Apa jadinya kalo seorang anak ketua Organisasi hitam jatuh cinta dengan seorang Gus?
Karena ada masalah di dalam Organisasi itu jadi ada beberapa pihak yang menentang kepemimpinan Hans ayah dari BAlqis, sehingga penyerangan pun tak terhindarkan lagi...
Balqis yang selamat diperintahkan sang ayah untuk diam dan bersembunyi di sebuah pondok pesantren punya teman baiknya.
vagaimanakah kisah selanjutnya?
Baca terus ya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irma pratama, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rencana Kabur
Bahan-bahan masakan sudah tersaji di atas meja. Beberapa peralatan dapur yang akan dipakai ikut tersedia. Melodi sudah siap akan memasak makanan yang sesuai di lidah Balqis.
Semenjak Melodi mulai mengolah bahan-bahan masakan. Balqis hanya diam saja seperti seorang juri yang memperhatikan chef memasak. Matanya ke sana sini melihat gerak-gerik Melodi yang lihai.
"Mel, tadi gue ketemu sama bunda Halimah. Aslinya dia cantik banget ya, senyumannya juga manis. Dia jauh banget sama Umi Fatimah yang udah ada keriputnya," ucap Balqis blak-blakan. "Gue jadi nggak yakin kalo Aby Arsalan bisa ngelupain Bunda Halimah. Pasti Aby masih cinta sama Bunda Halimah,"
Melodi tersenyum mendengar perkataan Balqis yang menggosip. "Jangan menyimpulkan sesuatu yang nggak kita diketahui, Qis,"
"Tapi emang itu faktanya Mel. Gue aja cewek nggak bisa bohong kalo bunda Halimah itu cantik. Pasti Aby Arshalan juga mikir kayak gitu deh," sahut Balqis sambil mengetuk-ngetuk dagunya.
Lagi-lagi Melodi hanya bisa tersenyum. Perkataan Balqis mampu membuat dapur terasa ramai tidak sehening biasanya.
"Mel, Gue sampe penasaran loh, apa alesan yang buat aby sama bunda bisa pisah?" sambung Balqis. "Apa gara-gara ada orang ketiga??"
"Hus! Jangan bilang seperti itu. Mereka berpisah memang mungkin bukan jodohnya saja," timpal Melodi.
"Mau bagaimana pun mereka tetap bersama, bila bukan jodohnya pasti akan berpisah, Qis"
Balqis terdiam. Dia memikirkan perkataan Melodi barusan.
"Kalo ada salah satu pasangan lebih dulu meninggal juga namanya bukan jodoh ya?"
Melodi melirik. Dia menatap Balqis yang wajahnya datar. "Kalau itu bukan jodoh namanya tapi cinta sampai mati! Maaf Qis ibu kamu meninggal sudah lamakah?"
"Hmm... Mommy meninggal pas lahirin Gue, Daddy bilang saat itu Daddy harus milih antara 2 pilihan mau milih gue yang hidup atau Mommy? Daddy milih Mommy yang hidup karena Daddy sangat sayang dan cinta banget sama Mommy, tapi akhirnya Mommy yang paksa Daddy buat milih gue..." Balqis memalingkan wajahnya. Dia mengambil bawang merah dan menatapnya.
"Gue sama Daddy meskipun tinggal bersama, tapi nggak kayak keluarga, dia sibuk dengan kerjaannya. Hari-hari gue dihabisin sama baby siters." Balqis menghela nafas sesaknya. "Tapi... Gue yakin Daddy sayang sama gue kok, ya... Buktinya pas terakhir kali kita ketemu dia---" ucap Balqis tercekat saat mengingat ekspresi wajah sang ayah saat memintanya untuk segera pergi meninggalkannya dan melarikan diri dari para penjahat.
Dadanya sesak matanya mulai memanas. Melodi yang tengah memotong bawang teralihkan. Dia menatap Balqis yang beberapa kali menghela nafasnya.
"Apa kamu merindukan mereka?"
