Terdengar Musik yang terus di putar dengan kencang di sebuah bar hotel, disertai dengan banyaknya wanita cantik yang menikmati serta berjoget dengan riang. Malam yang penuh dengan kegembiraan, yang tak lain adalah sebuah pesta bujang seorang gadis yang akan segera menikah dengan pujaan hatinya. Ia bernama Dara Adrianna Fauza, gadis cantik dan manis, anak sulung seorang pengusaha sukses.
"Dar, gue ngak nyangka banget Lo bakalan nikah. Selamat ya bestie?" Ucap salah seorang gadis yang merupakan teman SMA dara.
"Iya. Makasih yah bestie. Gue doain semoga Lo cepet nyusul yah? Biar gantian, gue yang di undang." Ucap Dara sambil tersenyum.
Dara yang merasa haus pun segera mengambil sebuah jus untuk di minum, ia pun meminumnya.
Pesta terus berjalan dengan lancar, semua teman dara menikmati pesta dengan bahagia. Seketika dara yang sedang bersama dengan teman-temannya pun menjadi pusing. Mata menjadi sangat berat, pandangannya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon megawati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab
"Maaf, saya akan kembali ke ruangan saya sekarang. Ugh...,"rintih Dara saat berusaha bangkit.
"Diam disini dan jangan banyak bergerak!" Tegas Brama, kemudian dia segera menghubungi dokter perusahaan agar cepat datang.
Melihat sang wanita merintih menahan sakit di perutnya, tangan Brama seperti hendak mengelus untuk meredakan sedikit kesakitannya. Brama segera mengepalkan tangan agar tidak kelepasan dan membuat Dara menjadi besar kepala karena diperhatikan olehnya.
Tidak untuk sekarang, Dara harus mengatakan lebih dulu bahwa bayi itu adalah milik Brama.
Tak berselang lama, dokter perusahaan datang dengan membawa alat medis dan mulai memeriksa Dara. Dokter tersebut juga menanyakan beberapa hal kepada Dara.
Melihat dari cara Dara yang selalu menunduk dan gerakan kecil yang menunjukkan bahwa Dara takut kepada Brama, sang dokter bisa menebak jika Brama baru saja mengatakan sesuatu yang membuat emosi Dara menjadi tak terkendali.
Dokter pun tahu, Brama selalu bersikap tegas pada semua karyawan. Tak jarang, sikap brama membuat lawan bicaranya ketakutan, seperti dirinya sendiri yang selalu segan kepada Brama.
"Apa yang terjadi padanya, Dok?" Tanya Brama pada sang dokter.
"Saya sarankan agar Nona Dara tidak banyak memikirkan hal yang berat-berat dulu untuk saat ini. Waktu itu, Nona Dara juga sempat pingsan, bukan? Perubahan emosi yang mendadak dan tekanan yang dapat memicu stres ibu hamil, bisa mengakibatkan kandungan lemah dan kondisi serius pada janinnya." Ucap dokter.
Rahang Brama mengeras ketika mendengar penjelasan dokter.
"Kalau begitu, berikan dia pengobatan dan vitamin" perintah Brama.
"Saya sudah meresepkan obat penguat kandungan dan vitamin untuk Nona Dara, Tuan. Selain itu, Nona Dara lebih memerlukan support system dari orang-orang di sekitarnya, apalagi ini adalah kehamilan pertama, Nona Dara,"terang sang dokter.
Brama mengumpat dalam hati. Apakah Dara kesakitan gara-gara dia terlalu menekannya? Lalu apa yang harus dia lakukan selanjutnya?
"Terima kasih, Dok. Saya sudah membaik sekarang. Saya akan kembali ke ruangan saya" ucap Dara dusta. Sesungguhnya, dia masih merasakan sakit itu walaupun tak sebesar tadi.
Dara pun berjalan pelan keluar dari ruangan Brama dengan membawa perasaan sedih yang mendalam. Mendengar penjelasan dokter bahwa kondisi kandungannya lemah dan mengingat tekanan dari Brama sebelumnya, membuat Dara ingin menangis.
