, menunggu saat yang tepat."
Liu Wei membuka buku itu, membiarkan energi spiritual murni mengalir dari halamannya. Ini bukan teknik kultivasi biasa - ini adalah warisan sejati Klan Liu, jauh lebih dalam dan kompleks dari teknik bayangan yang selama ini dia gunakan.
"Wei'er," Lao Tianwei memanggil saat tubuhnya mulai pecah menjadi serpihan cahaya. "Ada yang harus kau tahu... tentang ayahmu..."
Tapi sebelum dia bisa menyelesaikan kalimatnya, tubuhnya telah sepenuhnya lenyap, meninggalkan Liu Wei dengan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban.
Di kejauhan, guntur menggelegar. Liu Wei bisa merasakan perubahan di udara - para tetua Sekte Awan Hitam telah terbangun, dan mereka akan segera menyadari apa yang telah terjadi.
Memasukkan buku warisan ke dalam jubahnya, Liu Wei menatap pedangnya yang retak. Dulu, retakan ini akan membuatnya frustrasi, tanda bahwa dia masih belum cukup kuat. Tapi kini...
"Mungkin," dia bergumam pada dirinya sendiri, "ini adalah awal yang baru."
Dengan satu gerakan halus, Liu Wei menyarungkan pedangnya. Kali ini, saat dia melangkah meninggalkan Lembah Bulan Berdarah, langkahnya tidak lagi dibebani dendam atau ambisi buta akan kekuatan.
Karena terkadang, untuk menemukan jalan yang benar, kita harus terlebih dahulu tersesat dalam kegelapan.
Dan saat fajar mulai menyingsing di ufuk timur, Liu Wei tahu - perjalanannya yang sesungguhnya... baru saja dimulai.