Balqis pun mengusap air mata yang tidak sengaja jatuh lalu menghela napas panjang. "Banget. Gue kangen pelukan Daddy. Terutama Mommy yang nggak pernah gue dapetin dari semenjak gue lahir.."
Tangan Melodi terulur. Dia mengusap punggung Balqis memberikan ketenangan untuknya. "Aku yakin suatu saat nanti kamu akan mendapatkan pelukan hangat lagi dari Daddy kamu dan mungkin orang lain yang akan menjadi sosok ibu buat kamu.."
Balqis mengangguk-ngangguk. "Hah.. Oke, Trus ini digimanain, Mel? pake cabe ga?"
Melodi tersenyum sambil mengangguk pelan. Balqis pandai juga mencairkan suasana. Tentunya hal itu membuat Melodi kembali sibuk dengan masakannya. Dia tidak ingin sahabat barunya tidak makan karena masakan yang diolah tidak sesuai lidahnya.
******
Matahari mulai memperlihatkan dirinya. Menyorot bagaikan cahaya yang indah luar biasa. Dengan ditemani suara ayam dan suara shalawatan, menambah suasana sangat menenangkan.
Penikmat pagi ini tidak berlaku untuk yang lain, karena Balqis ikut serta menikmatinya dengan secangkir susu.
Gue harus buru-buru pergi dari sini. Gue nggak mau terus-terusan terkurung sebagai santri. Gue nggak peduli Daddy nitipin gue di sini. Gue harus bisa nyari tempat lain.
Pikiran Balqis berkelana ke sana sini. Dia sudah memikirkan tempat indah setelah berhasil melarikan diri.
"Astaghfirullah!"
Balqis menoleh.
"Heh! Apaan sih berisik banget! Kenapa lo istighfar? Liat hantu?"
Perempuan yang memekik barusan menggelengkan kepalanya. Kemudian melengos meninggalkan Balqis yang tengah menikmati roti dicelupkan ke susu.
"Astaghfirullah! Apa yang kamu pakai, Balqis?"
Balqis membalikkan badannya dengan malas. Kemudian menyilangkan kaki mulusnya. "Menurut lo, gue pake apa? Baju besi?!"
"Bukan itu. Tapi kenapa kamu pakai baju terbuka seperti itu?"
Balqis memutar matanya malas. Dia benar-benar keheranan melihat reaksi perempuan di depannya seperti tidak tahu modis.
"Emangnya kenapa sih? Lo mau pake juga?"
"Tidak. Malu sekali aku memakainya."
Tap!
Perempuan itu pun berlalu pergi sambil membawa cucian. Sedangkan Balqis, merasa kebingungan melihat reaksi orang-orang yang berbeda.
Emang apa salahnya sih? pake pakaian yang terlalu ngeliatin postur tubuh gue? Kan wajar aja, toh gue nggak pake di depan para kaum Adam.
"Balqis!"
Balqis kembali menoleh. Dia melihat Melodi menghampirinya terburu-buru. Bahkan sampai hampir jatuh karena terpeleset. "Kalo jalan itu hati-hati, Mel. kalo lo jatoh kan gue juga yang repot."
Melodi hanya mengangguk sebagai tanggapan. Matanya juga memperhatikan penampilan Balqis dari atas ke bawah.
"Hah... Pantas saja, beberapa santri ngadu sama aku soal penampilan kamu yang nggak biasanya,' "
"Emangnya kenapa sih? Apa gue salah pake celana pendek kayak gini?"
"Tidak. Lagian ini di kobong. Hanya saja mereka itu syok kalau melihat perempuan penampilannya seperti kamu,"
Cih!
Balqis mendengus kesal. Lagi-lagi kehidupannya dikomentari orang. Padahal dia tidak merugikan mereka sama sekali.
"Qis, baju kamu sudah kotor semua. Empat ember sudah penuh. Bagaimana bila kamu mencuci? Aku akan bantu kamu,"
Balqis melirik cuciannya yang tidak hanya baju saja. Tapi mau bagaimana lagi? Dia paling tidak suka berkenalan dengan sabun cuci.