Akan tetapi, Dara segera mengusir semua beban pikirannya satu persatu dengan menyibukkan diri pada pekerjaan.
"Aku ngak akan memikirkan masalah yang berat-berat lagi, dan hanya akan peduli dengan diri aku sendiri dan bayi aku mulai sekarang" batin Dara dalam hati seraya mengelus lembut perutnya.
Dara akan melepaskan semua hal yang mengganggu pikiran dan hatinya. Arman, Ayra, Aldo dan Brama, tidak sebanding dengan kesehatan buah hatinya. Dara akan berhenti peduli pada semua orang itu!
***
Sepanjang perjalanan pulang, Dara memikirkan dengan matang tindakan yang akan di ambilnya. Dara masih perlu bekerja di perusahaan Pranaja untuk saat ini. Dia harus segera menikah agar Brama tak lagi menekan dirinya.
Dara menatap Rangga yang sedang fokus mengemudi di sampingnya.
"Apa kak Rangga ngak keberatan kalau harus menikah Sama aku?" Batin Dara.
Benar! Dara sudah memutuskan akan menerima tawaran keluarga Rawal untuk menikah dengan Rangga. Dia hanya perlu memastikan jika Rangga tidak terpaksa menikahi dirinya.
"Kenapa? Apa aku begitu tampan sampai kamu ngak berkedip sedikit pun saat menatap aku?" Ucap Rangga terkekeh pelan tanpa menoleh ke arah Dara.
"Kak Rangga, aku pengen makan di luar. Kaka mau ngak nemenin aku?" Pintah Dara.
Rangga menatap Dara sekilas, lalu kembali fokus melihat jalan di depan. Dia mengulum senyuman ketika melihat Dara yang tampak lebih bersemangat dari hari-hari sebelumnya.
Dara selalu dan semakin cantik dengan senyuman di wajahnya. Membuat pria yang sedang memegang kemudi dengan erat itu berdebar-debar tak karuan.
"Oke. Aku akan mengajak kamu ke tempat yang bagus setelah kita makan" ucap Rangga tersenyum ke arah Dara.
Suasana hati Dara semakin membaik tatkala Rangga mengajaknya jalan-jalan ke berbagai tempat menyenangkan. Semua kegelisahan Dara benar-benar telah menghilang dengan gurauan dan kesenangan yang diberikan oleh sang Kaka dari sahabatnya yang sebentar lagi akan menjadi suaminya.
Ternyata, tidak butuh cinta untuk bahagia. Hanya melewatkan waktu bersama orang yang memedulikan dirinya saja, Dara bisa tertawa lepas sehingga dapat melupakan semua masalah yang ada.
"Mau ke pantai untuk melihat matahari terbenam?" Tawar Rangga
Dara mengangguk tanda setuju.
Senja menyapa, matahari pun mulai tenggelam. Dara dan Rangga duduk di tepi pantai sambil menikmati pemandangan indah langit jingga yang terhampar di atas lautan.
Angin laut menerpa rambut panjang Dara hingga melambai-lambai dan sedikit menutup wajahnya. Rangga segera menyibak helaian rambut Dara dan menyelipkan ke belakang daun telinga. Mata mereka saling beradu, menghantarkan getaran aneh dalam dada.
Rangga adalah sosok yang Dara hormati dan kagumi sejak dulu. Hanya sebatas itu. Namun, pria itu akan menjadi suami dan ayah dari anak-anaknya. Dara berharap bahwa dirinya akan bisa mencintai Rangga setelah mereka menikah nanti.
Di depannya, pria itu sedang merasa bahagia. Kedua pipi Rangga yang merona, tersamarkan oleh langit yang kian menggelap.
Sejak mengenal Dara, Rangga sudah tertarik pada sahabat adiknya itu. Siapa yang tak akan terpesona oleh gadis cantik, pintar dan baik hatinya seperti Dara? Hanya orang bodoh yang tak jatuh hati padanya.