"Ayo? Aku bantu kamu nyuci baju,"
Dengan wajah masam, Balqis menenteng dua ember cuciannya. Sedangkan dua lagi dibawa Melodi. Sesampainya di tempat cucian. Balqis yang tidak mengerti menggaruk tengkuknya. Dia tidak tahu harus diapakan baju-baju itu.
"Mel, sabunnya dituangin kapan ini?"
"Nanti, Qis... setelah air di ember penuh. Sabunnya tuang lalu kucek sampai berbusa. Kemudian masukkan cuciannya,"
"Ck... Susah banget sih, Mel,"
"Tidak ada yang susah, Qis. Selama kamu belajar kamu pasti bisa melakukannya."
Balqis pun mengambil ember yang lain. Dia terlihat sedikit sebal karena perkataan Melodi. Padahal apa yang dikatakannya memang benar.
"Pantas saja hari ini panas. Ternyata princess sedang cuci baju."
Dengan mata elang yang siap menerkam mangsanya. Balqis menatap Indah yang berdiri sambil memperhatikan kuku-kukunya.
"Pergi lo! Sebelum tangan gatel gue nyiram lo!,"
"Galak amat, Bun. Lagian aku ke sini cuman mau ambil sikat, takut dipakai,"
"Sikatnya udah lo pegang nyet, so please go!"
"Tunggu 5 menit lagi. Aku mau lihat bagaimana princess mencuci bajunya--"
Byur!
"Aaaakkhhhh!! Balqis! Berani kamu?!" teriak Indah histeris dengan perlakuan Balqis yang tiba-tiba.
Tanpa diduga, ocehan Indah seketika hilang saat mendapatkan siraman satu gayung dari Balqis yang wajahnya sudah ditekuk.
"Pergi Lo! Sebelum gue siram lagi!"
Tap!
Dengan wajah basah kuyup, Indah pergi sambil menahan emosinya. Ingin sekali dia memarahi Balqis tapi niatnya urung saat melihat sorot mata Melodi di belakang begitu tajam.
Balqis membalikkan badannya. Dia melirik Melodi sambil tersenyum manis padanya. "Yuk Mel, Kita lanjutin!"
Empat ember cucian akhirnya terselesaikan. Kini baju-baju tergantung rapih di jemuran seperti sedang mengobrol di pasar. Semua jemuran penuh dengan baju Balqis. Bahkan perlu beberapa baju dipindahkan untuk menampung semuanya.
"Aahhh, pinggang gue!"
Melodi terkekeh. Dia merasa lucu melihat Balqis memegang pinggangnya. Apalagi baju yang dipakainya sampai basah.
"Gue ke kamar duluan ya, Mel."
"Eh, itu luka kamu udah sembuh? "
"Udah mendingan kok, Gue minum obat anti nyeri.. "
Dengan sempoyongan sambil memegang pinggang, Balqis berjalan pelan ke kamar. Dia sangat kelelahan karena kecapean.
"Baru aja tiga hari gue tinggal di sini, badan gue udah ringsek kayak gini. Mana ini luka belum kering banget lagi meskipun udah nggak terlalu nyeri juga sih..."
Balqis merentangkan badannya. Pinggangnya benar-benar sakit.
"Hah... Bisa-bisa gue kurus kering kalo terus tinggal di sini. Pokoknya gue harus cepet-cepet kabur."
*****
Jam menunjukkan pukul 11 malam. Semua santri sudah berada di kobong. Tidak ada satu orang pun yang berkeliaran di lingkungan. Apalagi penjagaan begitu ketat. Meskipun penjagaan ketat, itu bukan hal masalah untuk Balqis yang bertekad melarikan diri. Dia sudah tidak nyaman tinggal di pesantren. Dia ingin kembali ke rumah yang selalu menyediakan semua keinginannya. Bila tidak bisa pulang ke rumah, setidaknya dia ingin tempat yang lebih nyaman dan fasilitas lengkap. Bukan hanya rumah nyaman yang dirindukannya, melainkan dia ingin bertemu kembali dengan sang ayah. Dia benar-benar sangat khawatir padanya.
Hah... Daddy, aku bakalan segera datang. Aku bakalan nyelametin Daddy. Sudah cukup aku tinggal di sini buat bersembunyi, sekarang waktunya aku kembali.
****
Balqis sejak dari tadi berusaha membuka gembok gerbang yang dikunci. Dia merasa kesal karena berbagai cara yang dilakukannya tidak membuahkan hasil. Gembok itu masih tidak bisa dibuka.
Contoh ya... Just ilustrasi aja...
Cih... Aarrgghhtt Apa Gue harus naik tembok ya?
Balqis memperhatikan tembok di depannya. Tidak terlalu tinggi seperti tembok sekolahnya.
Kalo gue naik ke atas kejangkau ga ya?
Tidak ada sesuatu yang bisa diinjaknya. Apalagi sekarang dia kesusahan karena rok yang dipakainya jiga bekas luka yang masih sakit meskipun sudah tidak sesakit pertama kali.
Ck... Ribet banget sih hidup gue sekarang!
Dengan sekali lompat, Balqis pun menaikkan badannya ke atas tembok.
"Hah! Berhasil! Masih inget ternyata badan gue diajak kriminal kayak gini!" Teriak Balqis kegirangan sambil duduk di atas tembok.
Matanya ke sana sini memperhatikan tanah yang akan diinjaknya.
Degh!
Matanya membulat sempurna. Dia terkejut bukan main saat melihat kegelapan yang berdasar air di bawah kakinya.
Anjrit! Gue pikir di balik tembok ini tanah, nyatanya sungai mana deres lagi!
Glek!
Dengan susah payah Balqis meneguk salivanya. Dia tahu apa yang akan terjadi bila dirinya jatuh ke bawah. Bukannya sang Ayah yang ditemuinya, melainkan kematian.
Bukannya hidup, yang ada gue mati kalo maksa loncat kesana!
Pada akhirnya Balqis kembali turun ke tempat semula. Dia tidak ingin akhir hidupnya mengambang di sungai, lalu terpontang-panting dibawa air.
Balqis sendiri memang belum pernah melihat keluar gerbang pesantren. Dia tidak tahu seperti apa di luaran sana. Dia tidak tahu apa yang diinjaknya kampung atau kota. Karena tinggal tiga hari di sini dia tidak pernah memperhatikan sekitar.
"Cih! Sial, rencana gue gagal!"
Balqis mendengus kesal. Dia kembali memperhatikan sekitar. Dia yakin kalau ada jalan keluar selain gerbang.
Namun sangat di sayangkan, sudah sekitar 15 menit Balqis berkeliling dia tidak menemukan jalan lain. Bukan buntu, hanya saja dia tidak bisa melihat dengan jelas karena kegelapan.
"Ck! Sial sial sial!!"
Dengan perasaan dongkol, Balqis memilih duduk di kursi dekat gerbang. Matanya lurus ke depan memperhatikan luaran sana yang gelap.
"Itu hutan bukan sih? Kok gue nggak liat ada lampu rumah satu pun ya.."
Balqis beranjak. Dia memegang besi gerbang yang rasanya dingin. Sejauh matanya memandang hanya kegelapan yang dilihatnya.
"Coba waktu Gue keluar sama Azizah merhatiin sekitar, mungkin gue bakalan tau gimana keadaan di luaran sana."
Balqis terus meracau sendirian. Pikirannya sendiri tidak bisa diam, dia sangat keheranan dengan tempat yang sekarang tengah di tinggalinya. Bukan masalah pesantrennya, tapi lingkungan sekitarnya yang terlihat seperti tidak ada rumah satu pun.
"Sedang apa kamu di sini?"
Degh!