Akan tetapi, rasa itu hanya dapat Rangga simpan dalam hati karena Dara selalu bercerita tentang Aldo Meyson dengan sorot mata yang berbinar-binar penuh kasih sayang. Juga karena Aleta selalu memastikan supaya Rangga tidak mendekati Dara.
Menurut Aleta, Rangga tak pantas untuk bersanding dengan Dara karena Dara sudah bersama dengan Aldo. Dan setelah mendapat kesempatan langka dan juga dukungan keluarga untuk bisa menikahi Dara, Rangga tak akan menyia-nyiakannya.
"Dingin? Mau pulang sekarang?"tanya Rangga lembut.
"Ada yang ingin aku bicarakan, kak. Ini tentang menikah deng...!" Ucap Dara ragu dan malu mengatakannya.
"Kamu ngak perlu merasa tertekan dengan permintaan semua orang, Ra. Apa pun keputusan kamu, kami semua akan terima dan selalu mendukung kamu. Tapi aku berharap, kamu mau mempertimbangkan untuk menikah denganku, karena aku!" Ucap Rangga terpotong.
"Aku mau, kak. Itu pun kalau kakak ngak keberatan menerima aku sebagai!"ucap Dara terhenti.
GREP!
Rangga tiba-tiba memeluk Dara dengan erat. Biarlah nanti saja dia mengungkapkan isi hatinya setelah menikah.
"K-kak..."ucap Dara.
"Aku akan menjaga kamu dan anak ini, Ra" bisik Rangga.
Pemandangan indah dan terlihat romantis itu, bukan hanya mereka berdua saja yang tahu. Beberapa meter dari lokasi mereka berada, duduk seorang pria yang tengah menyorot mereka dengan kamera yang disembunyikan secara rapi dan tak mungkin dapat terlihat oleh siapa pun.
Pria itu telah mengawasi gerak-gerik Dara dan Rangga sejak mereka meninggalkan gedung perusahaan Pranaja. Mereka sama sekali tak menyadari keberadaan pria yang selalu berganti pakaian penyamaran di setiap lokasi yang berbeda.
Dan kamera yang disembunyikan dengan baik tersebut, terhubung pada layar monitor di ruang kerja apartemen Brama. Dia mengebrak meja dengan kepalan tangan saat melihat Rangga sedang memeluk Dara.
Bukan hanya video mereka saja yang terekam sangat jelas dan jernih, Brama juga dapat mendengar percakapan mereka berdua. Entah bagaimana cara orang suruhannya tersebut menempelkan penyadap suara di tas yang dikenakan Dara.
"Sialan! Aku malah membantu mereka bersatu! Sial!" Ucap Brama geram.
Brama pun segera menghubungi seseorang dari ponselnya.
"Lakukan rencana itu sekarang!" Perintah Brama dengan suara keras dan tegas.
***
Di kediaman Rawal...
"Mama, Papa, Aleta, Rani! Aku punya berita bagus!" Seru Rangga.
Dara ingin menghentikan Rangga karena malu. Tetapi, Rangga terlihat sangat bahagia. Dara pun mengikuti Rangga yang kini sedang mencari-cari seluruh anggota keluarganya.
Aleta dan Rani yang mendengar panggilan Rangga bergegas turun dari lantai dua dan menghampiri mereka.
"Ada apa? Papa sama Mama lagi keluar karena ada pertemuan penting"ucap Aleta.
"Kakak kenapa? Ada masalah?" Tanya Rani.
Rangga berlari kecil dan langsung memeluk Aleta dan Rani secara bersamaan.
"Dara akan menjadi kakak ipar kalian sebentar lagi." Ucap Rangga bahagia.
"Oh iya?" Ucap Aleta dengan senyuman terbit di wajahnya. Dia sampai menjambak kecil rambut kakaknya karena berhasil membujuk sahabatnya.
"Tapi kenapa kakak bahagia banget? Bukannya kakak pernah bilang kalau Dara itu hanya boc! Um....!" Ucap Aleta terhenti.
Rangga segera membekap mulut adiknya dengan telapak tangan. Dia ingat pernah mengatakan pada Aleta jika Dara hanya bocah ingusan dan dia tak akan pernah tertarik atau menggodanya.
Tentu saja, Rangga mengatakan itu hanya untuk membuat adiknya tenang, setelah Aleta memperingatkan dirinya agar tidak dekat-dekat dengan Dara.
"Cepat kamu kabari Mama sama Papa, biar mereka cepat pulang. Kita harus segera mendiskusikan tentang acara pernikahan aku sama Dara segera sebelum perut Dara membesar," ucap Rangga mendorong adiknya dengan tatapan mengancam.
"Iya, iya. Ngak sabaran banget sih" ucap Aleta.
"Aku mau mandi dulu. Kamu juga segera bersihkan diri, Ra. Jangan terlalu lama mandinya, kasihan anak kita bisa menggigil kedinginan walaupun kamu mandi air panas." Ucap Rangga sambil berjalan menaiki tangga menuju lantai dua.
Anak kita? Dara tersenyum samar mendengarnya.
Keputusannya tidaklah salah. Rangga pasti akan menjadi ayah yang baik untuk anaknya. Bahkan, Rangga tak mempermasalahkan identitas ayah dari bayi tersebut yang masih Dara sembunyikan dari keluarga Rawal.
Aleta juga tampak sangat bahagia saat memeluk Dara dan mengikuti dirinya saat masuk ke kamar. Dia bahkan menunggu Dara sampai selesai mandi.
Tak berselang lama, Tuan dan Nyonya Rawal akhirnya pulang. Rangga dan Aleta serta Rani segera menarik orang tua mereka hingga duduk di ruang keluarga. Dara pun sudah menunggu di sana sejak tadi dengan gugup.
"Kami baru saja pulang. Ada apa ini?" Tanya Burhan.
"Aku sama Dara sudah memutuskan untuk menikah, Ma, Pa." Ucap Rangga.
Ribka tersenyum bahagia. Dia bangkit dan duduk di sebelah Dara seraya memeluknya. Air mata haru menetes di pipi wanita yang hampir berusia setengah abad dan masih terlihat menawan itu.
"Bagus. Bagaimana kalau kalian menikah Minggu depan? Lebih cepat, maka lebih baik,"usul Ribka.
Mata Dara melebar. Satu Minggu terlalu cepat baginya! Dia juga harus mempersiapkan diri dan hatinya supaya Rangga tidak kecewa setelah menikahi dirinya.
"Bukankah satu Minggu terlalu lama? Bagaimana kalau tiga hari lagi? Kita juga harus memikirkan perut Dara," sahut Rangga.
Ribka dan Rangga saling berdebat memutuskan tanggal pernikahan. Sementara Dara diam-diam menatap Burhan yang terlihat sedang memikirkan sesuatu dengan kening berkerut.
Apakah Burhan Rawal tidak senang dengan keputusannya?
Pemikiran Dara tersebut segera dibantah oleh kata-kata Burhan yang menengahi perdebatan antara anak lelakinya dan istrinya.
"Ada baiknya kalau kita mendaftarkan pernikahan kalian besok siang. Masalah pesta pernikahan bisa di pikirkan lagi setelahnya. Bagaimana Dara? Apa kamu ngak keberatan?" Tanya Burhan.
"Besok siang?" Ucap Dara dan Aleta memekik secara bersamaan.
"Kita tidak punya waktu lagi untuk berpikir. Rangga benar, kita harus mempertimbangkan perut Dara yang akan semakin membesar" ucap Burhan.
Tidak! Besok siang terlalu cepat. Hati Dara belum sepenuhnya siap.
(Hmm, apakah pernikahan itu akan terjadi???)